Cafe lumayan ramai, kami cukup terhibur dengan segerombolan pemuda yang bermain gitar di meja mereka.
"Kak, kami boleh, gak buat konten di sini? Kami mau cover-cover lagu gitu," ucap salah satu dari mereka sebelum memutuskan untuk duduk dan memesan makanan.
Dengan senang hati aku menerimanya, lumayan juga akan ada penghibur di cafe ini.
Kulihat arloji di tangan, sudah jam 9. Satu jam lagi cafe akan tutup, "Mm ... Aulia, gue pulang duluan, ya!"
"Yaudah, hati-hati, ya."
Aku membuka celemek dan membawa kembali papar bag yang berisi bekal tadi yang sudah habis kami makan bersama.
Masuk ke dalam mobil dan memilih untuk pulang, entah kenapa rasanya hari ini aku sangat lelah.
"Untuk apa menikah jika tak ada kebahagiaan?"
Ucapan dari asisten butik tadi selalu terngiang-ngiang di pikiranku, seolah apa yang dia ucapkan begitu benar.
Suara dering handphone milikku menggema, kuketepikan terlebih dahulu mobil dan mengangkat panggilan itu.
"Iya, ada apa Tante?"
"Sayang, kamu lagi ada di mana?"
"Di jalan, mau pulang Tante."
"Dari mana emangnya?"
"Dari cafe, Tante. Ada apa, ya?"
"Kita bisa bicara berdua, di salah sati cafe," ujar Tante Dwi yang berada di sebrang.
"Mmm ... oke, Tante. Boleh, deh."
"Yaudah, Tante sherlock lokasinya, ya."
"Iya, Tante."
Panggilan dimatikan dan suara notifikasi masuk ke aplikasi hijau milikku, tak jauh dari tempat aku berhenti. Apa mungkin Tante Dwi memang sengaja?
Kujalankan mobil kembali ke lokasi yang diberi oleh Tante Dwi, sekitar 10 menit aku sudah sampai di depan cafe.
Masuk ke dalam dan mencari keberadaannya, tangan melambai ke atas membuat aku akhirnya berjalan mendekat ke arahnya.
Aku kira pulang dari cafe dengan cepat adalah pilihan, ternyata malah ada kegiatan yang lainnya. Capai sekali rasanya.
"Ada apa Tante?" tanyaku sudah malas basa-basi.
"Eh, pesen dulu dong. Kok mau langsung buru-buru gitu, sih?" tanya Tante Dwi dengan tersenyum ramah.
Sedangkan aku, mencoba untuk membalas senyuman Tante Dwi. Dia memanggil pelayan dan aku hanya meminta jus jeruk saja.
Kulihat, Tante Dwi menikmati puding yang di pesannya sambil menatap ke arah luar cafe. Aku masih bergeming, menunggu apa yang ingin dibicarakan Tante Dwi.
"Apa kau bahagia dengan perjodohan ini?" tanya Tante Dwi menatap ke arahku.
Aku diam sesaat dan ingin membuka mulut menjawab pertanyaannya, "Hahaha, Tante sepertinya salah bertanya. Tentu saja kau tak bahagia, bahkan yang Tante dengar. Kau sampai nekat bunuh diri, ya?"
"Tan, gak ada satu orang pun di dunia ini yang mau dinikahkan dengan seseorang yang dia cintai. Termasuk Tante juga 'kan?"
"Iya, maaf karena Tante egois menyuruh kau untuk menikah dengan Malik. Malik dulu punya kekasih, namanya Clarisa. Apa dia pernah menceritakan hal ini?" tanya Tante Dwi.
Aku menautkan alis, nama itu adalah nama yang tadi sore juga kami bahas. Namun, aku mau mendengar tentang wanita itu versi Tante Dwi.
Kugelengkan kepala, "Tidak, Tante. Siapa itu?" tanyaku berbohong.
"Dia adalah wanita yang membuat Malik bahagia dan tersiksa, dia meninggalkan Malik begitu saja dengan laki-laki lain tanpa alasan yang jelas. Bahkan, akibat yang wanita itu buat sampai Malik separah waktu itu. Waktu di mana kamu menyelamatkan dia."
"Kenapa Tante gak suruh anak buah Tante aja buat nyari dia di mana?"
"Sudah dan ternyata dia sudah menikah dengan laki-laki lain di luar negri, tak mungkin jika Tante tetap memaksa agar Malik dekat dengan wanita tersebut."
"Tapi, Tante. Pak Malik masih ada rasa dengan wanita itu, bagaimana mungkin Tante bisa menyuruh kami menikah sedangkan dia belum bisa melupakan?"
Tante Dwi menggenggam tanganku dengan sorot mata sendu, "Karena, Tante yakin bahwa kau bisa merubah dia. Cinta bisa tumbuh karena terbiasa, apalagi Malik adalah anak yang bergantung dengan orang lain. Dia banyak tidak bisa melakukan tugas rumah bahkan menyetrika pakaian. Kalau kalian berdua terus-menerus, mau tak mau dia pasti akan membutuhkan bantuan kamu. Kalian akan saling mencintai nantinya, percayalah sama Tante," kata Tante Dwi dengan mata yang berbinar.
Aku mengalihkan pandangan, menatap lantai cafe. Entahlah, rasanya ini adalah hal yang sangat mustahil. Bahkan, Pak Malik sudah menyuruhku agar jangan mengcampuri kehidupan dia apa pun itu.
***
"Assalamualaikum," salamku membuka pintu dan tak lupa kembali menutupnya.
"Waalaikumsalam, kamu dari mana Abibah?" tanya Papa yang ternyata mereka bedua masih berada di sofa.
"Habis ketemu sama Tante Dwi," jawabku singkat.
"Apa kau tengah berbohong?"
Aku berhenti dan menatap dengan wajah kusut, sungguh aku sangat letih dengan semuanya sekarang.
"Telepon Tante Dwi kalo emang tidak percaya lagi dengan ucapan Abibah!" Kutinggalkan mereka berdua begitu saja.
Suara Papa membesar dan menyuruhku untuk kembali ke ruang tamu, aku enggan. Memilih untuk menyegarkan tubuh lebih penting sekarang.
Selesai mandi dan memakai piyama, kubuka jendela dan menatap bulan yang terang di atas sana.
Beberapa kali membuang napas kasar, berharap aku ini masih mimpi. Melihat ke arah tangan sebelah kiri membuat senyuman terangkat.
"Apa kau akan marah dan benci sama kami selamanya, Nak?" tanya Mama yang ternyata masuk ke kamar. Aku lupa untuk menguncinya.
"Kami menikahkan, bukan berarti kalian harus selamanya bersama, kok. Kamu bisa cerai nantinya," jelas Mama yang membuat aku seketika tersenyum bahagia.
"Tapi, dengan pernikahan minimal 1 tahun. Setelah itu? Kamu boleh minta ke Mama atau Papa agar menguruskan percerain kalian, jika bahagia tak kunjung ada di dalam pernikahan kalian," sambung Mama dengan mataku yang menatap ke arahnya.
"Janji, Ma?" tanyaku dengan mengangkat kelingking.
Mama tersenyum tipis, menatapku terlebih dahulu baru menautkan jari kelingking kami, "Janji!"
"Setelah itu Abibah boleh ngambil S2 di luar negri, ya?"
"Boleh, Sayang."
"Yee ... makasih, Ma!" seruku dan berhambur ke pelukan Mama.
Aku tak peduli nantinya orang akan berkata apa tentang statusku yang masih muda sudah janda, yang terpenting aku bisa bebas nantinya dan bisa menggapai apa yang kuinginkan.
Tak lama, Mama akhirnya keluar setelah kami sedikit bercerita serta tertawa. Aku memutuskan untuk merebahkan tubuh dan menutupnya dengan selimut.
Tersenyum, membayangkan bisa kuliah di luar negri dan bebas bermain dengan teman-teman yang lainnya.
"Pasti sangat bahagia sekali 'kan? Bisa kuliah dan bermain dengan teman?" gumamku.
Sementara di ruang tamu, Yusuf sudah memasang wajah serius karena Silki yang berucap demikian ke putrinya.
"Apa kamu kira pernikahan adalah ajang permainan?"
"Dan apa Mas kira juga pernikahan adalah ajang pemaksaan?" tanya Silki tak kalah sengit, "beruntung dia tidak melaporkan hal ini ke HAM, bagaimana pun hak dia sudah terenggut akibat keegoisan kita!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Dian Citra Utami
Aaahhh Mama silki bijak bgt
2023-06-29
0