Karena Refan (2)

Aku tidak berani menoleh, tapi sosok itu masih berada di sampingku. Aku berharap dia segera menghilang setelah mulutku komat kamit membaca ayat suci yang aku hafal. Tapi dia masih berdiri di sampingku, padahal kalau aku menatap cermin sosok itu tidak ada.

Aku jadi berpikir apa surat yang dibaca salah, karena rasa takut aku malah membaca doa mau makan atau mau tidur. Bulu kudukku semakin merinding dan rasa berat ditengkuk.

“Yuraaa.”

Rasanya aku ingin teriak tapi mulutku seakan sulit untuk terbuka, bahkan ingin berlari tapi kedua kaki seakan menempel di lantai.

“Yuraaa.”

Aku memejamkan mata dan berusaha untuk bicara. “Pergi … jangan ganggu aku. Please, kita sudah beda alam dan aku tidak tahu apa salahku.”

“Yura, tolong aku. Sampaikan pesanku agar aku tenang.”

Deg.

Aku membuka kedua mataku. Tunggu, apa maksud setan di sampingku ini sama seperti Suster Marni? Dia ingin aku menyampaikan sesuatu untuk keluarganya agar dia bisa pergi dengan tenang?

“Pe-pesan?”

“Refan, sampaikan pesanku pada Refan.” Saat aku merasa lebih rileks tidak setakut tadi, perlahan aku bisa menggerakkan tubuhku dan bergeser agar tidak terlalu dekat dengan sosok tersebut. Kami saat ini berdiri bersisian, aku sendiri enggan menoleh apalagi menatap wajahnya untuk melakukan kontak sosial dengannya.

Aku menyimak baik-baik, apa yang disampaikan. Aku yakin arwah tersebut tidak bicara tapi aku bisa merasakan seakan mendapatkan bisikan batin.

“Tolong aku, Yura. Aku ingin segera pergi dari dunia ini, aku seakan terikat dengan dendamku.”

Aku hanya menganggukkan kepalaku. Tidak menyangka dengan apa yang terjadi pada arwah di sampingku semasa dia hidup. Merasa apa yang sosok itu sampaikan sudah selesai, aku bergegas berlari sambil berteriak keluar dari toilet. Bahkan saat di koridor aku masih berlari membuat beberapa orang mahasiswa yang aku lewati di koridor menatap aneh atau bahkan bergumam kasar melihat tingkahku.

Nafasku masih terengah saat aku tiba di depan gedung yang tidak jauh dari gerbang utama. Bahkan aku membungkuk untuk merasakan tubuhku yang baru saja dipaksa berlari.

“Sial, tadi aja aku minta Nana jangan pergi dulu.” Membuka ponselku melakukan pesanan untuk ojek online. Tidak lama ada motor dengan pengemudi yang mengenakan jaket hijau ciri khas salah satu perusahaan transportasi yang sedang viral berhenti di depanku.

“Mbak Yura.”

“Ya.”

Pengemudi tersebut memberikan helm dan langsung aku pakai serta menaiki motor. “Cepat ya Bang, udah mau gelap.  Saya nggak mau lihat yang aneh-aneh lagi, takut dikira nggak waras,” titah Yura.

“Lihat yang aneh gimana Mbak?”

“Nggak gimana-gimana, ya udah jalan aja.”

Ojek yang aku naiki berhenti di depan gerbang rumahku tepat saat adzan maghrib. Setelah turun dan melepaskan helm, aku mengucapkan terimakasih. Gerbang sudah dibuka saat mendengar bunyi motor berhenti, rupanya para penjaga keamanan rumah sudah tahu dan hafal kalau aku pulang menggunakan ojek.  Aku bergegas masuk dan sedikit berlari menuju pintu rumah.

Sempat mengucap salam tapi tidak ada yang menjawab dan rumah terlihat sepi. Para asisten rumah tangga sepertinya sedang di kamar sedang beribadah, Ibu pun sepertinya begitu. Aku tidak berharap bertemu Ibu karena masih kecewa dengan pernyataan Ibu dan Ayah tadi pagi.

...***...

Esok hari aku terbangun dengan tubuh yang lebih segar, karena semalam tidurku benar-benar nyenyak. Tidak ada gangguan apapun baik itu makhluk astral ataupun nyamuk yang konser di telingaku. Menatap jam dinding sambil menguap, menyadari masih ada waktu sebelum aku berangkat ke kampus.

Menurunkan kedua kakiku ke lantai dan melangkah menuju meja kerja, memastikan jadwal kuliahku hari ini. Aku baru sadar kalau ponselku yang pecah belum aku perbaiki.

“Beli lagi sayang, ini juga masih bisa diservice,” gumamku berencana akan mampir ke tempat service ponsel saat pulang kuliah nanti sore.

Ketika aku turun dan menuju meja makan untuk sarapan, aku tidak melihat Ayah dan Ibu di sana.

“Bik,” panggilku.

“Iya Non.”

“Ayah sama Ibu kemana?”

“Tuan berangkat pagi sekali, sepertinya mau keluar kota. Kalau Ibu bilangnya hanya mau keluar aja, katanya ke taman. Non Yura mau makan apa?”

“Ini aja,” tunjukku pada makanan yang sudah terhidang.

Tidak aneh dengan situasi di rumah yang sepi dan membuatku kesepian. Ayah memang selalu sibuk dengan pekerjaannya, sejak aku masih sekolah kami memang jarang berinteraksi dan Ibu biasanya sibuk dengan rekan-rekan sosialitanya mungkin bingung juga dengan apa yang harus dilakukan sambil menunggu aku atau Ayah pulang.

Karena berencana ke tempat perbaikan ponsel dan jadwalku hari ini tidak sampai sore, aku memutuskan membawa mobil. Pintu gerbang sudah dibuka lebar saat aku memanasi kendaraan roda empat yang memang diperuntukan untukku dari Ayah.

Melewati gerbang aku melaju menuju jalan raya, sempat melewati taman kota aku sempat menepi dan menghentikan laju mobil.

“Ibu,” ucapku melihat Ibu duduk termenung di salah satu kursi taman. Aku melepas seatbelt berencana untuk turun tapi urung karena Ibu beranjak berdiri dan berjalan meninggalkan taman.

“Ibu kenapa ya? Apa bertengkar dengan Ayah?”

Masih memperhatikan langkah Ibu melalui spion lalu mengenakan kembali seatbelt dan kembali melaju. Beruntung aku tidak terjebak kemacetan dan tiba di kampus tepat waktu. Saat berjalan di koridor aku memperhatikan sekitar mencari Refan.

Ya, Refan. Bukan karena aku tertarik apalagi rindu tapi berusaha menyampaikan pesan untuk pria tersebut. Aku sempat bergidik mengingat apa yang disampaikan makhluk yang beberapa kali menampakkan wajahnya.

“Ra,” panggil Nana saat aku baru saja masuk kelas.

Aku menghampiri Nana dan Mail yang sepertinya baru sampai juga.

“Eh, udah masuk lagi. Aku turut berduka cita ya,” ujarku pada Mail. Meskipun tidak tahu siapa kerabat Mail yang meninggal.

“Thanks Ra.”

Kami tidak berinteraksi lagi karena dosen sudah masuk kelas. Menyimak dengan baik perkuliahan hari ini, bahkan tiga mata kuliah telah aku lewati.

“Kantin yuk,” ajak Nana.

“Gue nggak, duluan ya. Masih ada yang harus gue lakuin di rumah kerabat gue.”

Aku dan Nana hanya mengiyakan ketika Mail pamit undur diri, tampak Mail masih dalam raut kesedihan dan berduka.

“Ayo, gue udah laper.”

Aku dan Nana berjalan bersisian menuju kantin, sambil terus memperhatikan sekitar mencari sosok pria playboy cap obat nyamuk.

“Nggak ada ya,” gumamku.

“Siapa?” tanya Nana.

“Refan,” jawabku.

Nana menghentikan langkahnya membuatku menoleh.

“Ngapain lo nyari Refan?”

“Ada perlu aja.”

“Jangan bilang ini ada hubungannya dengan urusan kemarin di kantin?”tanya Nana lagi.

“Nggak, bukan tentang itu. Malah lebih parah dari itu.”

“Terus?”

“Ish, sudahlah ayo kita ke kantin.” Aku menarik tangan Nana agar kembali berjalan menuju kantin.

Bukan hanya Refan yang tidak terlihat, aku juga tidak melihat Kaivan. Sepertinya mereka tidak ada jadwal kuliah. Aku membuka ponsel sambil menunggu pesananku dan tidak menyangka kalau pria yang baru saja terlintas di pikiranku mengirimi aku pesan.

[Yura, dimana?]

“Aku jawab apa ya, dihatimu mungkin,” gumamku.

 

 

Terpopuler

Comments

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

🤣🤣🤣 boleh

2024-05-02

0

Kustri

Kustri

ngarep ya

2024-03-09

0

maya ummu ihsan

maya ummu ihsan

salah mahrojnya mungkin.. jangan salah setan diturunkan ke bumi karena sombong bukan karena gak ngaji

2024-01-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!