“Aaaaaa,” teriakku.
Sosok itu masih menatap lekat ke arahku, wajahnya sangat menyeramkan. Membuat bulu kudukku serentak berdiri. Setelah berteriak aku tidak bisa berkata, karena mulutku tiba-tiba sulit mengatup.
Entah berapa lama aku dalam kondisi mematung dan sosok itu menghilang serta tubuhku kembali melemah saat Bik Ela yang tergopoh-gopoh datang menghampiriku.
“Non Yura, kenapa?” tanyanya dengan posisi berjongkok karena tubuhku saat ini sudah dalam posisi duduk di lantai.
“Bik ….”
“Astagfirullah,” ucap Bik Ela sambil mengusap wajahku. “Istigfar Non,” ujar Bik Ela lagi.
Setelah mengikuti ucapan Bik Ela berkali-kali, akhirnya aku bisa lebih tenang dan perlahan tubuhku kembali normal. “Bik Ela,” panggilku.
Bik Ela menerima gelas berisi air minum dari ART lainnya lalu meminumkan kepadaku.
“Bik, Ibu ….” ucapku.
Bik Ela menoleh ke arah di mana Ibuku masih menatap televisi. Aku enggan menatap ke arah tersebut, khawatir sosok itu masih ada di sana. Melihat Bik Ela yang biasa saja, aku menduga kalau sosok itu benar-benar sudah lenyap.
“Ibu sedang nonton TV. Non Yura kenapa berteriak?”
“Apa normal Bik, sejak tadi pagi Ibu masih disitu. Dia bukan nonton tapi melamun, tolong Bibi ajak Ibu ke kamar atau kemana kek dari pada disitu. Tadi aku melihat ….” Aku tidak meneruskan kalimatku, tidak yakin Bik Ela akan percaya dengan apa yang aku lihat kalau aku mengatakannya.
“Tapi Non, nanti Ibu marah kalau diganggu.”
“Udah cepat Bik. Aju tunggu di sini,” titahku masih terduduk di lantai.
Bik Ela menghampiri Ibu, terdengar menyapa Ibu dan mengajak Ibu ke kamar. tidak ada penolakan atau jawaban dari Ibu tapi aku mendengar langkah kaki menjauh. Aku menghela nafas pelan lalu beranjak berdiri dibantu Mbak Marni, art ibuku yang lain.
“Terima kasih Mbak,” ujarku.
“Non Yura mau ke mana?”
“Tadinya aku mau cari jajanan, tapi nggak jadi deh. Aku ke kamar aja,” ujarku lalu berbalik menuju tangga.
Sampai di kamar aku langsung berbaring sambil mengatur nafasku. Lagi-lagi kondisi tubuhku seakan drop setelah melihat atau berinteraksi dengan makhluk-makhluk yang terlihat menyeramkan. Aku ingat Kak Aldo, lalu mencoba menghubungi pria itu. Entah kenapa, aku malas menghubung Kaivan.
Terdengar nada tunggu setelah aku melakukan panggilan, tapi tidak ada jawaban. Aku ulangi lagi dan hasilnya sama, ada nada tunggu tapi tidak ada jawaban.
“Memang kamu siapanya Aldo, sampai harus direspon dengan cepat,” gumamku. Aku lepaskan ponselku begitu saja dan memeluk guling sambil berbaring miring. Tiba-tiba aku mengingat sosok yang tadi berada di dekat Ibu. Wajahnya yang menyeramkan membuatku kembali bergidik dan menyadari guling yang aku peluk menyerupai sosok itu.
Aku melempar guling tadi dan beranjak duduk bersandar pada headboard. Menatap sekeliling kamar, khawatir jika sosok itu tiba-tiba muncul. Mendadak aku ingat ponsel yang biasa digunakan untuk memutar ayat suci. Membuka laci nakas dan menyadari ponsel itu rusak dengan layar yang pecah.
“Ahhh.” Aku terkejut dengan getaran ponsel yang berada tidak jauh dari kakiku. “Ya ampun, jadi parno sendiri.”
Ternyata Aldo yang menghubungiku, aku segera menggeser simbol menjawab panggilan.
“Halo, Bang Aldo. Tadi ….”
Terdengar hela nafas di ujung sana.
“Bang Aldo,” panggilku lagi.
“Kalau jawab telepon tuh kasih salam, bukan langsung teriak-teriak.”
“Maaf lupa, soalnya tadi aku ….”
“Kenapa?” tanya Bang Aldo karena aku menjeda ucapanku.
“Bang Aldo sudah tahu ‘kan.”
Kembali terdengar hela nafas Bang Aldo. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena bingung ada apa dengan pria itu.
“Masalah kamu banyak Ra, gue bingung ngejelasinnya mulai dari mana.”
“Kok gitu? Masalah yang mana, perasaan aku nggak curhat apapun.
Aku benar-benar penasaran dengan maksud Bang Aldo. Karena aku menghubunginya setelah ketakutan melihat ketan, eh setan.
“Lo mau selesaikan yang mana dulu nih. Yang digendong sama temen lo atau yang tadi ada di rumah lo?”
“Kok Bang Aldo tahu sih?”
“Udah jawab aja pertanyaan gue.”
“Hm, kayaknya yang Mail dulu deh. Yang ini sumpah serem banget Bang.”
“Ra, besok gue kerja. Pagi aja kita ketemu ya,” ajak Aldo.
Aku mengiyakan, setelah itu Aldo menanyakan kondisiku. Tidak lama panggilan pun berakhir dan aku menggunakan ponsel untuk mencari doa dan surat yang harus dihafalkan dan dibaca ketika aku melihat makhluk-makhluk menyeramkan itu.
“Bang Aldo bisa nggak ya bantu aku menutup mata spesialku ini, besok aku tanyakan deh.”
...***...
Kebetulan hari ini jadwal kuliahku agak siang dan pagi ini aku tidak sarapan di rumah karena sudah janji bertemu dengan Bang Aldo. Mobilku sudah berhenti dan terparkir rapi di salah satu resto cepat saji dan kulihat sudah ada Bang Aldo yang duduk di atas motornya sambil merokok.
“Bang Al,” panggilku. Dia menoleh dan turun dari motornya lalu berjalan menghampiriku. Penampilan Bang Aldo yang hanya mengenakan kaos longgar dan celana pendek dengan rambut gondrongnya dia kuncir membuat aku terpesona sesaat.
Untungnya aku bisa menguasai diri dan langsung bersikap biasa saja, walaupun jantung rasanya jedag jedug. Apalagi saat ini, Bang Aldo menjadi perhatian pada pengunjung resto khususnya perempuan.
“Lo aneh, ngajak ketemu di resto begini.”
“Sekalian sarapan, aku maunya makan ini,” jawabku yang sudah mengantri untuk memesan. Bang Aldo berdiri di belakangku, hembusan nafasnya terasa di kepalaku karena tubuhnya lebih tinggi dariku.
“Bang Al mau makan apa?” tanyaku tanpa menoleh.
Aldo menunjuk menu yang terpampang di layar, tentunya ditambah kopi. Setelah aku menyebutkan pesanan kami dan disebutkan jumlah yang harus dibayar, Aldo langsung menyerahkan kartu bank pada petugas kasir.
“Loh,” ujarku.
“Cari meja kosong gih, kalau bisa yang agak pojok,” titahnya. Aku pun langsung beranjak mencari meja yang dimaksud.
“Sisanya diantar,” ujar Aldo saat sudah duduk dihadapanku.
“Hm.”
“Bang Aldo kerja di mana?” tanyaku penasaran.
“Kuli,” jawabnya singkat. Aku berdecak mendengar jawaban Aldo. Tidak lama pesanan kami diantar dan lengkap sudah. Setelah mencuci tanganku dan hendak menikmati menu yang tadi aku pilih, Aldo mengingatkan untuk membaca doa.
Aku pun ingat pada Kaivan yang mengatakan hal yang sama waktu kami berada di kantin. Tiba-tiba aku bergidik mengingat ada sosok yang mengaduk-aduk makanan di salah satu meja kantin.
“Makan, nggak usah tengok kanan kiri,” ujar Aldo yang sedang menyesap kopinya.
Aku merasa tidak enak dengan perintah Aldo, apalagi dia kembali menunjuk makananku dengan dagunya. Setelah menghabiskan menu sarapanku, aku tidak sabar untuk bertanya bagaimana membantu Mail.
“Memang Bang Aldo nggak bisa usir makhluk itu?”
“Gue bukan dukun atau pengusir hantu. Untuk kasus temen lo, gue nggak bisa ikut campur. Karena kondisinya dia nggak mengganggu gue atau lo, jadi nggak ada alasan untuk kita ganggu balik.”
“Terus aku harus gimana?”
“Tinggal ketemu sama temen lo, nanti juga makhluk itu bakal komunikasi atau interaksi dengan lo.”
“Terus?”
“Kalau dia minta yang aneh-aneh, hubungi gue ya.”
Aku menganggukkan kepala pelan. “Nggak usah manja gitu, ini bukan pengalaman pertama lo dan yang penting jangan menunjukan rasa takut lo. Tunjukan kalau lo berani dan aura yang keluar bisa membuat makhluk jahat juga sungkan untuk mengganggu.”
“Ngomong sih gampang Bang. Lihat wajahnya yang serem gitu bikin aku mendadak mules, kalau yang lagi hamil langsung kontraksi dan pembukaan lengkap kali,” tuturku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Rinisa
next....🤗
2024-09-26
0
Zuhril Witanto
lanjut
2024-05-02
0
Shyfa Andira Rahmi
ihhh aneehh ko mentingin orang lain dripaada ibu sendiri🤔
2024-03-23
0