Beberapa saat, semua anggota keluarga yang ada di sekitar meja makan menatapnya dengan heran.
"Aku tidak punya uang tunai, kamu tidak mau ya sudah." William mengambil kartu kreditnya dan memasukan ke dalam kantung kemejanya. Lalu ia kembali melanjutkan makannya, tanpa rasa bersalah.
"Ya sudah tak apa, aku masih simpan uang sedikit kok untuk beli susu sachetan," ujar Sarah dengan wajah dibuat sesedih mungkin.
"Loh, jangan. Tunggu biar pakai uang belan---" Mama yang sudah hendak berdiri dari kursinya, kembali duduk karena mendengar suara Papa yang menggeram dan berdehem dengan sengaja.
"Mereka sudah dewasa, Sayang. Biarkan mereka mengatur rumah tangganya sendiri," ucap Papa lembut, "William, jangan bikin malu Papa. Masa cucu keluarga Sanjaya diberi susu sachetan!" Bukannya menegur Sarah, kemarahan Papa dilampiaskan pada putra sulungnya.
"Dia sendiri yang ga mau pakai kartu kredit," ucap William ketus.
"Apa kamu tidak mengenal ATM? Pergi ke depan perumahan, tarik uang tunai dan berikan pada istrimu sekarang," titah Papa.
'Bilangnya anak sudah dewasa mengatur urusan rumah tangga sendiri, tapi masih aja diatur,' William menggumam kesal.
William mengeratkan rahangnya. Ia melirik pada wanita yang semalam masuk ke dalam rumahnya, dan sudah membuat kedua orangtuanya tertipu dengan drama sedihnya. Sarah tampak tenang menyuapkan sarapan ke dalam mulutnya dengan raut wajah sedih sekali.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, William berdiri dari duduknya lalu menyambar kunci mobil di atas meja. Baru dua langkah berjalan, William berbalik dan menatap Sarah yang masih menunduk menatap piringnya.
"Kamu ikut," ucapnya ketus.
"Aku?" Sarah menunjuk dadanya.
"Iya, ikutlah sama William. Barangkali ada yang kamu ingin beli, biar Belle sama Mama."
Sarah berdiri dari duduknya dengan rasa enggan, sebenarnya ia malas hanya berdua dengan William. Pria itu selalu memancing emosinya. Egonya sebagai putri tunggal konglomerat yang selalu dimanja, tak terima mendengar perintah dari mulut pria kemarin sore seperti William.
William masuk ke dalam mobil tanpa mempersilahkan Sarah untuk masuk. Namun Sarah bukanlah gadis polos yang tidak pernah duduk di dalam mobil mewah.
Gadis itu dengan santai dan anggunnya duduk di samping William, lalu memasang sabuk pengamannya. Tanpa basa-basi, William menyalakan mobilnya dan menginjak pedal gas dengan kasar sehingga tubuh Sarah tersentak ke belakang.
William membawanya ke gedung pertokoan dekat tempat tinggalnya di mana banyak berjajar kios ATM berjajar.
"Butuh uang berapa kamu?" tanya William sinis sebelum ia turun dari mobil.
"Sesanggup kamu berikan padaku sebagai suami." Sarah memandangnya dengan senyuman manis.
"Ciih! jangan sebut aku suamimu." William keluar dari mobil dan menutup pintu dengan keras. Sarah yang berada di dalamnya, sempat terkejut terkena hempasan angin dari pintu yang dibanting.
William kembali dengan lembaran uang di tangan dan mulai menghitungnya.
"Popok 100ribu, susu 100ribu." William mengambil dua lembar uang berwarna merah dan melemparkannya ke pangkuan Sarah.
"Hanya segini? Aku kira kamu orang kaya, tapi untuk kebutuhan anakmu saja tak mampu kau berikan," cetus Sarah.
"Dia bukan anakku!" seru William kencang.
"Dia juga bukan anakku! Aku ada di sini juga gara-gara kamu. Ga ada angin ga ada hujan datang-datang di suruh nikah." Sarah berkelit menggunakan kelemahan William. Ia yakin pria itu tidak tahu kalau ia pun mengambil keuntungan dalam kondisi ini.
"Kamu wanita penghibur, sudah pasti itu anak dari salah satu pelangganmu," ejek William dengan pandangan merendahkan.
Sarah mengatupkan mulutnya. Ia tidak menampik apa yang dikatakan oleh William, karena ia bertemu dengan pria itu dalam kamar sebagai wanita malam. Ia jelas tak mungkin mengatakan kalau dirinya adalah putri tunggal dari Tuan Anderson Phillips.
"Kurang," ucap Sarah pelan sembari menimbang-nimbang dua lembar uang berwarna merah ditangannya.
"Berapa? kasih uang banyak-banyak buat kamu juga ga ada untungnya untuk aku." William menggerutu sembari kembali menghitung uang ditangannya.
"Segini cukup." Sarah menyambar semua lembaran uang berwarna merah di tangan William.
"Dasar pela---"
"Stop! Sekali kamu mengatakan aku pelacur dan sejenisnya, aku akan bilang pada kedua orangtuamu kalau putra sulung kebanggaan mereka doyan bermain-main dengan wanita malam." Sarah mengacungkan telunjuknya di depan mulut William.
Pria itu menggeram marah, tapi tak berani membantah.
"Sekarang antar aku ke pasar," titah Sarah.
"Mama bilang beli perlengkapan bayimu di Mall bukan di pasar."
"Sssttt, turuti saja apa kataku. Di Mall dan di pasar selama barangnya sama, mutunya sudah pasti sama. Satu lagi, jangan pernah bilang itu bayiku. Kita sudah menikah, jadi Belle itu bayimu juga." Sarah segera memotong sebelum pria itu protes dengan permintaannya.
William memutar kemudinya ke arah pasar terbesar di komplek perumahan mewah mereka. Sarah sudah tahu keberadaan pasar ini, jadi dia tidak keberatan berbelanja di sana selagi bisa menghemat uang pemberian dari William.
"Di tinggal aja, nanti aku pulang naik ojek," ucap Sarah sebelum turun dari mobil.
"Kamu tidak usah kembali jauh lebih bagus!" umpat William sembari melajukan mobilnya.
"Peduli amat. Cowok kok cerewet," umpat Sarah, tentunya setelah mobil William melaju meninggalkan dirinya.
Lalu ia mulai masuk ke dalam pasar modern itu mencari dan memilah barang yang bisa ia beli dengan uang pemberian William. Tujuan utamanya adalah toko yang menjual perlengkapan anak dan bayi.
"Cari apa, Mba cantik," sapa ibu penjual yang berdandan tebal.
"Popok sekali pakai, Bu."
"Usia berapa adiknya, Cantik?"
"Emm, sudah bisa guling-guling dan tengkurap, Bu," ujar Sarah setelah berpikir sebentar.
"Ow, pakai ukuran S ini, Cantik. Ini harganya 35ribu, yang ini 50ribu, kalau yang ini bagus model celana jadi ga repot harganya 130ribu aja."
"Jangan yang mahal-mahal. Kalau isinya banyak tapi harganya murah ada?"
Ibu penjual itu mengeluarkan satu kantong popok bayi berukuran besar dari rak penyimpanannya.
"Ini isi 80 harganya 30ribu, tapi tidak ada merk," ujar Ibu penjual itu ragu.
"Ya udah itu aja, cuman untuk jalan aja kok. Kalau susu formula ada?"
"Yang murah juga dan isinya banyak?" tebak Ibu penjual itu lagi. Sarah mengangguk dengan semangat.
"20ribu kok sedikit sekali isinya?" Kening Sarah berkerut sembari tangannya membolak balikan kotak berisi 100gr susu bubuk.
"Yang besar harganya 55ribu. Buat bayi yang belum bisa makan, jangan sembarangan ya, Cantik. Ini Ibu kasih yang terjangkau tapi tetap bagus kualitasnya." Ibu penjual itu mengeluarkan satu kotak susu yang lebih besar dengan merk yang sama.
"Ya sudah, Bu saya ambil yang besar ini ya. Sekalian sama pakaian bayi lima pasang aja, jangan yang mahal-mahal ya, Bu." Sarah berpesan sebelum Ibu itu mengeluarkan barang jualannya yang harganya selangit.
'Belle, maaf ya bukannya aku pelit dan mengambil jatah untuk kamu, tapi aku butuh uang ini untuk membebaskan Papaku. Setidaknya kamu tidak kelaparan dan kedinginan dalam kardus mie.' Sarah membatin sembari menyisihkan uang pemberian William untuk ia tabung dan di akhir bulan, akan ia setor ke orang suruhan yang menahan Papanya.
...❤️🤍...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
Red Velvet
Suka karakter Sarah, bukan cuma derai airmata saja. sisi lemah hanya boleh dilihat oleh diri sendiri👍🏻
2023-03-19
3
snowAngel_Ra2
sedih aq tuh 😭 soalnya aq juga gitu pas jaman anak2ku masih bayi, cari yg murah isi banyak, tp yg sekiranya gk bikin iritasi, sampe ngubek2 toko untuk cari popok yg sesuai dg keinginanku 🤭 kalau susu untungnya ada ASI yg bisa menyelamatkan 😁
2023-02-22
2
airanur
ya alloh ampe segitu nya,,,yang sabar ndok,,,,🥺
2023-02-22
1