Zoni menatap rumahnya yang tampak sepi. Tidak ada suara Kalea yang sedang mencuci piring atau sedang mencuci perabotan yang baru saja dipakai untuk masak. Keadaan rumah tampak rapi seakan jarang tersentuh oleh sang pemiliknya.
Harusnya Zoni senang karena tidak ada suara berisik Kalea dalam ruangan. Anehnya, Zoni cukup terganggu dengan rutinitas yang hampir satu Minggu ini tidak lagi ada. Rindu. Mungkin kata itu yang mewakili.
Harusnya Zoni tidak perlu lagi merasa seperti itu bukan? Apalagi merasa seperti ada yang hilang. Tidak ingin memikirkannya, Zoni segera menuju ruang makan dan melakukan sarapan. Dia bisa terlambat jika terus memikirkan istri buruk rupanya.
Saat membuka tudung saji, hanya ada satu piring nasi goreng dengan telur ceplok di atasnya. Zoni menghela napas kasar dan memilih menutup makanan kembali. Selera makannya mendadak hilang.
"Lebih baik aku sarapan di kantor saja," gumam Zoni lalu bergegas keluar dari rumah setelah sebelumnya mengunci pintu.
Dengan perasaan yang buruk, Zoni mencoba fokus menyetir. Kepalanya terasa pusing saat semalaman suntuk tidak bisa tertidur. Oleh karena itu, tadi pagi Zoni marah-marah saat Kalea membangunkannya.
"Kenapa aku harus terganggu dengan tangis Kalea saat ada mama ya? Biasanya juga aku tidak pernah menganggapnya sebagai masalah," gumam Zoni bertanya dan cukup frustasi.
Saat mobilnya berhenti di lampu merah, ponselnya berdering menandakan ada telepon masuk. Barangkali penting, Zoni mencari keberadaan ponsel yang ada di tas kerja. Nama Mama terpampang disana.
Zoni menghembuskan napas pelan lalu menggeser layar hingga telepon terhubung.
"Halo, Ma."
"Apa? Transfer lagi? Memangnya, uang mama kemana yang baru aku kasih? Kenapa mama tidak meminta ke Papa sih?" Untuk pertama kalinya Zoni merasa kesal dengan tingkah laku sang Mama.
Tanpa menunggu jawaban dari mamanya, Zoni segera menutup telepon dan melempar ponsel ke samping jok kemudi. Pagi hari yang indah nyatanya hanya jadi wacana.
Sedangkan di tempat lain, Kalea tengah menyiapkan sarapan untuk sang Tuan yang tidak lain adalah Javas. Kalea merasa heran sendiri. Hubungannya dengan Javas seperti seorang teman. Tidak ada tindakan layaknya Tuan dan pelayan. 'Javas memang orang yang baik.' Kalea bergumam dalam hati.
"Pasti sedang memikirkan aku ya?" tebak suara dari arah belakang Kalea.
Hal itu tentu membuat Kalea berjenggit kaget. Bagaimana bisa Javas mengetahui jika kepalanya sedang berpikir tentang Javas.
"Sepertinya kamu terlalu percaya diri," jawab Kalea sambil menggelengkan kepala.
Kalea berjalan mendekat dengan satu botol jus yang baru saja dibuatnya. "Ini. Aku membuatkan jus alpukat sesuai pesanan, Tuan," ucap Kalea sedikit membungkuk. Berniat melempar candaan pada Javas dan itu berhasil.
Wajah Javas mendadak tak suka. Kalea tentu tak mampu lagi menahan tawanya. Dia mulai terbahak kala melihat wajah Javas semakin konyol saja.
"Kenapa? Kenapa ekspresimu seperti itu?" tanya Kalea dengan tawa yang masih tersisa.
Javas tersenyum lalu menggeleng. "Kamu terlihat cantik saat tertawa dan aku suka," jawab Javas yang seketika membuat Kalea kehilangan senyum.
Sudah lama sekali Kalea tidak mendengar kata pujian keluar dari mulut sang Suami dan kini, Kalea justru mendengar dari mulut laki-laki lain. Bolehkah Kalea tersipu?
"Kenapa raut wajahmu seperti itu? Apa ada yang salah dari ucapan ku?" tanya Javas merasa bersalah.
Kalea menunduk sebentar dan kembali mendongak. Dia berusaha mengulas senyum walau terlihat dipaksakan.
"Tidak ada. Aku hanya merasa asing dengan kalimat pujian," jawab Kalea lalu kembali mengalihkan perhatian pada cucian di depannya.
Pikiran Kalea seakan langsung memutar kejadian dimana Zoni selalu mengatainya jelek, jerawatan, dan bermuka kusam. Tidak ada satu pun kalimat pujian yang diucapkan sang Suami saat bersamanya.
Bahkan, Kalea ingat jelas jika tadi pagi Zoni sempat berbicara dengan nada meninggi saat berusaha membangun sang Suami. Mengingat itu, air mata seketika membendung di pelupuk mata lalu menetes deras membasahi pipinya.
Kalea seperti kehilangan kepercayaan diri setelah apa yang dilakukan Zoni. Bahkan, di saat orang lain memujinya cantik, bukan senang yang Kalea rasa. Dia justru beranggapan, bahwa orang tersebut sedang menghina dirinya.
Bisa dibilang, Kalea seperti krisis akan percaya diri.
Kalea seperti merasakan ada pergerakan di belakang tubuhnya. Lalu, disusul suara berat namun sangat lembut.
"Apa terjadi sesuatu dengan rumah tanggamu?" tanya Javas lembut.
Kalea bergeming di tempat hingga suara Javas kembali terdengar. "Kamu bisa bercerita padaku. Dengan senang hati aku akan menyiapkan telinga untuk mendengar semua keluh kesahmu. Jangan dipendam, Lea. Itu tidak akan baik untuk kesehatan mentalmu."
Setelah Javas berucap demikian, Kalea seperti merasakan telapak tangan besar yang menepuk lembut bahunya. "Jangan dipendam sendiri."
Tanpa diminta atau dibuat-buat, Kalea pun menangis dengan air mata yang tumpah-ruah. Dia terharu karena ternyata, masih ada yang peduli dengan perasaan Kalea.
Tangisnya semakin menjadi kala merasakan tangan besar yang memeluk pinggangnya dari belakang. Ada rasa nyaman yang menyusup di relung kalbu saat tangan kokoh itu mendekapnya erat.
Entah itu karena apa, Kalea hanya ingin menikmati waktu ini. Waktu yang bisa membuat Kalea menumpahkan segala keluh kesahnya.
Tanpa Kalea sadari, kejadian itu menjadi awal dari perubahan hidupnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments