Tentang Anya ....

Aku bergegas menghampiri Kaivan dan memegang tangannya. Pria yang masih berdiri di tengah pintu, menatap tajam pada kearahku, membuat aku bergidik.

“Kak Kai,” bisikku.

“Bang, kenalin ini Yura adik kelas saya di kampus. Yura ini Bang Aldo, masih ada kerabat denganku.” Aku ragu-ragu menerima uluran tangan pria bernama Aldo, sampai Kaivan menyenggol lenganku akhirnya kami saling berjabat.

“Masuk dulu deh,” ajak Aldo.

Rumah yang kami kunjungi memang terlihat sederhana, bahkan cenderung asri karena di sekeliling rumah masih ada pepohonan. Aku duduk di samping Kaivan, rasanya enggan berjauhan bukan karena aku memanfaatkan keadaan tapi karena pria bernama Aldo ini agak aneh menurutku.

Selain dia menanyakan siapa aku, Aldo juga sempat kaget ketika melihatku dan saat ini menatapku membuatku salah tingkah.

“Bang, lo bisa lihat ‘kan? Gimana menurut lo?”

Aku semakin tidak mengerti mendengar pertanyaan Kaivan.

“Gue jelasin itu nanti, jadi apa tujuan lo bawa dia kemari?” tanya Aldo.

“Dia takut Bang, gue khawatir jiwa raga dia nggak siap dan dia malah ....”

“Gila,” jawab Aldo.

“Hm.”

“Tunggu, kalian sedang bicarakan apa sih?” tanyaku pada Kaivan dan Aldo. “Siapa yang gila?”

“Yura, aku ajak kamu bertemu dengan Bang Aldo untuk konsultasikan masalah mata batin kamu. Dulu aku pernah tinggal bareng Bang Aldo karena kelebihan yang aku miliki cukup mengganggu.”

“Maksudnya, dia ini dokter atau gimana?”

Aldo terlihat menghela nafasnya, kemudian melipat kedua tangan di dada. Jujur aku tidak melihat wibawa Aldo sebagai orang yang kompeten untuk berkonsultasi karena penampilannya.

Rambutnya agak gondrong, tatapan matanya seperti orang yang tidak punya sopan santun karena sejak tadi dia menatapku membuat aku berprasangka buruk padanya. Yah, memang sih wajahnya lumayan juga. Sebelas dua belas dengan Kaivan.

But, I hate his gaze.

“Dengar Yura, ada orang-orang yang memang diberikan kelebihan melihat makhluk atau dunia lain. Kelebihan ini pun beragam, ada yang dari lahir, karena mimpi atau diberikan leluhur semacam warisan keilmuan. Bahkan ada juga karena media lain seperti jimat. Kira-kira lo masuk yang mana?” tanya Aldo padaku dan jujur aku nggak ngerti bagaimana menjawabnya.

Alhasil aku malah menoleh dan menatap Kaivan seakan mengatakan apa yang harus aku jawab.

“Ceritakan saja,” ujar Kaivan.

“A-aku nggak ngerti kelebihanku masuk kategori yang mana. Yang jelas aku bisa melihat hal itu saat di rumah sakit dan ini belum lama terjadi.”

“Lalu?” tanya Aldo lagi.

“Kalau bisa aku tidak ingin dengan kelebihan ini,” jawabku.

Aldo terlihat menghela pelan sambil menunduk.

“Hm, agak susah ya karena kamu sendiri tidak tahu awal mula kelebihan ini,”  jawab Aldo. “Contohnya Kaivan, dia memang ada kelebihan itu sejak kecil munkin sejak lahir. Tidak bisa dihilangkan tapi disembuhkan atau dilatih agar lebih berani dan siap dengan kemampuannya. Karena kalau dilatih hal ini bisa menjadi kelebihan untuk membantu orang.”

“Boro-boro bantu orang, bisa tetap waras saja sudah alhamdulillah,” gumamku.

“Aku melihat aura kamu agak ....”

“Buruk?” tanyaku menyela ucapan Aldo.

“Entahlah, tapi ada sosok yang mengikutimu. Sepertinya dia berkomunikasi dan ....”

Aku sudah menggeser duduknya semakin menempel pada Aldo. “Ayo kita pulang, please,” ajakku pada Kaivan, tentu saja hal ini tidak sopan karena sudah mengabaikan tuan rumah.

Kaivan saling pandang dengan Aldo. Bukan tanpa alasan tapi Yura begitu karena mendengar penjeladan Aldo kalau dia diikuti.

“Menjauhlah, kamu dan Kaivan bukan muhrim,” tegur Aldo. “Yang aku sampaikan tadi adalah kesan saat aku melihatmu tapi sosok itu tidak bisa ikut ke sini dia masih ....

“Kak Kai,” pekikku karena semakin takut dengan penjelasan Aldo.

“Yura, Bang Aldo ingin membantumu. Jadi tenang dulu.”

“Bantu aku menutup mata batin ini,” titahku pada Aldo dan Kaivan. “Tidak perlu menjelaskan apapun yang akan membuatku semakin takut.”

Cukup lama aku mendengarkan Aldo dan Kaivan memberikan nasihat dan cara agar aku bisa menetralisir rasa takut tapi tidak yakin apakah aku bisa melakukannya atau tidak. Hari sudah semakin sore, aku mengajak Kaivan pulang.

“Aku sudah kasihkan nomor ponselmu pada Kak Aldo, nggak masalah ‘kan?” tanya Kaivan sebelum kami beranjak dari rumah Aldo.

“Nggak,” jawabku.

Setelah pamit pada Aldo, Kaivan dan aku segera menuju mobil. Aku akhirnya menyadari kenapa Kaivan membawaku menemui Aldo, karena dulu Kaivan sepertiku. Tidak bisa mengelola rasa takutnya, tapi untukku sendiri aku tidak yakin aku bisa melakukan apa yang Aldo sampaikan.

Hari sudah mulai gelap saat kami masih dalam perjalanan, aku sengaja memejamkan mata dan tertidur agar mataku tidak menyaksikan hal yang aneh-aneh. Kaivan pun sepertinya membiarkan aku terlelap.

“Yura."

“Yura." Suara Kaivan lagi bahkan saat ini sambil menepuk pipiku membuat aku terjaga. Aku mengerjap pelan lalu menatap sekeliling dan menyadari sudah berada di depan rumah.

“Kenapa nggak masuk aja,” ujarku.

“Aku pulang ya,” ujar Kaivan sambil melepas seatbeltnya.

“Loh, naik apa Kak?” tanyaku dengan khawatir karena memang sudah malam.

“Bisa ojek,” jawabnya sambil memainkan ponsel untuk memesan ojek.

“Ya sudah aku tunggu orderan Kak Kai datang.”

“Jangan, sebaiknya kamu masuk. Kalau tunggu aku, nanti aku pergi kamu sendiri terus ....”

“Oke, aku masuk duluan. Kak Kai nggak masalah ‘kan aku tinggal?”

Kaivan hanya tertawa mendengar aku tiba-tiba merubah rencana, setelah melepas seatbelt Kaivan keluar dari mobil. Aku segera berpindah ke kursi kemudi tanpa keluar dari mobil. Setelah melambaikan tangannya, Kaivan menunjuk gerbang agar aku segera masuk.

...***...

Aku sudah tiba di kelas dan sepertinya aku kepagian karena belum banyak mahasiswa di kelasku. Dari ini jadwal gabungan dengan kakak kelas yang mengulang mata kuliah, termasuk Kaivan dan Refan.

Aku melihat Nana dan Mail yang baru saja melewati pintu, Nana menyapaku sambil teriak dan aku hanya bisa menggelengkan kepala dengan sikap Nana. Seperti biasanya, Nana duduk di sebelah kiriku, lalu Mail di sebelah kiri Nana.

Tidak lama kemudian sudah mulai berdatangan lagi mahasiswa lainnya termasuk Refan dan duo bodyguardnya. Mendadak aku kesal dan mengeratkan genggaman tanganku mengingat apa yang disampaikan oleh sosok yang belum lama ini sering menggangguku, tentu saja apa yang disampaikan tentang Refan dan kebrengsekannya.

Aku beranjak berdiri, Nana melihatku lalu bertanya, “Mau kemana?”

Aku tidak menjawab dan memilih melangkah menghampiri Refan. Walaupun hatiku masih kesal mengingat ulah Refan waktu di kantin.

“Kak Refan, bisa minta waktunya sebentar?”

Refan yang sedang bercengkrama dengan yang lain menghentikan ucapannya dan menoleh ke arahku.

“Wah, Yura. Tidak menduga ada Yura menghampiriku. Ada apa gerangan, apakah kamu merindukanku atau baru menyadari akan menerima tawaranku?”

Rasanya aku ingin menjambak rambut Refan mendengar pria itu bicara.

“Maaf bukan itu, ada hal yang perlu aku sampaikan,” ujarku.

“Di sini saja,” jawab Refan sambil melipat kedua tangan di dada.

Aku menatap bergantian kepada dua orang yang berlaku bak bodyguard untuk Refan.

“Tapi ini tentang Anya,” ujarku lagi dan berhasil membuat raut wajah Refan berubah.

 

Terpopuler

Comments

Sri Widjiastuti

Sri Widjiastuti

trus G mikir ibunya kenapa yg merenung di taman gitu si Yura??

2024-10-04

0

Rinisa

Rinisa

Next lagi...

2024-09-26

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

masih sok kecakepan gak

2024-05-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!