"Apa maksudmu, Anya siapa?" Refan balik bertanya tapi alu melihat raut wajahnya berbeda. Aku yakin Refan mengerti dan tahu Anya mana yang dimaksud.
"Anya mantan kekasih Kak Refan."
"Apa yang ingin kamu sampaikan, Anya sudah meninggal. Jangan cari gara-gara denganku Yura."
"Aku serius Kak."
"Kita bicara di luar," ajak Refan.
Aku mengekor langkah Refan, keluar kelas. Nana dan Mail menatap heran ke arahku. Kami sudah berada di koridor saat Refan berhenti melangkah dan kami sudah berhadapan.
"Katakan!"
"Apa yang aku sampaikan benar-benar dari Anya. Dia bilang sudah memaafkan Kak Refan."
Refan terkekeh, "Memang aku salah apa dan apa urusannya denganmu?"
"Tidak ada urusan denganku Kak, aku hanya menyampaikan pesan saja. Tolong dengarkan dulu sampai aku selesai bicara."
Refan melipat kedua tangannya di dada dan menatap pongah ke arahku, aku yakin dia sedang gugup saat ini.
"Anya sudah memaafkanmu karena sangat mencintai Kak Refan. Walaupun Kak Refan menolak untuk bertanggung jawab atas kehamilan Anya," ucapku lirih.
"Hei ...."
"Sttt." Aku kembali menghentikan ucapan Refan. "Dia tidak menyalahkanmu atas kematiannya. Semua terjadi karena kecelakaan dan Anya hanya ingin Kak Refan berubah untuk tidak mempermainkan para wanita juga ... ahhhh lepas," aku berteriak karena Refan mencengkram wajahku.
"Apa maksudmu? Anya sudah meninggal tidak mungkin dia mengatakan itu."
"A-aku serius, itu pesan darinya. Dia ingin tenang dan pergi tanpa beban. Dia hanya ingin Kak Revan sadar."
Bugh.
"Aaa," jeritku yang sudah terlepas dari cengkraman tangan Refan bahkan orang itu sudah terjerembab.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Kaivan.
Aku menggelengkan kepala.
Bugh.
Refan memberikan pukulan balasan pada Kaivan membuat tubuhnya ikut oleng dan aku kembali menjerit. Suasana malah ramai karena beberapa mahasiswa keluar dari kelas untuk melerai Kaivan dan Refan.
"Yura, lo nggak apa-apa?" tanya Nana yang sudah membantuku berdiri.
"Jangan urusan sama dia, Ra," ucap Mail.
Kaivan terlihat berdebat dengan Refan dan tidak jauh dari mereka aku melihat sosok itu. Sosok Anya yang terlihat tidak semenyeramkan saat pertama kali menampakan diri.
Anya tersenyum ke arahku.
"Maaf," ujarku lirih. Karena pesan yang disampaikan untuk Refan tidak direspon baik jauh dari berubah sesuai pesan dari Anya. Perlahan sosok itu menghilang dan lenyap.
Aku menyadari kalau Anya sama seperti suster Marni, mereka menitip pesan dan menghilang saat pesan tersebut sudah kusampaikan.
"Ikut gue," ajak Kaivan.
"Tapi kak, kita ada kuliah," jawabku.
Kaivan masuk ke dalam kelas tidak lama kemudian keluar membawa tasku. "Ijinkan kami, terserah alasannya apa," titah Kaivan pada Nana. Lalu menarik tanganku agar segera melangkah meninggalkan kelas.
"Kak ..."
Kaivan terus berjalan menuju parkiran tapi tangannya sudah tidak lagi menggenggam tanganku.
"Kak kita mau kemana?"
Kaivan melihat sekeliling lalu meminta kunci mobilku dan disinilah kami berada. Cafe yang tidak jauh dari kampus.
"Kak, kita ada kelas loh," ujarku saat kami sudah menempati meja kosong yang agak tersembunyi.
"Ada urusan apa dengan Refan? Aku lihat kamu sering digoda olehnya tapi kenapa tadi malah ribut?"
"Aku nggak pernah ya, mau digoda sama dia. Kalau tadi karena aku sampaikan pesan dari ...."
"Dari siapa?"
Yura mengedikkan bahunya tidak menjawab pertanyaan Kaivan malah membuka buku menu lalu memanggil pelayan.
"Kak Kai, mau pesan apa?" tanyaku setelah lebih dulu menyebutkan pesanan.
Kaivan berdecak. “Samakan saja, Mbak.”
Setelah pelayan meninggalkan meja, Kaivan kembali fokus pada pertanyaannya tapi aku dengan sengaja seperti menghindar untuk tidak menjawab.
“Yura!”
“Ish, apaan sih.”
“Aku tanya, pesan dari siapa yang kamu sampaikan?”
“Dari mantan kekasih Kak Refan tapi sudah meninggal,” ujarku.
Kaivan mengernyitkan dahinya sambil menatapku. Sepertinya masih bingung dengan jawabanku, karena aku memang menjawab tanpa menjelaskan lebih detail.
“Yura, bicara dengan jelas,”
"Penampakan yang sering muncul, termasuk di kelas itu adalah arwah Anya mantan Kak Refan. Dia minta aku menyampaikan pesan terakhirnya untuk Kak Refan."
"Kamu berkomunikasi dengan arwah?"
"Iya, mungkin. Tapi memang begitu kejadiannya."
"Apa sebelumnya pernah ada arwah yang berkomunikasi denganmu?" tanya Kaivan lagi.
"Hm, sosok pertama yang kulihat. Suster Marni, dia juga menitipkan pesan terakhir untuk keluarganya."
"Mereka sudah beda alam dengan kita seharusnya kamu tidak perlu melakukan itu. Mereka tidak ada urusan lagi didunia ini."
"Kalau aku tidak sampaikan, pasti mereka.akan muncul terus dan ganggu aku."
"Bagaimana kamu tahu kalau sosok itu memang benar arwah Anya atau Suster Marni?"
Aku terdiam, apa yang dikatakan Kaivan ada benarnya. Bagaimana kalau ternyata itu adalah jin yang menyamar menyerupai Anya dan Suster Marni.
"Aku ragu, tapi setelah aku sampaikan pesannya ... sosok mereka muncul dan perlahan menghilang. Aku yakin kalau mereka belum bisa pergi dengan tenang karena masih ada urusan yang belum selesai,” jelasku.
Percakapan kami terhenti karena pelayan membawakan pesanan kami, aku segera menikmati makanan yang sudah terhidang tidak peduli dengan Kaivan yang masih menatapku. Entah apa yang dipikirkan oleh Kaivan, yang jelas aku sudah menjelaskan alasan aku menyampaikan pesan arwah yang kerap mengganggu.
“Apa kamu akan sampaikan juga pesan hantu-hantu lain yang kamu lihat?” tanya Kaivan.
“Hm, nggak begitu kak,” jawabku sambil menelan apa yang sedang aku kunyah dan meneguk lemon tea milikku. “Kalau hantu yang seliwatan, mereka hanya tampak dan bikin aku takut aja tapi tidak berkomunikasi denganku. Tapi yang dua ini, mereka berkali-kali muncul dan mengajakku berkomunikasi,” jelasku lagi.
“Hentikan Yura, jika hal itu terjadi lagi sebaiknya hentikan. Bukan ranah kita sebagai manusia untuk mengurusi hal itu.”
“Tapi ….”
“Aku khawatir kalau nanti kamu terjebak karena bukan arwah yang benar-benar ingin menyampaikan pesan tapi iblis yang hanya ingin mengganggu manusia atau bahkan ingin merasuk. Apa kamu bisa membedakan hal itu?” tanya Kaivan dengan nada suara tidak biasa.
“Nggak.”
“Ck, lebih baik kamu dengarkan aku. Apalagi kamu belum bisa mengendalikan kemampuan kamu.”
Aku benar-benar tidak menyukai apa yang disampaikan Kaivan. Selain bicara dengan intonasi yang cukup tinggi, Kaivan menggurui aku seakan aku bodoh. Aku pun mengerucutkan bibir karena kesal.
...***...
“Yura, sebenarnya lo sama Refan kemarin kenapa sih?” tanya Nana saat aku baru saja masuk kelas, bahkan duduk pun belum.
“Nggak kenapa-napa sih, Kak Refannya saja yang emosian atau memang menutupi sesuatu. Mudah-mudahan aja karena masalah kemarin dia nggak berani lagi tegur atau bahkan godain aku.”
“Kenapa begitu?”
“Karena kita sudah tahu busuknya dia macam mana,” jawabku lagi. “Eh, Mail mana?”
“Lagi ke toilet. Sudah datang duluan, itu tas nya,” tunjuk Nana pada tas yang ada di tas meja.
Aku memilih kursi di antara Mail dan Nana, sambil ngobrol ringan bahkan sesekali kami tertawa akhirnya Mail kembali ke kelas.
“Woi kenapa lo?” tanya Nana.
“Nggak tahu nih, dari kemarin kayaknya badan gue nggak enak gitu. Rasanya berat dan merinding terus, apa masuk angin ya atau kecapean,” jawab Mail.
Aku yang sedang fokus mengeluarkan jurnal kuliahku pun menoleh ke arah Mail yang masih berdiri di hadapan kami. Pandanganku benar-benar terpusat pada tubuh Mail, bahkan matanya ini rasanya sudah melotot memastikan pandanganku tidak salah.
Tiba-tiba bulu kuduk kembali merinding dan tengkuk yang terasa dingin. Aura ruangan itu langsung berbeda setelah aku yakin apa yang aku rasakan adalah tanda-tanda kehadiran makhluk tak kasat mata. Makhluk itu ada di belakang tubuh Mail, dengan posisi seperti di gendong belakang.
Mail tidak menyadari kalau ada makhluk yang ikut di tubuhnya dan itu yang membuat dia merasa tidak nyaman.
“Ma-mail kamu ….”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
emangbodo kan??
2024-10-04
0
Rinisa
Duhh...
kasihan mail nya
2024-09-26
0
Zuhril Witanto
ketempelan atau gimana
2024-05-02
0