"Sialan! Sok ganteng!" umpat Sarah sembari mengusap-usap keningnya yang terantuk daun pintu. Sebenarnya ia malas berhadapan dengan pria angkuh itu lagi, tapi suara Papa William yang memanggil putranya memaksanya untuk mengetuk pintu.
"Mau apa?" tanya William dingin. Pintu kamar ia biarkan hanya terbuka sedikit celah.
"Kita dipanggil Papamu di bawah."
"Kamu turun duluan." William hendak menutup pintu, tapi Sarah dengan cepat menahan dengan tangannya.
"Aku mau ganti baju, tasku ada di dalam kamarmu." Sarah menunjuk tas kain merah yang teronggok di pojok kamar. William mengikuti arah telunjuk Sarah, lalu tanpa basa-basi ia kembali menutup pintu kamarnya.
"Benar-benar nih orang!" Sarah menggeram kesal seraya mengacungkan tinjunya. Tak lama pintu kamar kembali terbuka dengan pintu terbuka sedikit, William melempar tas milik Sarah keluar begitu saja.
"Lantai bawah ada kamar mandi, ganti di sana saja," ucap William sebelum kembali menghempas pintu di depan hidung Sarah.
Tak ingin diusir di hari pertamanya karena membuat keributan, Sarah memilih patuh lalu turun ke lantai satu.
"Mana suamimu? Loh kok belum ganti pakaian?" tegur Papa William.
"Saya ganti baju di kamar mandi bawah, kamarnya masih digunakan sama William," ujar Sarah seraya tersenyum. Papa William melirik ke arah pintu kamar anaknya yang terutup rapat, lalu menggelengkan kepalanya.
"Cepatlah, William biar urusan saya. Kanaya, panggil kakakmu." Papa William melirik anak bungsunya yang bersandar di bahunya.
"Aisshh! Kenapa harus aku sih?"
"Jadi Papa yang harus panggil kakakmu?" Papa William bersiap-siap berdiri dari duduknya.
"Iya, iyaa aku panggil." Kanaya segera berdiri sebelum ancaman Papanya benar-benar terjadi. Terdengar keributan di lantai atas, tak lama suara langkah kaki berderap saling berlomba menuruni tangga.
"Sudah punya anak, masih aja suka main game." Begitu melaporkan hasil pengintaiannya di kamar William, adik bungsunya yang usil itu langsung bersembunyi di balik punggung Papanya.
"Bayi itu bukan anakku!" seru William dengan mata melotot.
"Kamu duduklah." Papa tak menghiraukan pertengkaran kedua anaknya. Tatapannya tertuju pada wanita yang berdiri di belakang William, "Kamu juga!" seru Papa pada putranya.
"Kamu masuk kamar," perintahnya pada putri bungsunya. Gadis itu hendak memprotes, tapi urung saat bola mata Papanya yang langsung membesar sebelum ia sempat membuka mulut.
Setelah memastikan Kanaya sudah di dalam kamar, Papa menarik nafas panjang sebelum mengatakan sesuatu.
"Sekarang kalian sudah menikah dan resmi menjadi sepasang suami istri," ucap Papa pelan, "Dengarkan Papa dulu!" sembur Papa ketika putranya melengos mendengar kalimatnya di awal.
"Papa tahu ini terlalu cepat dan mungkin terdengar tidak adil untukmu, Willi. Papa belum sempat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi sudah mengambil keputusan sepihak." Sarah meremas bantal sofa yang ada di pangkuannya saat mengetahui kalau Papa mertuanya itu sebenarnya berniat menyelidikinya.
"Tapi karena adanya ancaman yang dikirimkan kemarin, Papa harus segera mengambil keputusan." Papa Willi menelisik perubahan raut wajah menantunya yang tertunduk.
"Papa hanya mau bilang pada kalian, bersikaplah dewasa karena bagaimanapun pernikahan ini sah jadi jangan main-main."
'Tidak sah, Om. Papa saya masih hidup, seharusnya Papa yang menikahkan saya,' batin Sarah. Sekarang ia harus bermain cantik agar tubuhnya tetap suci, selama menjalani pernikahan palsu ini.
"Satu lagi. Papa minta tolong padamu Willi, di depan umum terutama kantor dan kolega kita, statusmu adalah pria beristri dengan satu anak. Jika ada yang tanya, kalian sudah menikah setahun lalu di luar negeri. Ingat itu!"
"Pa, aku punya Brenda," desis William.
"Kalau kamu merasa punya kekasih, mengapa kamu punya anak dari wanita lain?" Suara Papa kembali meninggi hingga William tak berani membantahnya. Ia hanya melirik tajam pada wanita yang ada di sampingnya.
"Kamu sudah dewasa William, Papa akan kecewa sekali jika kamu tidak dapat bertanggungjawab dengan apa yang telah kamu lakukan." Papa mendesah sedih, lalu berdiri dan masuk ke dalam kamar.
William mengeratkan rahangnya. Ia hanya diam dan menahan emosi yang siap meledak sejak siang tadi. Ia lalu berdiri dan meninggalkan Sarah sebelum ia melampiaskan kemarahannya pada wanita itu.
Jarum jam baru menunjukan pukul sembilan malam, tapi suasana rumah sudah mulai sunyi. Semua sibuk di dalam kamarnya masing-masing. Harusnya ini malam pernikahan yang biasa dirayakan mewah dengan keluarga, tapi rumah ini lebih terasa seperti suasana duka.
"Lalu aku harus apa?" Sarah berdiri hendak naik ke lantai dua, tapi baru saja menginjak anak tangga pertama ia kembali mundur. Tiba-tiba ia merasa rindu dengan Belle, bayi yang beberapa hari ini menemaninya. Dengan rasa canggung, ia memberanikan diri mengetuk pintu kamar mertuanya.
Mama mertuanya yang membuka pintu, "Ada apa ... Eh, maaf siapa namamu tadi?"
Sarah tersenyum miris, belum ada setengah hari ia menjadi menantu, tapi namanya sudah dilupakan oleh mertuanya. Bahkan mungkin pria yang menikahinya juga lupa siapa namanya.
"Sarah, Tante."
"Oh ya, Sarah ada apa? Kamu tidak tidur?"
"Saya mau jemput Belle."
"Mau jemput, seperti lagi di mana saja." Mama Willi terkekeh geli, "Belle sudah tidur, nanti kalau diangkat malah rewel. Malam ini biar saja dia tidur di sini ya."
Sarah melongok ke dalam kamar, bayi montok itu dengan nyamannya tidur di atas ranjang besar. Sedangkan Papa mertuanya harus rela mengalah bergeser di ranjang yang berukuran lebih kecil.
"Eh, dia sudah tidak menyusu?" Mata Mama William terarah ke dadanya.
"Su-sudah tidak." Risih dadanya dipandangi sesemikian rupa, tangan Sarah spontan menutup dadanya.
"Ya sudah, kamu istirahat saja. Malam ini biar Mama yang urus." Mama William menggerakan tangan seakan mengusirnya lalu menutup pintu kamar.
Harusnya ia bersyukur mendapatkan ibu mertua yang baik mau mengurus bayi yang belum tentu cucunya, tapi bisa jadi ini akan menjadi hal yang sulit jika waktunya mereka berpisah tiba.
"Kenapa dia harus tidur di sini?" Papa William menggerutu menatap iri pada bayi yang pulas di ranjang miliknya.
"Tidak apa, biar William dan istrinya lebih menikmati malam pertama mereka," ujar Mama William sembari mengecup pipi Belle.
"Heh, malam pertama yang bagaimana sedangkan mereka sudah punya bayi."
"Abang yakin ini anak William?" Papa William menatap istrinya, ia diam menunggu kalimat selanjutnya.
Istrinya ini terlihat polos, tapi punya kepekaan yang cukup tinggi. Sejujurnya juga ia ragu jika putra sulungnya berbuat sejauh ini, tapi bukti serta diamnya William membuatnya harus segera bertindak sebelum kabar burung sampai di telinga pemegang saham perusahaannya.
"William berkulit putih pucat dan rambutnya coklat mirip Mba Dea, Mama kandungnya. Kalau si Belle ini rambutnya ikal hitam dan kulitnya putih bersih," ujar Mama William sembari mengamati wajah polos Belle yang terlelap.
"Tidak mirip William berarti mirip Sarah," timpal Papa William.
Mama William mengerutkan kening dengan mata menyipit, "Tidak juga," ucapnya setelah berpikir sejenak lalu merebahkan tubuhnya di sisi Belle dan langsung memejamkan mata.
"Maksudnya gimana sih? ... Hei, Sayang ... Leaaa ...." Tak mendapatkan jawaban, Papa William berdecak kesal. Istrinya itu kerap membuatnya pusing dengan ucapan-ucapan yang mengharuskan ia memutar otak.
...❤️🤍...
Mampir di kisah orang tua William juga yaa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
TikaPermata
penggemar
"Cinta jangan datang terlambat" mana?
aku ngacung paling tinggi, sekrng malah Willi sudah besar ... et dah seru sambil nunggu berbuka ❤️❤️❤️
2023-03-28
3
Red Velvet
Duh aku ketinggalan banyak cerita nih. tp gak apalah nanti aku cicil sedikit demi sedikit🥰
2023-03-19
1
snowAngel_Ra2
dari awal emang lea ini tingkat kepekaannya tinggi sekali yaaa, semoga nanti sarah bisa bahagia dg abang Willy 🥰
2023-02-16
2