Minta jatah separuh gaji di depan.

Tiga orang yang duduk di hadapan Sarah saling berpandangan, mendengar pertanyaannya.

"Apa saya kerja di sini dapat gaji juga?" ulang Sarah.

"Kamu itu belum tentu kerjanya bisa atau tidak sudah tanya gaji. Dasar mata duitan!" cetus William.

"Willi!" Papa membesarkan mata memberikan peringatan, "Sarah, keluarga di sini tidak mendapatkan gaji secara tertulis, tapi mendapatkan deviden semacam pembagian keuntungan tiap bulan. Kamu dan William sudah berkeluarga, akan ada perbedaan perhitungan bagiannya dari waktu ia masih belum menikah. Jadi untuk kebutuhanmu, kamu bisa minta sama suamimu." Papa menunjuk ke arah William.

"Berapa?" kejar Sarah. Ia harus jelas menghitung segala pendapatan yang bisa ia setor untuk komplotan itu. Semakin banyak, semakin cepat Papanya bisa ia jemput pulang.

"Kalian bisa bicarakan berdua. Papa sama Mama keluar dulu, kamu antar istri dan anakmu pulang ya, Wil."

Tiap kali orangtuanya menyebut bayi dan wanita itu sebagai anak dan istrinya, William selalu melengos malas. Entah mengapa Papa dan Mamanya seolah ingin menegaskan statusnya.

"Kamu pulang sendiri naik taxi online, aku masih ada kerjaan," ucap William sembari mengoper Belle ke pelukan Sarah, "Apa?" Mata William melotot ketika Sarah menengadahkan tangannya.

"Uang untuk pulang."

William mendengus kesal, tapi ia tetap mengeluarkan lembaran uang dari dompetnya.

"Mm, bisakah aku minta separuh dari uang gajiku bulan ini?"

"Kamu gila? Kerja saja belum sudah minta gaji?"

"Aku mau beli baju buat kerja besok. Kamu mau aku pakai daster ke kantor?"

"Berapa?" tanya William ketus.

"Mm, lima puluh juta."

"Kamu mau memeras aku?" Mata William terbelalak tak percaya Sarah berani menyebut angka sebesar itu.

"Kamu tahu 'kan harga setelan kerja itu berapa? Belum sepatunya. Aku belum punya itu semua." Sarah bersikeras. Ia tahu William punya lebih dari yang ia minta.

Sebagai perempuan yang biasa mengenakan baju bermerk, Sarah tahu kalau apa yang dikenakan William dari ujung rambut hingga kaki, adalah produk ternama yang harganya fantastis.

"Aku tak punya uang tunai." William menyodorkan kembali kartu hitamnya.

Sarah menggeleng menolak kartu yang diberikan, "ATM yang kemarin saja, karena aku mau ke salon potong rambut. Salon langgananku tidak terima kartu kredit."

"Ingat, hanya 30 juta," ucap William seraya mengayunkan kartu kredit miliknya di depan wajah Sarah.

"Dasar pelit. Aku yakin kutilang sawah itu lebih banyak menghabiskan uangmu dari pada aku."

Sarah tak mau berlama-lama di kantor William. Selain lelah bertengkar terus tiap bertemu, komplotan itu terus menerornya dengan pesan dan panggilan masuk.

"Halo." Sarah baru berani menjawab panggilan komplotan itu setelah berada di dalam taxi online.

"Jangan coba-coba menghindar, Manis. Mana uangku?" Kali ini pemimpin dari kelompotan itu yang berbicara di seberang sana. Selama ini ia tidak tahu siapa dan bagaimana rupa otak di balik penculikan Papanya itu.

Semasa Papanya jaya di pekerjaannya, ia sama sekali tak mau peduli dengan pekerjaan Papanya. Ia hanya tahu keinginannya semua terpenuhi. Sekarang ia menyesal tak bisa mengenali musuh Papanya dan tak mengerti apa yang dikerjakan Papanya selama ini.

Malam itu kehidupannya berbalik 180 derajat. Tak ada yang tersisa dari apa yang pernah ia miliki. Ia keluar dari rumah itu hanya dengan pakaian yang melekat di badan. Ponsel yang ia gunakan ini juga, komplotan itu yang memberikannya agar ia mudah dihubungi.

Bahkan saat keesokan harinya ia datang ke kantor Papanya, gedung itu sudah dikelilingi seng yang tinggi dan ada papan bertuliskan disita. Namun saat tadi ke kantor William, timbul secercah harapan walau masih samar. Setidaknya ia yakin jika Papa William dan Papanya, saling mengenal satu sama lain. Dalam ingatannya ketika ia masih duduk di bangku TK, hampir tiap hari setelah menjemputnya pulang sekolah Papanya membawa ia ke kantor itu hingga lewat waktu makan siang.

"Aku tidak bisa menjawab panggilan anda jika banyak orang, tolong mengertilah. Siang nanti ketemu di tempat biasa, sebelum itu bisakah aku melihat Papaku?"

Panggilan telepon terjeda sebentar lalu beralih ke panggilan video. Sarah dengan cepat menggeser simbol hijau di ponselnya.

Matanya berkaca melihat Papanya setengah berbaring di atas ranjang. Kondisinya jauh lebih baik dari pada awal mereka terpisah. Lebam di wajah Papa sudah mulai menghilang, tapi tubuhnya semakin kecil dan ringkih.

"Papa ...." Sarah memanggil lirih. Papa tak mendengar suaranya, kepalanya masih menoleh ke arah dinding kaca gedung. Sarah dapat melihat sorot yang kosong di mata Papa.

"Kamu jangan khawatir, Cantik. Saya memperlakukan Papamu dengan sangat baik di sini. Kamu bekerjalah yang baik dan hasilkan uang yang banyak untukku, lalu silahkan bawa Papamu."

Pria yang berbicara di seberang sana, tampak mengambil sendok dari piring yang ada di atas meja lalu akan menyuapkannya pada Papa.

"Lihatlah, bahkan kami memberikanya makan yang bergizi. Kamu harus berterima kasih padaku, Cantik. Aku bisa saja melenyapkan kalian dengan sekali jentikan jariku. Jadi, tolong berlakulah yang manis." Suara pria itu berat, tapi Sarah yakin itu bukan suara aslinya.

"Ayo, makan Pak Tua. Anakmu ingin melihat kamu makan agar sehat. Makaaan, Pak Tua!" Pria itu mulai tak sabar. Sendok yang penuh dengan nasi itu, dipaksakan masuk ke dalam mulut Papa yang menutup.

"Hentikan." Air mata Sarah mengalir melihat Papanya diperlakukan seperti itu.

"Kamu sudah mengerti? Jangan berani macam-macam, kalau tak mau Papamu menderita hingga mati di sini." Pria itu mengancam, lalu memutus sambungan teleponnya.

Sopir taxi online yang membawanya, hanya berani mengintipnya dari kaca spion.

Sampai di rumah, Sarah langsung menitipkan Belle pada pekerja rumah tangga William. Setelah itu ia mengambil uang yang telah ia kumpulkan dan simpan di tempat tersembunyi. Lalu ia segera keluar dan menggesek kartu milik William dan mengambil sejumlah uang dari sana.

Sarah menunggu di titik lokasi tempat bertemunya kaki tangan mafia itu untuk menyetor cicilan bulan ini.

"Tepat waktu sekali." Pria bertatto sudah berdiri mensejajarinya, "Kamu bawa uang itu?"

Sarah menyodorkan amplop coklat pada pria itu. Setelah menghitung jumlah uang di dalamnya, pria itu tersenyum.

"Tak kusangka gadis manja seperti kamu ini, pintar mencari uang. Bagaimana rasanya tiba-tiba menjadi seorang istri dan ibu dalam waktu singkat?" Pria itu terkekeh kencang sembari memasukan amplop coklat ke dalam kaosnya.

"Jangan-jangan kalian yang merencanakan ini semua? Pria dan bayi itu?" Sarah menatap pria bertatto itu geram.

"Bos kami menyebutnya sekali tepuk dua lalat mati seketika. Lakukan saja tugasmu dengan baik." Pria itu menepuk-nepuk punggungnya yang lalu ditepis kasar oleh Sarah.

Sepeninggal pria bertatto itu, Sarah duduk terpekur. Ia berusaha merangkai semua kejadian yang terjadi di sekitarnya. Perubahan dalam waktu singkat yang telah menjungkirbalikan dunianya.

...❤️🤍...

Terpopuler

Comments

Red Velvet

Red Velvet

Seseorang dibalik ini semua sepertinya musuh papa Sarah dan papa William juga.

2023-03-19

0

airanur

airanur

coba aza mulai trbuka sama will,,,minimal jujur masalsh kmu aza,,gk ush mnta duit,,yang pntng kmu kerja gjh gede kn bisa tu nutup mulut rentenir gk punya rasakasian ituh,,

2023-03-11

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!