Aku langsung pulang, tidak ikut ajakan Mail dan Nana untuk nonton. Bukan karena tidak ingin tapi tapi belum siap bertemu dengan sosok lain kalau harus pulang malam, apalagi makhluk itu terlihat juga disiang hari dan di antara banyak orang. Bisa melihat apa yang orang lain tidak lihat dan ini bukan kelebihan yang aku dapat sejak lahir tentu saja membuat aku tidak nyaman.
Kamarku adalah tempat ternyaman ketika merasa takut. Aku merasa sosok-sosok itu tidak akan muncul di kamar, karena di sana biasa aku gunakan untuk ibadah. Apalagi aku sering memutar ayat suci ketika di kamar.
“Kamu sudah pulang Nak,” sapa Ibu.
“Hm.” Aku menghempaskan tubuhku di sofa tepat di samping Ibu yang sedang asyik menonton TV.
“Sudah makan belum?” tanya Ibu tapi tatapannya tetap pada layar TV.
“Belum Bu, aku langsung pulang. Padahal Nana dan Mail ajak aku ke Mall.”
Ibu akhirnya menoleh, “Kenapa nggak ikut. Dari pada di rumah, atau mau temani ibu nonton itu,” tunjuknya pada layar TV yang sedang menyiarkan serial India.
“Malas banget Bu, mending aku main game.”
Ibu hanya terkekeh. “Ya sudah, makan dulu gih. Bibi udah masak sup ayam jamur kesukaan kamu. Ibu juga sudah buat desert box, ada di kulkas.”
“Asyik, Ibu memang the best mother ever,” ujarku lalu mencium pipi Ibu dan bergegas menuju dapur. Tepatnya menuju lemari es dan mengambil salah satu dessert box buatan ibu lalu menikmatinya.
“Non Yura, baca bismillah belum,” tegur Bibi yang sedang menyusun piring bersih setelah dia lap kering.
“Aduh, baca nggak ya tadi. Lupa,” jawabku sambil kembali menyendokan dessert buatan ibu yang benar-benar memanjakan lidahku.
“Kalau makan atau minum harus baca doa dulu, biar nggak dibantuin oleh setan,” seru Bibi.
Prank.
“Astagfirullah, Neng Yura ngagetin bibi aja deh.”
Aku berjongkok menatap dessert yang tumpah dari boxnya karena terjatuh dari tanganku. Saat bibi mengatakan setan aku tersenyum menoleh ke arah pintu yang menuju halaman belakang dimana Bibi dan asisten rumah tangga lainnya menjemur pakaian, ada sosok itu di sana. Sosok yang sejak beberapa hari ini sering muncul. Rasanya kedua kakiku lemas, sangat lemas dan tidak bisa menopang tubuh untuk sekedar berdiri.
“Sudah Non, biar bibi yang bersihkan.” Bibi sudah ikut berjongkok di depanku, aku bukannya manja atau malas tidak ingin membersihkan masalah yang sudah kubuat. Tapi tubuhku gemetaran dengan kaki yang lemas rasanya sangat susah untuk bergerak. Aku perlahan menoleh kembali ke arah pintu. Sosok itu sudah tidak ada, aku menghela lega dan tubuhku terasa lebih ringan hingga aku pun terduduk di lantai.
“Eh, kok malah duduk di sini. Sudah sana Non Yura kalau masih mau makan dessert ambil lagi dan makan yang bener. Kenapa malah duduk di lantai,” ujar Bibi.
“Bi … aku mau tanya sesuatu.”
“Tanya apa?” bibi sibuk mengepel lantai, aku sendiri sudah beranjak berdiri.
“Bibi pernah melihat sesuatu yang kasat mata nggak?”
Bibi menghentikan gerakannya, lalu menoleh ke arahku. Dari responnya aku tahu bibi mengerti apa yang aku tanyakan.
“Jangan ngomongin gituan Non, nanti mereka hadir.”
“Aku bukan ngomongin tapi nanya ke Bibi. Pernah lihat atau ….”
“Yura!”
Terdengar suara Ibu memanggil dari ruang keluarga. “Nanti kita lanjutkan lagi Bi,” ujarku sambil melirik ke arah pintu sebelum meninggalkan dapur.
“Iya Bu,” jawabku yang langsung merebahkan tubuh di sofa dengan pangkuan Ibu sebagai bantal.
“Ibu mau jenguk teman yang sedang sakit, kamu temani Ibu ya Nak,” pinta Ibu.
“Dimana?” tanyaku sambil memejamkan mata. Ibu mengelus kepalaku dengan sayang.
“Di rumah sakit Husada.”
“Hahh,” teriakku sambil beranjak duduk. “Rumah sakit, Bu?”
“Iya.”
Rasanya aku enggan mengantar Ibu setelah mendengar rumah sakit. Bukan karena apa, tapi penampakan pertama yang aku lihat adalah di Rumah sakit walau yang Ibu maksud berbeda dengan rumah sakit tempat dirawat sebelumnya.
“Bu, kalau Ibu ajak Ayah aja gimana?” tanyaku, tidak ingin menolak
“Ayah lagi sibuk, malam ini pulang telat banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”
“Atau nanti aja tunggu teman Ibu pulang ke rumah, kita jenguk di rumahnya saja,” aku terus saja memberikan alasan dan opsi lain yang sebenarnya menolak permintaan Ibu untuk mengantarkannya ke rumah sakit.
Akhirnya aku mengalah dan memilih naik ke lantai dua dimana kamarku berada, membersihkan diri dan memantaskan penampilan yang memang sudah menarik (pede gila) lalu turun ke bawah.
“Ibu, ayo. Nanti keburu maghrib,” teriakku.
Bukan tanpa alasan aku mengajak segera, karena setelah matahari terbenam bisa dipastikan makhluk-makhluk itu berkeliaran dan tentu saja akan mengganggu ketentraman jantungku yang akan jedag jedug tidak karuan karena melihat sosok mereka yang kadang menyeramkan. Belum lagi menguji kewarasanku, karena aku akan panik dan ketakutan sendiri sedangkan orang disekitarku biasa saja.
“Ibu ….” teriakku lagi dengan nada lebih tinggi.
Tidak lama kemudian Ibu pun keluar dari kamarnya. “Kenapa sih buru-buru pake acara teriak segala, tadi nggak mau sekarang malah nggak sabar.”
“Niat baik itu harus disegerakan, jangan ditunda-tunda,” jawabku asal lalu mengeluarkan kunci mobil dari dalam sling bag yang aku pakai. Memutuskan membawa mobil sendiri karena nggak mungkin aku pakai motor atau naik taksi online, Ibu pasti bertanya-tanya karena aku tidak menggunakan aset pribadi dan memilih menaiki angkutan umum. Karena bersama Ibu, aku yakin tidak akan ada yang ekstrim mempertontonkan sosok mereka yang kadang terlihat buruk rupa.
Akhirnya aku dan Ibu sudah tiba di rumah sakit, langsung menuju kamar dimana rekan Ibu dirawat. Sepertinya bukan orang sembarangan, karena berada dalam kamar rawat VIP. Ibu memanggilnya Jeng Broto, biasanya dengan nama-nama begitu orang keturunan ningrat.
“Ini kamarnya ya, Anyelir tiga,” ujar Ibu lalu mengetuk pintu dan memberi salam. Aku hanya mengekor langkah Ibu. Ibu dan rekan ibu yang sedang terbaring sakit sedang berbicara, aku hanya diam mendengarkan karena yang dibicarakan benar-benar beda genre denganku. Interaksiku hanya tersenyum dan mengucapkan namaku saat Ibu mengenalkan aku pada Ibu Broto.
Aku pamit tunggu di luar karena bete hanya jadi nyamuk congek antara Ibu dan Ibu Broto.
“Jangan jauh-jauh,” ucap Ibu.
“Tadi ada anak Ibu, tapi dia keluar mungkin ke kantin,” ujar Ibu Broto yang kemudian mereka kembali asyik bicara.
Aku memilih menuju taman persis di depan kamar rawat Bu Broto. Lalu duduk di salah satu kursi taman, memandang langit yang sudah hampir gelap. Terjebak macet dalam perjalanan menuju rumah sakit dan aku pastikan kami akan pulang menjelang malam.
Huft.
Aku mendengus pelan, tiba-tiba aku merasakan kakiku dingin. Padahal cuaca tidak berangin dan anehnya hanya salah satu kaki yang kurasakan dingin. Aku pun menunduk untuk melihat penyebab kakiku yang tiba-tiba merasakan dingin.
Kedua mataku melotot memastikan salah satu kakinya yang sedang dicengkram oleh sebuah tangan dengan kuku-kuku yang panjang, tangan yang terlihat menghitam. Aku segera menarik kakiku dan beranjak dari kursi taman, berlari untuk kembali ke kamar bu Broto. Sempat menoleh ke arah kursi tadi, makhluk itu masih ada di sana berbaring di bawah kursi. Saat aku menoleh ke depan ….
Bruk.
“Auw.” Aku berhenti dan mengusap keningku. Aku menabrak seseorang, keningku bersentuhan dengan hidung orang itu.
“Kalau jalan pake mata dong,” ujar pria yang aku tabrak.
“Yee, dimana-mana jalan pake kaki,” jawabku.
“Tapi pake juga mata lo,” ujarnya lagi. Akupun mendongak untuk menatap wajah yang mulutnya pedas seperti seblak jelotot. Tatapan kami beradu, “Kamu?” ucapku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Zuhril Witanto
kaivan
2024-05-02
0
Kustri
emg bener x ya klu liat yg tak kasat mata trus lemes, qu ngebayagin aja takuuuut....
2024-03-09
0
Al Fatih
kasian kayaknya yaa kaka
2024-02-17
0