Bertemu Papa

Sarah menghela nafas lega setelah ponsel itu berhenti berdering. Ia segera mematikan nada deringnya, sebelum ponselnya itu mengeluarkan suara lagi. Tak satupun nomer yang tersimpan dalam ponsel pemberian komplotan mafia. Komplotan mafia itu juga, selalu berganti-ganti nomer jika ingin menghubunginya untuk menghilangkan jejak.

Sarah sangat takut jika William dan keluarganya terseret dalam masalah pelik Papanya. Komplotan itu sangat berbahaya, yang Sarah tahu orang yang berada di belakang komplotan itu mempunyai pengaruh besar sampai bisa menutup mulut seluruh karyawan perusahaan Papanya.

Sarah membawa dan menaruh ponselnya di bawah bantal, tapi baru saja kakinya naik ke atas ranjang ponsel itu kembali bergetar. Meski tak mengeluarkan suara lagi, getaran ponsel itu cukup menggema di kamar yang sunyi ini. Dengan langkah berjingkat, Sarah keluar dari kamar dan menyelinap di tangga darurat.

"Halo," bisik Sarah sangat pelan.

"Kenapa lama sekali kau jawab panggilanku? Kamu tidak rindu pada suaraku, Sayang?" Suara menjijikan itu terdengar lagi di seberang sana.

"Bulan ini setoranku sudah masuk, katakan apa lagi yang kalian inginkan?" Sarah ingin berteriak tapi situasi jelas tidak memungkinkan.

"Besok pagi aku ingin kamu datang. Ada pekerjaan yang baru untukmu."

"Menemuimu? Di mana?" kejar Sarah cepat. Ia sangat penasaran dengan suara di balik ponsel ini.

"Jangan terburu-buru, Sayang kita tak bertemu secepat ini. Tak sabar rupanya ingin bertemu denganku?" Suara tawa membahana di seberang sana semakin menambah rasa mual Sarah, "Kamu tidak rindu pada Papamu? Aku akan bawa kamu menemui Papamu. Apa kau mau?"

"Aku mau," sahut Sarah cepat. Setelah dua bulan lebih tak melihat kondisi Papanya, apapun akan ia terjang demi satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini.

"Pintar. Besok pagi jam delapan, halte depan Mall Persada. Jangan sampai terlambat, Cantik." Seperti biasa, pria itu langsung memutus sambungan teleponnya setelah menyampaikan sesuatu.

Dengan berjingkat pula, Sarah kembali ke kamar rawat Belle. Ia tersenyum lega melihat William dan Belle masih pulas tak terganggu olehnya. Sarah hampir tak bisa memejamkan mata, ia tak sabar menanti esok hari bertemu Papanya.

Namun ada yang ia lupakan. Bayi asuhnya ini sedang dirawat. Alasan apa yang bisa ia gunakan agar bisa keluar sejenak dari rumah sakit ini? Berulang-ulang kali memutar otak, Sarah belum dapat menemukan alasan yang tepat sampai akhirnya ia terlelap dengan sendirinya.

"Bu, maaf mengganggu. Bayinya mau diambil darahnya ya." Seorang perawat menepuk-nepuk kaki Sarah.

"Maaf, saya ketiduran." Sarah terjingkat dari atas ranjang. Dua perawat sudah siap di sisi ranjang Belle tersenyum padanya.

"Tidak apa-apa, Bu. Kami hanya memberitahu saja."

Sarah mengedarkan pandangannya, ia mulai menyadari William tak ada di dalam ruangan. Ia bisa bernafas lega setelah melihat jam yang ada di ponselnya. Masih ada waktu dua jam sebelum janji temu dengan komplotan mafia itu.

"Di gendong dulu, Bu bayinya." Kedua perawat itu mundur menjauh dari ranjang Belle. Bayi mungil itu menangis dengan wajah memerah setelah tangannya ditusuk jarum untuk kesekian kalinya.

"Cup, cup, cup. Sayang, sakit ya." Sarah menggendong dan mengecup-ngecup pelan tangan bekas jarum ditusukan.

"Setiap pagi kami akan mengambil darah, jika darah putihnya turun adek Belle sudah boleh pulang ya." Salah satu perawat mengelus pipi Belle.

"Terima kasih, Sus. Semoga hasilnya baik."

Sarah menimang-nimang Belle yang sedikit rewel karena lengannya yang nyeri. Matanya terus melirik jam pada layar ponselnya yang terus berdetak maju. Setelah tangisan Belle sedikit mereda, Sarah memberanikan diri menghubungi William. Orang satu-satunya yang bisa ia andalkan untuk menjaga Belle.

"Ada apa?" Belum sempat terangkat, orang yang dihubunginya muncul di depan pintu kamar.

"Aku kira kamu sudah pulang." Sarah melongo melihat William masuk dengan dua kantung plastik berisi makanan.

"Aku akan pulang setelah sarapan. Kamu tak akan melihat aku sepanjang hari di sini, jangan khawatir," ucap William sinis sembari membuka salah satu kotak makan yang ia bawa.

"Bukan begitu maksudku. Aku senang kamu ada di sini, maksudnya ... mm, bisakah kamu menggantikan aku menjaga Belle sekitar dua sampai tiga jam," pinta Sarah sangat berhati-hati.

"Lalu kamu?"

"Aku ... aku ada perlu dengan teman lamaku ... Mona."

"Penting?" tanya William tak acuh.

"Mm, ya dia mau bayar hutangnya padaku."

"Kenapa dia tidak datang kemari sekalian menjenguk anakmu?"

"Dia tidak bisa datang kemari. Dia kerja." Tangan Sarah saling mere mas gelisah. Waktu di ponselnya bergerak maju terus tak mau menunggunya.

"Kamu memintaku menjaga Belle, sementara kamu pergi menemui temanmu? Kalau aku tidak mau?" William menantang Sarah dengan ujung matanya.

"Tolonglah, aku akan menuruti apapun yang kamu mau."

"Apapun?" Kepala Sarah menggangguk yakin, "Besar sekali hutang temanmu itu rupanya sampai kamu rela melakukan apapun untuk menagihnya." William menyeringai sinis.

"Apa aku bisa pergi sekarang?" Mata Sarah kembali melirik jam di ponselnya.

"Baiklah. Jangan coba-coba kabur, kamu tak kembali aku jual bayi ini."

Sarah mengangguk cepat lalu masuk ke dalam kamar mandi. Ia sangat yakin, ucapan William tadi hanya untuk menggertaknya.

Sarah tak ingin membuang waktunya lebih lama lagi. Hanya membasuh wajah sekedarnya lalu berganti pakaian dan segera pergi setelah berpamitan dengan William.

Waktu janji temu tinggal 30 menit lagi, ingin rasanya Sarah melompat dari bus yang terjebak macet lalu berlari ke titik tujuan. Tepat pukul 10 kurang dua menit, ia sudah sampai di halte yang ditentukan.

Sebuah mobil hitam yang tak asing, berhenti tepat di hadapannya. Pintu mobil itu terbuka, tak ada yang mempersilahkan dia untuk masuk. Hanya ada dua orang di dalam, seorang pengemudi dan seorang lagi di bangku tengah. Pria di bangku tengah menoleh padanya dan memberi kode agar ia segera masuk ke dalam.

Begitu mobil itu berjalan, pria yang duduk di sampingnya segera menutup kedua matanya dengan sebuah kain hitam.

"Hei, apa-apan ini!" Sarah mencoba berontak, tapi dua pria di dalam mobil itu tetap diam tak bersuara. Semua gelap dan hening. Sarah tak dapat melihat apapun. Ia tak tahu kemana tujuan mobil yang ditumpanginya.

Sepanjang perjalanan jantung Sarah berdegub dengan kencang. Ia sangat takut dan khawatir, bagaimana jika pria di ponsel itu berbohong. Akan dibawa kemanakah dia? dan bagaimana nasibnya setelah ini?

Setelah ia merasa berjam-jam di dalam mobil, kendaraan itu akhirnya berhenti. Pintu di sebelahnya terbuka, Sarah ditarik turun dengan mata masih tertutup. Dalam kegelapan, ia dituntun entah menuju kemana.

Tiba-tiba kain yang menutup matanya ditarik hingga terlepas. Butuh waktu beberapa saat agar matanya dapat melihat dengan jelas.

"Papa ...."

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Red Velvet

Red Velvet

Sarah diperas dan diperalat... Semoga kebenaran cepat terungkap😣

2023-03-20

0

Nayla Ujji ...

Nayla Ujji ...

akhirnya, kamu ketemu sama Papa mu, sarah. walaupun ga bakalan lama.

2023-03-18

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!