Tugas baru

Dalam pandangannya yang masih samar, Sarah dapat melihat Papanya terbaring di ranjang putih dengan bantuan alat pernapasan. Di sekitar ranjang pesakitan itu, ada alat medis yang berdetak menambah pilu hati Sarah yang melihat.

"Papaa ...."

"Di sini saja!" salah satu pria yang berjaga di sana menariknya hingga jatuh berlutut.

Sarah hanya bisa menangis, tak bisa memeluk Papanya padahal jarak mereka berada sangat dekat sekali. Papa Sarah dengan mata sayu dan tangan menggapai memanggilnya tanpa suara.

"Paaa ...."

"Dengarkan baik-baik." Pria bertatto menyalakan sebuah pengeras suara. Suara pria yang biasa meneleponnya terdengar dari pengeras suara itu.

"Halo, Cantik, bagaimana apakah kamu senang bisa bertemu dengan Papamu?"

"Mengapa aku tidak boleh mendekat? Kalian apakan Papaku!" pekik Sarah emosi dengan air mata berjatuhan.

"Cup cup cup ... Sssstt, harusnya kamu bersyukur. Aku sudah sangat berbaik hati membawamu kemari melihat Papamu dari dekat, tapi kamu harus tahu ini tidaklah gratis, Sayang."

Sarah mengeratkan kepalan tangan di lututnya. Seharusnya ia tahu, ada udang di balik batu dalam niat mereka membawanya kemari.

"Bagaimana, senang kamu tinggal di rumah besar itu? Setidaknya kamu tidak kelaparan dan hidup susah di kos petak yang kecil."

Sarah mengangkat kepalanya dan menatap sinis pada pengeras suara di atas meja.

"Aku hanya minta bantuanmu sedikit saja. Tolong bawakan aku kertas yang bertuliskan seperti ini." Pria bertatto menunjukan padanya foto surat yang dimaksud oleh pria di pengeras suara itu.

Foto itu seperti surat perijinan kontrak antara perusahaan Papa William dengan pemerintah daerah, untuk proyek penggalian tambang batubara yang bernilai fantastis. Sarah menggelengkan kepala tanda tak sanggup melakukan apa yang diperintahkan. Bagaimana bisa ia mencuri surat yang begitu penting. Salah-salah karena tindakannya, ia bisa dijebloskan masuk sel tahanan.

"Ayolaah, kamu pintar. Ini persoalan mudah, kamu tinggal masuk ke dalam ruangan suamimu dan cari surat seperti itu."

"Aku tidak bisa." Sarah menggelengkan kepalanya tegas. Ia tidak sampai hati menghancurkan William dan keluarganya setelah kebaikan yang mereka berikan padanya.

"Sayang sekali, tugas ini seharga dengan tabung oksigen Papamu." Seperti mengerti arti kalimat yang diucapkan, pria bertatto berjalan mendekati Papanya dan memegang selang oksigen seolah ingin mencabutnya.

"Jangan, tolong jangan!" Sarah hendak berdiri, tapi tangannya ditahan oleh dua orang penjaga lainnya.

"Baiklah, jadi kamu tahu apa yang harus kamu lakukan."

"Aku takuuut."

"Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja asal kamu tetap tutup mulut dan bersikap seperti biasa. Kamu tak perlu mengabarkan jika berhasil mengambilnya. Seperti biasa, aku yang akan menghubungimu. Jika semuanya lancar, kamu akan dapat memeluk Papamu."

Tak memberi kesempatan Sarah bertanya ataupun mengatakan sesuatu pada Papanya, para pria penjaga menariknya berdiri dan langsung memasangkan penutup mata lagi.

Sarah kembali digiring masuk ke dalam mobil dengan mata tertutup. Sepanjang perjalanan ia hanya bisa menangis dan pasrah. Sarah diturunkan lagi di depan halte tempat komplotan mafia itu menjemputnya. Seperti awal menjemput, kedua pria itu tak mengatakan apapun sampai ia turun dari mobil.

Sarah duduk menerawang di halte. Pikirannya kosong tak tahu harus kemana dan bagaimana. Airmata yang tadi mengalir, sudah mengering tertiup angin. Orang-orang yang menunggu bis bersama dia di halte, memandangnya seakan ia orang sakit jiwa.

"Sampai jam berapa kamu di sini? Apa kamu tidak ingat meninggalkan anakmu yang sedang sakit!"

Kepala Sarah perlahan terangkat. Suara ketus yang akrab di beberapa hari terakhirnya terdengar. William duduk di atas motor besarnya, dengan helm masih terpasang.

Butuh waktu beberapa saat bagi Sarah untuk mencerna apa yang dikatakan pria itu.

Anak? Sakit?

"Kamu ini selalu memancing emosiku!" Tak sabar menjadi perhatian orang yang menunggu di halte, William turun dari motornya lalu menarik tangan Sarah. Ia memakaikan helm dan menyampirkan jaketnya pada bahu gadis itu.

"Naik! atau kamu kutinggal di sini!" seru William ketika Sarah masih terdiam di samping motornya.

Sepanjang perjalanan, Sarah mencoba mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi. Shock dengan perintah dari mafia dan kondisi Papanya, membuatnya sedikit bingung dengan jati dirinya sendiri. Tak satupun berbicara, William memacu kuda besinya sampai di rumah sakit.

"Lama sekali!" Kedatangan mereka disambut dengan wajah cemberut dari adik bungsu William. Gadis itu sedang menemani Belle yang tidur di atas ranjang.

"Pulanglah, Sarah sudah kembali."

"Upahnya sekalian ganti uang makan siangku." Kanaya menyodorkan telapak tangannya yang terbuka ke arah kakaknya.

Sarah menunduk dalam. Ia baru sadar tadi pagi meminta ijin hanya dua hingga tiga jam, tapi nyatanya ia kembali ke rumah sakit sudah hampir sore hari.

"Wil, maaf aku ...."

"Jangan dekati Belle dulu, kamu bawa kuman dari luar," putus William.

Sarah akan masuk ke dalam kamar mandi, tapi kembali sadar kalau ia belum sempat pulang ke rumah mengambil baju dan perlengkapan lainnya.

"Bajumu di dalam tas." Tahu kebingungan Sarah, William menujuk tas kain miliknya yang ia bawa dari kos Mona, "Bukan aku yang memilih bajumu, aku minta bantuan Bik Minah," tambah William dengan wajah memerah.

Sarah tahu apa yang menyebabkan pria itu malu, karena di antara bajunya juga ada pakaian dalam miliknya di dalam tas.

"Terima kasih," ucap Sarah pelan lalu masuk ke dalam kamar mandi. Sembari membasuh tubuhnya, Sarah kembali mengingat-ingat apa yang dikatakan pria dibalik pengeras suara itu. Jelas sudah ia dijadikan tangan untuk melakukan kejahatan. Keberadaan William serta bayi itu, sangat besar kemungkinannya hasil rekayasa mereka.

Sekarang apa yang harus dilakukannya. Seorang wanita muda yang tak punya kelebihan apapun, harus berdiri sendiri melakukan sesuatu yang berbahaya. Apapun langkah yang diambilnya, dapat merugikan dan membahayakan orang lain.

Tiba-tiba Sarah teringat akan sesuatu, "Dari mana William tahu ia ada di halte itu?"

Sarah mempercepat mandinya. Ia harus mencari tahu dan segera menyusun rencana, bagaimana bisa masuk ke kantor William dan mencuri berkas yang diminta oleh komplotan mafia itu.

"Terima kasih sudah menjemputku," ucap Sarah membuka pembicaraan, "Dari mana kamu tahu aku ada di sana?"

"Harusnya aku yang tanya sama kamu, apa ada hasilnya kamu menagih hutang temanmu? Seharian meninggalkan anak yang sakit, di mana hati dan otakmu Sarah? Aku tidak habis pikir kamu tega meninggalkan Belle. Apa kamu tidak berpikir kalau aku harus berangkat kerja? Untung Kanaya mau menjaganya. Kemarikan nomer ponselmu, seharian aku bingung mau menghubungi kamu di mana." Bukannya menjawab, William malah balik mencecarnya.

"A-aku tidak hafal nomer ponselku." Sarah menatap sendu ponsel di tangannya. Biasa memegang ponsel canggih seharga puluhan juta, sekarang ponsel yang dipegangnya tak lebih hanya bisa digunakan untuk berkirim pesan dan telepon.

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Red Velvet

Red Velvet

Jangan mau menuruti apa kata mereka, lebih baik jujur sama papa William. bicarakan dgn beliau🥺🥺

2023-03-20

0

Nayla Ujji ...

Nayla Ujji ...

Sarah, jangan lakukan...
lebih baik kamu bilang yang sebenarnya pada William...

2023-03-18

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!