Bayi siapa?

Sarah tak menanggapi perkataan tamunya yang terdengar ketus. Baginya yang penting mami tidak akan tahu kejadian ini dan keperawanannya tetap utuh dengan uang di tangan. Dengan wajah meringis menahan nyeri di pangkal pahanya, William membuka pintu kamar dan berjalan keluar dengan langkah tertatih.

Pengalaman pertama melayani tamu dengan buruk, membuat Sarah tidak berani bertemu Mami malam ini. Apalagi ia sudah mengantongi segepok lembaran merah, tanpa harus kehilangan kesuciannya. Sarah memutuskan langsung kembali ke kos milik Mona, lalu begitu sampai ia langsung menghitung uang yang diberikan tamu polosnya.

"Cukup untuk makan dan urunan kos selama satu bulan. Bulan depannya lagi, aku harus cepat dapat pekerjaan. Jadi PSK meski ekslusif ternyata menakutkan, untung orang itu sama bodohnya denganku." Sarah bergumam sembari menghitung uang yang ada di tangannya.

Terdengar suara pintu kamar diketuk, Sarah bergegas merapikan uangnya dan menyimpannya dalam tempat yang menurutnya aman.

"Sebentar, Mbaaa ... ngapain pakai ketuk pintu segala biasa ju---" Gerutuan Sarah terhenti ketika tak mendapati Mona di balik pintu. Malahan di depan kakinya ada sebuah kotak seukuran dos air mineral yang sedikit terbuka.

"Mbaaa ...," panggil Sarah lirih. Ditengoknya kanan dan kiri, tak satupun batang hidung penghuni kos kalangan bawah itu terlihat.

Sarah semakin terkejut ketika mendengar suara gesekan seperti ada yang bergerak dari dalam kotak itu. Perlahan dengan gagang sapu, ia berusaha membuka bagian atas kotak yang terbuka.

"Bayi!"

Tanpa pikir panjang, Sarah sontak melempar sapu itu lalu menutup pintu kamar serta menguncinya dari dalam. Ia segera mengambil ponsel lalu mencoba menghubungi Mona, tapi teman sekamarnya itu mengabaikan panggilannya karena sedang bergerak di atas tubuh seorang pria tambun.

Suara tangisan bayi mulai terdengar dari balik pintu. Sarah menutup kedua telinganya rapat-rapat, tapi suara itu semakin terdengar menyedihkan seolah memanggilnya untuk minta tolong.

Berusaha menguatkan hati, Sarah membuka pintu kamar dan mengintip dari celah pintu. Tampak wajah bayi itu memerah menahan tangis yang siap akan meledak. Matanya menatap Sarah penuh harap meminta agar mengangkat dan menggendongnya.

Bayi itu mulai mengeluarkan suara yang sedikit keras dari yang sebelumnya. Tak ingin penghuni kos terbangun dan mengakibatkan ia diusir malam itu juga, Sarah segera membawa kardus beserta bayi itu masuk ke dalam kamar.

Sarah membuka penutup kardus itu lebih lebar lagi, ia lalu menemukan beberapa lembar baju, sekaleng susu dan sebotol susu yang masih hangat.

Bayi itu kembali menggeliat, wajahnya semakin merah padam. Dengan keberanian yang sedikit dipaksakan, Sarah mengangkat bayi itu lalu mendekapnya.

"Cup, cup, jangan nangis ya nanti tetangga bangun. Kamu haus ya, kasihan." Sebelum bayi itu menangis semakin kencang, Sarah mengambil botol susu yang sepertinya sudah disiapkan sebelumnya.

"Siapa yang tega menaruhmu di dalam kardus kecil ini? Kasihan sekali, kamu pasti ketakutan dan mungkin gatal digigit serangga."

"Kamu cantik sekali." Sarah mencium tangan bayi yang menggenggam jarinya erat. Ia merasakan jika sang bayi seolah tak mau jauh darinya.

"Jangan takut, sekarang kamu tidak sendirian, ada aku di sini." Sarah mencium kening bayi itu. Rasa sayangnya muncul berlipat ganda, ketika melihat bayi itu seolah tersenyum di sela-sela kegiatan menyusunya.

Sarah mencari-cari petunjuk di dalam kardus, tapi di dalam yang ada hanyalah baju dan kaleng susu yang sudah terbuka.

"Siapa namamu?" Sarah memandangi wajah bayi itu. Kulitnya yang putih bersih dengan pipi bulat merona, rambut hitam dan sedikit ikal, serta mata yang bulat jernih dan bibir yang selalu tersenyum.

Baju kuning cerah yang digunakan bayi itu mengingatkan Sarah pada tokoh kartun disney kesukaannya, "Hai, Belle."

"Sarah, anaknya siapa itu?" Mona yang baru saja pulang, terkejut melihat teman sekamarnya menggondong bayi ketika ia membuka pintu.

"Ga tau, tadi ada yang ketuk pintu aku pikir Mba Mona pulang, ternyata ada yang naruh kardus di depan pintu kamar yang isinya dia," ucap Sarah sembari menimang-nimang bayi cantik itu.

"Kita harus lapor polisi, mungkin saja itu bayi korban penculikan."

"Jangan dulu ah, biar dia di sini dulu barangkali orangtuanya akan datang jemput." Awalnya ia takut tapi setelah menimang dan memberi susu, Sarah seolah terhipnotis dan jatuh cinta pada mata bola milik si bayi.

"Tak ada ceritanya bayi dibuang lantas diambil lagi dalam waktu dekat. Kalaupun mau diambil lagi, pasti tunggu anak itu sudah sukses lalu ada orang yang mengaku Ibu atau Bapaknya. Lantas mau kau apakan bayi itu? Hati-hati kamu bisa dituduh penculik loh."

"Kita rawat aja," usul Sarah sembari mengecup kaki mungil yang terus bergerak menendang udara.

"Gila kamu, mau makan aja sulit belagak rawat bayi orang. Hei, susu bayi itu mahal, emang dadamu keluarin ASI?" Usulan itu tentu membuat Mona mendelikkan matanya.

"Aku punya uang kok, nanti juga aku kerja." Sarah menunjukan segepok uang di dalam tasnya.

"Waah, sepertinya baru ada yang sudah dibelah semalam," goda Mona. Sarah membiarkan Mona menggodanya, asal wanita itu tidak lagi memaksanya untuk segera melapor pada polisi. Setidaknya bukan saat ini, mungkin nanti kalau ia sudah bosan dan lelah.

Beberapa hari setelah insiden pusaka terjepit, rumah kediaman Raymond Sanjaya, pengusaha yang lagi melebarkan sayap bisnis Batubara mendadak tegang. William putra sulung di rumah itu, duduk di hadapannya dengan kepala tertunduk.

"Katakan siapa dia, kenapa kamu tidak mau bertanggungjawab atas perbuatanmu!" Papa William melempar beberapa lembaran foto ke atas meja. Foto yang memperlihatkan wanita yang pernah ia sewa, sedang menggendong seorang bayi di depan bangunan kumuh.

"Aku tidak kenal siapa dia, Pa." Wiliam menggelengkan kepala dengan tegas, tapi hatinya sedikit menyangkal.

"Kalau ini, kamu masih mau menyangkal?" Papa William mengeluarkan beberapa lembar foto lagi di mana ia masuk dan keluar dari sebuah kamar. Sialnya, wanita dalam foto itupun keluar dan masuk dalam kamar yang sama dan dalam waktu yang hampir bersamaan dengannya.

"Papa tidak pernah mengajarkanmu berbohong Wil, Papa juga tidak mengajarkanmu menjadi laki-laki pengecut yang melarikan diri dari tanggung jawab. Apalagi ini menyangkut seorang wanita dan anak, sungguh memalukan!"

"Aku bicara sejujurnya, Pa. Aku tidak mengenal perempuan itu. A-aku hanya bertemu sekali saja, namanya saja aku tidak ingat." William tidak berani mengatakan kalau wanita dalam foto itu seorang pekerja se ks komersial. Jika Papanya tahu ia mencoba bermain-main dengan dunia malam, bisa dipastikan besok namanya sudah tidak tercantum dalam kartu keluarga.

"Kamu kedapatan keluar dari sebuah kamar dengannya, apa yang kalian lakukan dalam kamar berduaan kalau bukan melakukan sesuatu yang kotor!"

"Kami tidak melakukan apapun, Pa!"

"Lihat, gaunnya terbuka sebagian, kemejamu pun juga berantakan dan kamu masih menyangkal? Dan coba lihat ini, bayi siapa ini, Willi!" Suara Papanya menggelegar. Mama dan kedua adik perempuannya tak berani mendekat, mereka hanya berani mengintip dari pintu dapur.

Kelu lidah William, ia tak kuasa menyangkal tuduhan Papanya. Entah dari mana Papanya mendapat foto-foto itu. Dilema baginya, jika ia berkata sejujurnya jika wanita itu pelacur pun juga bukan jawaban yang aman. Bisa saja kemarahan Papanya jauh lebih menakutkan dari pada ini.

"Bawa dia kemari, Papa mau bertemu," ucap Papanya dengan suara bergetar menahan emosi. Itu bukanlah permintaan tapi sebuah perintah.

"Aku tidak tahu dia di mana."

Papa membalik sebuah foto, di sana tertulis dengan jelas alamat tempat tinggal wanita itu dan bayinya. Tak mau Papanya berteriak lagi, William segera meluncur ke arah alamat yang tertera di balik foto itu.

Sesampainya di depan rumah kos yang sedikit kumuh, William langsung menunjukan foto Sarah yang sedang menggendong bayi pada penghuni di sana. Setelah ditunjukkan letak kamar Sarah, William segera mendekati dan mengetuk pintu kamar. Terdengar suara bayi menangis dari arah dalam. Tak lama pintu di buka.

"Kamu?" Sarah muncul dengan rambut diikat asal, berpakaian daster dan sebelah tangan menggendong seorang bayi. Penampilan sangat jauh berbeda dibanding saat pertama kali mereka bertemu.

"Bersiaplah, kamu harus ikut aku sekarang juga" ujar William seraya melirik bayi dalam gendongan Sarah.

"Untuk apa, aku sudah tidak bekerja di tempat itu lagi," tolak Sarah lalu hendak menutup pintu kembali. Dengan sebelah kakinya, William menahan pintu kamar agar tidak tertutup seluruhnya. Lalu ketika Sarah lengah, ia mengambil Belle dari gendongan Sarah.

"Hei!"

"Cepat bersiap atau aku bawa pergi bayi ini!"

Sarah tampak bimbang, tapi melihat mata William yang tak sabar ia akhirnya mengalah, "Tunggu sebentar, jangan berani-berani kamu membawa lari bayi itu kalau tak mau aku teriakin kamu seperti penculik!"

"Cepatlah!"

Tak mau berlama-lama, Sarah segera keluar dari kamar dengan penampilan sekedarnya. Ia takut jika terlalu lama, Belle akan dibawa pergi oleh William. Tanpa banyak bicara, William membawa Sarah dan bayi itu menemui orangtuanya.

Sampai di rumah, Mama sudah duduk di samping Papa menunggu kedatangannya.

"Jangan sampai kompetitor kita tahu masalah ini, mereka akan menggunakan kesalahan fatalmu untuk menjatuhkan kita. Kamu tidak boleh menunda lagi, malam ini kalian harus menikah."

"Menikah?" Keduanya serempak menjawab dengan mata terbelalak.

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Ra2_Zel

Ra2_Zel

lebih aman nikah dulu

2023-04-11

0

Mutia Kim🍑

Mutia Kim🍑

Itu anak siapa ya? Terus si William malah di tuduh memiliki anak sama Sarah🙃

2023-04-10

2

ɪ ᴀᴍ 𝑻𝒉𝒆_𝑲𝒊𝒏𝒈

ɪ ᴀᴍ 𝑻𝒉𝒆_𝑲𝒊𝒏𝒈

Lanjut baca 😁

2023-04-10

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!