Pagi kembali menjelang. Kalea telah bersiap untuk menuju alamat yang Javas beritahu. Jika benar disana terdapat lowongan pekerjaan dan Kalea bisa diterima bekerja, ini akan menjadi sebuah keberuntungan tersendiri untuknya.
Bisa di bilang, Kalea belum mempunyai pengalaman bekerja karena sejak dulu hanya membantu sang ibu berjualan kue. Membicarakan tentang orang tua, Kalea tiba-tiba diserang rindu.
Minggu depan Kalea akan mengunjungi orang tuanya.
Setelah berpakaian lengkap, Kalea turun ke lantai bawah dan mendapati Zoni sudah duduk di meja makan dengan raut wajah yang tampak kesal. Jujur, Kalea masih takut bila harus menghadapi kekesalan sang Suami.
"Mas, hari ini aku akan melamar pekerjaan—"
"Oh! Jadi karena kamu akan melamar pekerjaan lalu tidak melakukan tugas sebagai seorang istri dengan baik? Kamu pikir, kamu sudah sangat hebat? Sampai-sampai tidak lagi memasak sarapan?" sela Zoni sarkasme.
Kalea menelan saliva. Dia memiliki alasan mengapa hari ini tidak memasak sarapan. "Aku punya alasan sehingga tidak memasak sarapan. Uang yang kemarin kamu kasih sudah habis," jawab Kalea menunduk takut.
Zoni tampak terperangah. "Boros sekali kamu! Kamu gunakan untuk apa uang sebanyak itu?" tanya Zoni kesal dengan suaranya yang meninggi. Kemudian, tangannya bergerak untuk menggebrak meja makan.
Brak!
Kalea berjenggit kaget lalu memegangi dadanya. "Kemarin ada tagihan listrik dan air. Kamu tahu sendiri memiliki rumah besar juga harus memiliki modal besar untuk merawatnya." Kalea masih mencoba menjelaskan dengan nada lembut.
Terlepas dari sifat kasar sang Suami, Kalea yakin jika Zoni masih mencintainya.
"Argh! Lama-lama aku bisa cepat tua menghadapi istri seperti kamu. Jadi yang selama ini dikatakan ibu itu benar. Kamu tidak sebaik yang aku kira!"
Deg!
Jantung Kalea seperti berhenti berdetak detik itu juga. Kalea menatap sang Suami yang wajahnya tampak merah padam. Raut wajah seperti itu memang selalu Zoni tunjukkan di hadapannya.
Hatinya terasa sakit kala mendengar secara tidak langsung Zoni menyesal telah menikah dengannya. "Kenapa kamu hanya menyalahkan ku, Mas? Kenapa selalu aku yang disalahkan dalam hubungan ini? Kamu pikir, aku bahagia? Aku bisa membeli apa yang aku mau? Aku bisa hidup damai dan tenteram di dalam rumah?" tanya Kalea menggebu-gebu. Matanya mulai berembun hingga membuat pandangannya kabur.
"Coba sekali saja kamu perhatikan aku. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaan dan tidak pernah ada waktu untukku. Kamu tidak pernah tahu apa yang sudah aku lalui setiap harinya di rumahku sendiri. Kamu tidak akan tahu dan tidak mau tahu." Kalea berucap sambil menatap manik dalam milik Zoni. Berharap bisa menemukan setitik perhatian yang masih tersisa untuknya.
Zoni terdiam dengan tenggorokan yang terasa tercekat. Dia menyadari selama ini terlalu sibuk bekerja hingga tak punya waktu lagi untuk Kalea. Zoni balas menatap sang Istri yang terlihat begitu rapuh. Kalea yang dulu sangat Zoni cintai hingga rela melakukan apapun termasuk melawan restu orang tua.
"Kamu tidak pernah ada waktu untukku. Aku selalu sendirian menghadapi hari-hariku yang terasa mencekam," ucap Kalea dengan air mata yang mulai berderai. Tatapannya sarat akan luka dan haus kasih sayang.
"Coba kamu ingat lagi kapan terakhir kali kita duduk bersama, bertukar cerita, berbagi kopi di satu cangkir yang sama. Aku rindu itu, Mas. Kamu sudah berubah dan hanya mendengarkan mamamu. Kamu tidak pernah mendengarkan aku." Tangis Kalea semakin tak terkendali. Beban yang selama ini dipikul seakan sedikit demi sedikit sedang diturunkan.
Batinnya merasa lelah menahan tumpukan kecewa, sedih, dan amarah yang selalu berusaha ditahan. Tubuhnya luruh ke lantai membuat penampilannya semakin berantakan. Tidak ada lagi wajah cantik seperti dulu. Yang ada, jerawat setiap hari tumbuh di bagian wajahnya. Satu kering, satu tumbuh. Begitu seterusnya hingga keadaan Kalea semakin terlihat mengenaskan dan tidak terurus.
Zoni tergugu di tempat. Dadanya juga ikut nyeri menyaksikan bagaimana rapuhnya Kalea saat ini. Tidak ada baju indah lagi yang Kalea kenakan seperti dulu. Entah kemana perginya uang yang sudah Zoni berikan.
Kalea meraup wajahnya kasar untuk menghapus tetesan air mata yang mengalir bagai air bah. "Sudah siang, Mas. Kamu bisa terlambat jika meladeni isi hatiku. Bukankah pekerjaan lebih penting dari segala-galanya? Termasuk aku yang bisa kamu nomor seratuskan. Aku terlalu muluk-muluk jika meminta untuk menjadi nomor satu dalam segala urusanmu," ucap Kalea menyindir ucapan sang Suami yang sudah sering sekali terucap.
Cinta Kalea seperti diinjak-injak dan tidak pernah dihargai. Mengingat itu, air mata Kalea semakin berjatuhan layaknya hujan deras yang membanjiri pipi.
Zoni menghembuskan napasnya kasar agar sesak di dadanya sedikit mereda. Bola matanya bergerak ke atas menatap langit-langit rumah untuk menghalau air mata.
Setelah itu, Zoni berjongkok untuk menyejajarkan tinggi badannya dengan Kalea. Bukan untuk mengucapkan kata cinta atau sekedar kata maaf karena telah membuat Kalea terluka. Dia hanya mengucapkan satu kalimat yang membuat Kalea semakin sakit dibuatnya.
"Aku pergi."
Sesaat, Kalea menahan napas kala kalimat yang diucapkan Zoni tidak sesuai ekspektasinya. Kalea seperti kehilangan hidupnya.
Apalagi, kini Zoni berdiri dan berjalan menjauh meninggalkan Kalea sendirian. Kalea hanya bisa menatap nanar kepergian sang Suami yang lagi-lagi menorehkan luka yang begitu dalam.
"Mungkin, sampai aku menangis darah pun, kamu tidak akan balik peduli padaku," gumam Kalea dengan suaranya yang parau.
Setelah mendengar deru mobil suaminya menjauh, tangis Kalea semakin menjadi-jadi dan tak terarah. Seperti meraung dan memukuli dadanya sendiri.
Rasanya sakit dan menyesakkan berada di posisi Kalea yang sekarang. Merasa lelah, Kalea memutuskan mengakhiri tangisnya. Dia tidak boleh terlambat datang ke perusahaan karena hari ini dia akan mengadakan interview.
Dengan langkah gontai, Kalea menuju wastafel dapur untuk mencuci wajah. Dia harus meminimalisir wajah mengenakannya. Walau bagian mata adalah bagian yang tak dapat lagi berbohong. Terlihat bengkak dan sembab.
Setelah selesai, Kalea mengelap dengan handuk bersih yang berada di gantungan jemuran. Untuk naik ke kamarnya, Kalea tak memiliki banyak waktu. Beruntung, Kalea membawa krim wajahnya yang dia beli dari uang pemberian Zoni.
Hanya krim seharga tujuh puluh lima ribu. Sengaja Kalea memilih yang paling murah namun tetap aman untuk kulitnya yang sensitif. Tentunya karena banyak kebutuhan yang harus Kalea urus dan memerlukan banyak uang.
Setelah siap, Kalea memesan ojek online lalu meminta driver membawanya ke alamat yang dituju. Tidak berapa lama, Kalea sampai dan membayar tagihan.
Setelah memastikan penampilannya rapi, Kalea menatap gedung tinggi di hadapannya. Mungkin jika di lihat dari lantai paling atas, Kalea hanya akan terlihat seperti semut kecil.
"Aku harus siap dan berani. Aku pasti bisa mendapatkan pekerjaan ini," gumam Kalea menyemangati diri sendiri lalu melangkah dengan pasti memasuki gedung tinggi tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 87 Episodes
Comments