Pagi kembali menjelang. Kalea telah terbangun dari tidurnya. Jam sudah menunjukkan pukul enam. Kalea sadar dirinya bangun kesiangan. Kepalanya terasa pening karena semalaman terjaga. Matanya seperti enggan untuk terlelap karena memikirkan banyak hal.
Seperti, Zoni yang kembali manis seperti dulu, Zoni yang mencintai dan menyayanginya seperti dulu. Semua diawali dengan kata seandainya karena Kalea hanya bisa berangan-angan.
Karena pada kenyataannya, usahanya setiap hari untuk membuat Zoni kembali jatuh cinta tidak pernah berhasil. Terbesit keinginan di hati untuk menyerah. Namun, jika mengingat tentang bagaimana wajah kecewa orangtuanya, hal itu membuat Kalea mengurungkan niat.
Dengan langkah gontai, Kalea keluar dari kamar tersebut menuju kamar suaminya. Dia harus masuk kesana karena semua pakaian ada di ruangan tersebut.
Saat sudah sampai di depan ruangan, ternyata pintunya terbuka dan Kalea bisa melihat sang Suami sedang mencari pakaian kerjanya.
"Sudah ketemu, Mas? Sini aku carikan," ucap Kalea lalu melenggang masuk begitu saja. Setelah sampai dan berdiri di samping sang Suami, Kalea mulai mencarikan pakaian kerja yang cocok.
Namun, saat tangannya bergerak untuk mengulurkan pakaian, sekaligus tubuhnya serong, Kalea bisa melihat tatapan Zoni yang tampak tidak suka. Belum lagi, jari telunjuk dan ibu jari suaminya itu menjepit hidung. Seakan, Kalea bagai sebuah sampah yang baunya busuk.
Kalea menunduk lalu meletakkan kembali pakaian yang baru saja di pilihnya. "Kamu bisa pilih sendiri, Mas. Aku akan pergi mandi dulu," pamit Kalea lalu berbalik dan akan berjalan menuju kamar mandi.
Namun, gerakannya terhenti kala mendengar suaminya membuka suara. "Mandilah! Aku selalu jijik ketika melihatmu baru bangun tidur. Sudah mirip seperti gelandangan."
Hinaan itu membuat Kalea kembali kehilangan kepercayaan diri. Kalea merasa rendah diri dan tidak memiliki kualitas hidup. Tidak ada tindakan lain kecuali kembali menangis dalam diam.
Kalea masuk ke kamar mandi dan seketika itu juga, air matanya luruh. Kalea begitu takut untuk menjawab semua hinaan dari suami maupun keluarganya. Kalea tidak pernah memiliki keberanian yang besar untuk keluar dari masalahnya.
Hanya bisa bersabar dan mengharap keajaiban. Pernah terbesit di kepala Kalea untuk melompat dari gedung tinggi atau sekedar menggores cutter di lengannya. Namun, setengah kewarasan Kalea masih ada sehingga urung untuk menyakiti diri sendiri.
"Sampai kapan aku bisa keluar dari sini? Aku terlalu takut hanya untuk mengucap sebuah kata pisah. Apa kata ayah dan ibuku nanti? Mereka pasti tidak mau tahu," gumam Kalea terdengar mengiris kalbu.
Kalea sampai merasa tidak ada satupun yang peduli dengan adanya dirinya di dunia. Tidak orangtuanya atau suaminya. Kalea merasa hidupnya tak lagi berguna.
Orangtuanya terbiasa menjunjung tinggi anak laki-lakinya hingga di sekolahkan hingga mendapatkan gelar sarjana. Sedangkan dirinya, hanya di sekolahkan hingga lulus SMP. Hal itulah yang terkadang menjadikan ibu mertua dan adik ipar menghinanya.
"Ya Tuhan. Aku tidak ingin seperti ini terus. Tolong bantu aku keluar dari hidup yang sengsara ini," ucap Kalea berdoa. Berharap beban yang ada di pundak bisa sedikit berkurang.
Namun, hingga pukul delapan menjelang, di kepala Kalea hanya terlintas lompat dari gedung yang tinggi atau mungkin lompat ke jurang. Tidak ada yang bisa menahannya agar tetap bertahan hidup.
Belum ada anak dalam pernikahannya dengan Zoni. Entah Kalea maupun Zoni belum pernah mengecek ke dokter tentang kesuburan.
Setelah mengguyur tubuhnya dengan air dingin, Kalea keluar dari kamar mandi dan memakai pakaian. Rok plisket hitam selutut dipadukan dengan kemeja floral. Rambutnya Kalea gerai karena masih basah.
Dia ingin tampil lebih baik hari ini. Walau wajahnya tampak buruk, setidaknya pakaiannya lumayan enak di pandang. Lagi-lagi air matanya luruh setiap teringat kata-kata kasar dan menyakitkan dari mulut suaminya.
"Apa aku tidak berharga sampai-sampai diperlakukan tidak selayaknya? Apa karena aku berpendidikan rendah? Atau karena aku dari orang yang tidak berada?" tanya Kalea pada pantulan dirinya di cermin.
Hanya pantulan itu yang mampu menjaga Kalea untuk tetap waras menjalani kehidupan bersama suaminya. Karena teman yang setia dan tidak akan pernah meninggalkan Kalea, adalah diri Kalea sendiri.
Dan berbicara pada diri sendiri itu rasanya begitu mengiris. Tidak ingin membuat diri terlihat mengenaskan, Kalea memilih keluar untuk jalan-jalan. Dia butuh penyegaran karena sudah beberapa hari ini menjadi sasaran kekesalan Zoni.
Tidak ada alat transportasi yang Kalea gunakan. Dia lebih senang berjalan di trotoar menikmati kendaraan lalu-lalang yang menimbulkan kebisingan. Kalea suka berada di keramaian karena pada saat itu, Kalea akan melamun dan tidak ada satupun orang yang menyadari.
Lima belas menit berjalan kaki, Kalea berhenti di sebuah taman lalu duduk bersila dengan bersandar pada pohon Ketapang. Kalea selalu nyaman berada di tempat ini. Tempat dimana tidak ada yang peduli dengan keberadaannya.
Daun dari pohon Ketapang itu tampak berguguran karena tertiup angin hingga jatuh dan beberapa mengenai Kalea. Terlalu sibuk melamun, tanpa sadar ada seseorang yang tengah berdiri tidak jauh dari tempat Kalea berada.
"Hai? Boleh bergabung?" sapa suara berat yang mampu membuyarkan lamunan Kalea tentang kata 'Seandainya ...'
Kalea tersenyum sambil kepalanya menunduk. "Silahkan." Hanya kata singkat itu yang Kalea keluarkan.
Hening menyergap di antara keduanya. Angin yang berhembus membuat rambut Kalea berantakan hingga tangannya bergerak untuk mengikatnya dengan karet di saku celananya.
"Sepertinya kamu begitu nyaman dalam lamunan. Hati-hati. Bisa sebabkan kesurupan," ucap suara itu lagi entah dengan maksud apa.
Kalea menoleh dengan dahi yang mengernyit. "Aku tidak melamun," elak Kalea lalu membuang muka.
Pria di sebelahnya terkekeh pelan. "Aku sudah memperhatikan sejak tadi. Sepertinya, masalah hidup sedang begitu rumit," tebak pria itu lagi yang hanya diabaikan oleh Kalea.
Hening kembali tercipta. Kalea memilih menoleh untuk melihat wajah pria di sebelahnya dengan lebih jelas. Sejenak Kalea tertegun karena ketampanan pria di sampingnya.
Namun, hal itu hanya sebentar. Tampan saja belum cukup dalam menjalin sebuah hubungan.
"Oh iya. Namamu siapa jika boleh tahu?" tanya pria itu lagi seakan tak kenal lelah untuk membuat Kalea mau berbicara.
"Namaku Kalea," jawab Kalea tanpa menatap lawan bicaranya. Dia tidak seberani itu.
Namun, Kalea segera mendongak saat ada tangan yang terulur di depannya. "Sepertinya kita harus berkenalan. Bisakah kita menjadi seorang teman?" tawar pria itu dengan senyum yang menawan.
Kalea terpana. Senyum yang begitu hangat hingga Kalea bisa merasakannya. Dan entah mengapa, Kalea justru ingin menangis. Kalea sampai lupa kapan terakhir kali dirinya tersenyum tanpa beban seperti itu.
Tanpa menunggu lebih lama, Kalea menerima jabatan tangan dari pria yang sejak tadi menemaninya. "Bisa."
Senyum yang sangat menenangkan kembali muncul dari pria di hadapannya. "Namaku Javas Kanagara. Kamu bisa memanggilnya dengan sebutan Javas," ucap pria itu lagi lalu meremas lembut jemari Kalea.
Pada saat itu juga, seperti ada sengatan listrik yang membuat tubuhnya berdesir. Kalea merasakan nyaman di awal perjumpaannya dengan Javas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments