Nafkah

Sarah termenung setelah Mama mertuanya menutup pintu sebelum ia berhasil membawa Belle keluar dari kamar. Ia berjalan mengelilingi ruang di lantai satu. Lelah ingin berbaring tapi tidak tahu di mana.

Walaupun sedikit ragu, Sarah kembali naik ke lantai dua dan berdiri di depan pintu kamar William. Tangannya sudah terangkat akan mengetuk, tapi rasa gengsi dan khawatirnya jauh lebih besar. Sarah duduk di lantai bersandarkan dinding kamar luar.

'Tahu seperti ini nyesel juga langsung setuju mau nikah aja, tapi kalau ga terima tawaran itu aku bakal diusir sama penghuni kos. Belum lagi duit makin nipis, kasihan Belle kalau harus minum air tajin terus. Tapi siapa si Belle itu, kenapa si jabrik tahu. Apa jangan-jangan yang atur ini semua mereka?'

Lamunan Sarah terputus ketika bunyi pintu di sebelah kamar William terbuka. Adik kedua pria itu keluar, wanita itu tak mengatakan apa-apa. Saat melewati Sarah yang yang duduk di lantai, matanya hanya melirik sekilas.

"Eh." Sarah terkejut ketika tangan adik William terulur mengetuk pintu kamar William sembari berjalan.

Tak berapa lama pintu kamar William terbuka, "Apa?" tanyanya ketus. Sarah mendongak keatas lalu menoleh ke arah adik William yang sudah menghilang di lantai satu.

"Adik kamu yang ketuk pintu." Jari Sarah menunjuk ke lantai bawah. Dari sorot mata William, ia tahu kalau pria itu menganggapnya berbohong.

"Mau apa kamu?"

"Aku tidak mau apa-apa," sahut Sarah angkuh menjaga gengsinya.

"Lantas mau apa kamu di depan kamarku?"

"Duduk."

"Oke."

Brak! Pintu kamar terhempas begitu saja di depan hidung Sarah.

'Sial! Tenang, Sarah harus ada yang cerdik di sini. Ingat tujuanmu adalah uang dan makanan. Sedikit bersikap manis tidak akan menjatuhkan harga dirimu.'

Sarah berdiri lalu mengatur nafasnya berulangkali untuk meredakan emosinya. Ia memberanikan diri mengetuk pintu kamar William. Tak secepat pertama kali saat adik pria itu mengetuk. Kali ini ia harus mengulang sedikit lebih keras.

"Apa lagi!"

Sarah hampir saja mengumpat saat pria itu menghardiknya dengan keras.

"Di luar banyak nyamuk, boleh aku tidur di dalam?" Sarah memasang wajah sedihnya.

"Tidak!"

"Kalau Papamu tahu aku semalaman di luar pasti marah lagi." Sarah menahan pintu sebelum pria itu menutupnya.

"Sial!"

Sarah masih bisa mendengar umpatan William, saat pria itu membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar.

Sarah melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar yang bernuansa hitam dan putih. Hanya ada satu ranjang yang cukup besar, sebuah lemari pakaian, meja dengan tumpukan buku dan kursi duduk biasa.

William duduk di depan layar televisi dan kembali meneruskan permainannya. Ia sama sekali tidak menghiraukan keberadaan Sarah yang berdiri mematung menatapnya bermain game.

Sarah tetap berdiri tak berani bergerak apalagi duduk di atas ranjang. Puas bermain, William mematikan televisi dan lampu, lalu naik ke atas ranjang. Pria itu seakan tak menganggapnya ada di dalam kamar.

Tak ada sofa, yang ada hanyalah kursi biasa untuk menulis dan mengetik. Sangat tidak nyaman jika digunakan untuk tidur. Sarah duduk di lantai lalu membaringkan tubuhnya di bawah ranjang William.

'Pa, maafkan Sarah terpaksa seperti ini, karena Sarah ingin Papa cepat bebas dari jerat mereka.'

Dalam gelapnya kamar William, Sarah menyusut air matanya. Seorang gadis yang terbiasa tidur di kasur empuk dengan selimut tebal, sekarang harus merasakan dingin dan kerasnya ubin.

Saat hari hampir terang, Sarah baru dapat memejamkan mata. Rasa kantuk yang masih mendera, terusik oleh suara musik rock yang di putar kencang oleh William.

Sarah membuka matanya, ia melihat pria itu sedang berkaca di depan cermin. Tampilannya yang rapi dengan kemeja dan celana kain hitam, membuatnya terlihat jauh lebih dewasa.

"Mau kemana?" tanya Sarah. Sebetulnya ia tidak peduli mau apa dan kemana suaminya itu, tapi setidaknya ada pembicaraan antara mereka berdua.

Wiliam menghentikan kegiatannya menyisir, ia memandang Sarah dari balik cermin. Hanya sedetik lalu ia kembali menyisir dan bersenandung.

"Mau kerja ya?"

Lagi-lagi pria itu mengabaikannya. Ia merasa seperti pajangan kamar yang tidak ada artinya.

"Kita sudah suami istri, apa kamu tidak memberikan aku nafkah sebelum berangkat kerja?"

Pertanyaan itu sontak membuat William menghentikan semua aktivitasnya, lalu berbalik menghadap Sarah.

"Apa kamu bilang? Nafkah? Nafkah apa yang kamu maksud? Lahir? Atau batin?" William berjalan mendekati Sarah dengan tatapan tajam seolah ingin menelannya hidup-hidup.

"U-uang belanja," ujar Sarah berusaha tenang.

"Hah! Kamu mau memerasku? Sudah bagus kamu menjual diri di sana, uang yang kamu dapatkan jauh lebih banyak. Untuk apa kamu kemari!" William mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan hidung Sarah.

"Hei! Kamu amnesia atau bodoh? Yang membawa aku kemari itu kamu! Seharusnya aku yang curiga sama kamu, apa jangan-jangan Belle itu bayi hasil hubungan gelapmu dengan pacarmu dan sekarang aku yang harus menanggung akibatnya!" Sarah menepis tangan William dan balik menghardiknya.

Kurang tidur mengakibatkan oksigen yang mengalir dalam kepalanya bergerak lambat. Otaknya terasa buntu untuk berpikir secara jernih.

"Enak saja!"

"Kalau aku tidak salah dengar, kita menikah karena untuk menyelamatkan nama baik di perusahaan keluargamu. Jadi aku rasa pantas kalau aku menerima upahnya." Sarah mengulurkan tangan dengan telapak terbuka.

"Kamu kira bisa memerasku? Mimpi!" sembur William lalu keluar dari kamar dan turun ke lantai bawah.

Sarah segera berganti baju dan membasuh wajahnya. Ia segera turun menyusul William. Urusannya dengan pria itu belum selesai. Ia harus dapat bayaran yang setimpal dari pernikahan pura-puranya ini.

Sampai di lantai bawah, Sarah menyusul ke ruang makan di mana semua anggota keluarga sudah berkumpul.

"Makanlah dulu, Sarah, biar Mama yang gendong Belle." Mama mertuanya itu begitu menikmati perannya sebagai seorang Oma. Mama William tidak mengijinkan ia mengambil bayi lucu itu yang sedang menyusu dari botol.

Sarah melirik pria yang semalam telah menjadi suaminya. William tampak tak acuh menikamati sarapannya dengan gerakan cepat.

"Ma, pasar paling dekat daerah sini di mana ya? Saya mau beli susu bayi sama pampers untuk Belle?"

"Pasar? Kenapa beli kebutuhan Belle di pasar? di Mall Rosella ada baby shop yang lengkap," ujar Mama.

"Kalau di pasar murah, uang saya ga cukup kalau beli di Mall."

"Astaga, 'kan ada Papanya. Jangan kamu tanggung sendiri, Sarah."

William melirik tajam ke arah Sarah. Ia tahu wanita itu sedang merencanakan sesuatu. Tanpa Mama menyebut namanya, ia tahu siapa yang dimaksud Papa itu.

"Ga usah drama, pakai ini!" William melemparkan kartu warna hitam mengkilat ke depan Sarah.

"Ga biasa pakai ini." Sarah menggeser kartu kredit tanpa batas itu kembali ke Wiliam.

Tentu sebagai anak konglomerat ia tahu dan biasa menggunakan kartu semacam itu, tapi kartu itu akan meninggalkan jejak pemakaiannya.

"Uang tunai saja," ujar Sarah tanpa malu-malu lagi.

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Red Velvet

Red Velvet

Perjuangan Sarah benar2 berat, mencerminkan kehidupan nyata yg penuh dgn ujian dimana kita harus berpikir cerdik untuk bertahan hidup

2023-03-19

1

airanur

airanur

good sarah,,orang egois mh harus di kerasin biar tau rasa,,👍

2023-02-21

1

Isna Trianti

Isna Trianti

lagi seru" baca terheti

2023-02-21

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!