William semakin mempercepat suapan yang masuk ke dalam mulutnya. Mengingat hubungannya dengan Brenda, membuat emosinya kembali tak terkendali.
"Ajaklah Sarah ke kantormu sesekali." Papa memberi saran tapi lebih terdengar memaksa.
"Nanti akan kupikirkan lagi," sahut William cepat, "Aku berangkat dulu, ada tamu pagi ini," ucapnya sembari mengusap mulutnya dengan tisu lalu segera berdiri.
"Kamu hanya pamit pada orangtuamu saja?" Pertanyaan Papa menghentikan langkahnya, ketika William telah selesai mencium tangan Papa dan Mamanya lalu segera melangkah ke arah pintu.
William tahu apa maksud Papanya, ia melambaikan tangan dengan gerakan kaku pada Sarah, "Dah."
"Seorang suami yang akan berangkat ke kantor, sebaiknya meminta doa pada istrinya sebelum berangkat kerja agar semuanya dimudahkan. Percayalah, ini sudah Papa lakukan sejak menikah dengan Mama." Dengan gerakan kepalanya, Papa memberikan isyarat pada putranya agar mendekati Sarah.
"A-aku kerja dulu," ujar William berdiri dengan tubuh tegak di depan Sarah.
Sebelum berbalik, ia menoleh lagi pada Papanya memastikan apakah yang ia lakukan sudah benar. Papa diam tak merespon. William tahu ada yang kurang, karena sejak kecil tiap pagi kedua orangtuanya menyodori pemandangan yang sama saat akan berangkat kerja.
William mengulurkan telapak tangannya ke arah wajah Sarah. Gadis itu mengerutkan kening dan sedikit memundurkan kepalanya. Tak sabar, William menggoyangkan tangannya memberi kode tanpa suara.
Sejak kecil hidup bersama seorang Ayah yang sibuk bekerja dari pagi hingga malam, membuat Sarah tak mengenal hubungan yang hangat antar anggota keluarga.
"Cium," bisik William tak sabar. Sarah memandangi punggung tangan William yang berada tepat di ujung hidungnya.
'Cium?' Kerutan di keningnya semakin dalam. Ia menoleh ke arah Papa dan Mama William yang sedang mengamati mereka.
Tanpa meraih tangan William, Sarah mengecup punggung tangan suaminya dengan sangat lembut dan lama. Tiga pasang mata terbelalak melihat aksi Sarah, tapi mereka tak mengatakan apapun.
William sempat tercenung dengan tangan menggantung sebelum Papa menyadarkannya untuk mencium Belle.
Di dalam mobil, William memandangi punggung tangannya. Ia seperti masih merasakan bibir Sarah tertinggal di sana.
"Dasar bodoh, makhluk dari mana dia tak tahu cara mencium tangan suami?" Satu ujung bibir William tertarik keatas. Ada rasa hangat yang menggelenyar di dadanya. Saat ia mencium kening Belle yang berada di pelukan Sarah, bayi itu juga merespon bahagia. Kaki dan tangannya bergerak tak tentu arah dan mulutnya berceloteh riang.
Benar kata Papa, berangkat kerja hari ini terasa beda. Ringan, bahagia dan bersemangat. Ujung bibir William satunya lagi naik keatas mengikuti ujung lainnya yang lebih dulu terangkat. Sekarang bibirnya membentuk senyuman yang sempurna.
"Aiiish! Apa-apaan, dia bukan istri dan anakku! Pernikahan ini hanya sementara, sampai berita di luar sana mereda." William memaki sekaligus menghibur dirinya sendiri.
Setelah membawa Belle imunisasi di puskesmas terdekat, Sarah segera kembali pulang ke rumah William.
"Sarah, kamu ikut Mama ke kantor ya, bawa ini untuk Papa sama William," ujar Mama sembari menunjukkan kotak-kotak berisi lauk di atas meja makan.
"Makan siang, Ma? tiap hari Mama antar makan siang untuk Papa sama William?"
"Tidak juga," sahut Mama singkat.
Sarah tak bertanya lebih lanjut, ia tak ingin banyak berbicara dan akhirnya bisa menggagalkan rencana dan tujuannya. Ia langsung membantu mertuanya bersiap.
Sampai di kantor William, Sarah turun dan menatap gedung tinggi yang menjulang di hadapannya.
Ray Manly Cipta Creatif. Sarah bergumam dalam hati. Rangkaian huruf metalik besar menggantung di atas gedung tinggi itu.
Memori masa kecil Sarah bergulir. Gedung ini terasa begitu familiar di ingatannya.Suasana, hawa dan kehangatannya tak ada yang berubah. Ia merasa kembali ke masa lampau.
Saat Sarah menapaki tangga arah masuk ke lobby, ia seakan melihat seorang gadis kecil berambut panjang dan ikal, berlari naik turun menghitung anak tangga.
"Sarah ... Sarah, ayo kemari."
"Papa." Sarah mengucap lirih. Papanya dengan balutan jas abu-abu, tampak gagah melambaikan tangan memanggilnya dari dalam gedung.
"Sarah? Ayo masuk, kenapa berdiri di sana? kasihan Belle, banyak angin di luar."
Sarah mengerjapkan matanya, sosok Papa berjas abu-abu berganti menjadi Mama mertuanya yang menatapnya heran.
"Ah, iya Ma, aku kagum sama kantornya besar sekali."
"Kamu nanti akan sering kemari, Sarah jadi harus terbiasa dari sekarang."
Semakin masuk ke dalam gedung, suasana itu semakin kental. Ia serasa pulang ke rumah. Airmatanya merebak, tapi sebelah tangannya yang sedang meggendong Belle dan sebelah lagi memegang tas tak bisa leluasa menyusut air matanya.
"Kamu kenapa, Sayang? Kenapa menangis?" tanya Mama saat mereka ada dalam tabung lift yang akan membawanya ke lantai atas.
"Ingat Papa," ucap Sarah lirih sembari terisak.
"Papa kamu pernah kerja di sini?" tanya Mama hati-hati.
"Bukan, saya hanya ingat saat datang ke kantor Papa mengantar makanan seperti ini," ujar Sarah berbohong.
"Ow, maaf ya. Bukan maksud Mama membuatmu sedih, karena mengingat orangtuamu." Mama mengusap punggung Sarah dan memeluk anak menantunya itu.
"Tidak apa-apa, Ma." Sarah kembali tersenyum.
Ia kembali merangkai ingatannya akan gedung ini. Jelas tergambar di tiap sudut gedung ini bagaimana ia saat kecil dulu bermain dan menghabiskan waktu saat Papanya bertamu dan menjalankan bisnis.
'Ternyata Papa William rekan kerja Papa, kenapa aku baru sadar sekarang?'
Kepala Sarah berputar mengamati isi ruangan gedung kantor itu. Matanya memindai tiap sisi yang seakan tidak ada perubahannya.
"Tidak banyak yang berubah," ucap Sarah lirih.
"Ya, Papa William tidak terlalu suka gaya modern. Dia kalau sudah suka sesuatu akan dipertahankan," timpal Mama William tanpa sadar arti ucapan menantunya.
"Sarah, ruangan William di ujung sana. Kamu bawa makan siang untuknya ya." Mama memberikan satu kantong tas ke tangan Sarah.
"Hanya aku sendiri, Ma?"
"Iya, Mama ke ruangan Papa di sebelah sana. Kamu jangan khawatir tersesat, jalan aja terus sampai ujung." Mama tersenyum lalu melanjutkan langkahnya.
Sarah menatap tas berwarna biru di tangannya. Di dalam tas itu ada empat kotak berisi lauk dan nasi untuk William. Pikirannya berkecamuk apakah ia akan membawa tas itu ke ruangan suami bonekanya, ataukah menitipkan pada karyawan yang ada di sana.
Butuh keberanian untuk masuk ke ruangan William tanpa pemberitahuan, karena ia tahu pria itu tidak suka dengan kehadirannya.
'Kalau aku langsung ditalak, karena dia marah, bagaimana?' Sarah menggigit kuku jari jempolnya, 'Aku harus tetap menjadi istrinya sampai uangku cukup untuk menebus Papa.'
Sarah berjalan pelan menyusuri lorong yang menuju ruangan William. Sepanjang perjalanannya ia kerap berpapasan dengan pegawai di sana. Setelan kerja dan harum parfum merk terkenal, sepatu mahal, tas seharga puluhan juta berseliweran di depan matanya.
Sebuah pemandangan yang biasa baginya ketika menjadi putri konglomerat.
'Aku harus bisa merebut kehidupanku yang dulu!'
Sarah mengeratkan pegangannya pada tas berisi kotak makanan. Ia semakin mempercepat langkahnya seiring semangatnya yang kembali berkobar.
...❤️🤍...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
TikaPermata
😂😂😂
2023-04-04
1
Red Velvet
Papa cepatlah selidiki ttg siapa Sarah sebenarnya, 🥺🥺
2023-03-19
1
memei
masak papa William gak tahu tentang kehidupan Sarah yg sebenarnya pasti taukah... membuat Sarah n William menikah itu supaya menjauhkan William sama Brenda. aslinya udah tahu riyawat hidup Sarah mkanya setuju2 aja
2023-03-08
11