Aku berjalan meninggalkan mobil yang sudah terparkir rapi di parkiran kampus. Berjalan di sepanjang koridor menuju kelas. Kampus tempat aku kuliah memang cukup luas dengan beberapa bangunan, di mana memisahkan berbagai program studi.
Pertemuan ku dengan Bang Aldo memberikan rasa percaya diri dan sedikit meredam ketakutan. Sangking fokusnya berjalan, aku tidak menyadari kalau Kaivan memanggilku. Bahkan saat ini berjalan mensejajari langkahku.
Tentu saja aku terkejut dan menoleh.
“Kak Kai,” ujarku.
“Kamu hubungi Bang Aldo?” tanya Kaivan tanpa basa basi menanyakan kabar atau apalah. Tiba-tiba dia langsung bertanya masalah Aldo.
“Iya,” jawabku singkat.
“Urusan apa?”
“Rahasia,” jawabku dengan asal dan ternyata ini menjadi pertemananku dengan Kaivan semakin renggang.
“Aku serius, Yura.”
Aku menghentikan langkahku karena Kak Kai lagi-lagi bicara dengan nada tinggi. Entah karena dia mengidap hipertensi atau memang karakternya seperti itu.
“Kak Kai, bentak aku lagi.”
“Ck. Itu spontan karena kamu sudah memberikan informasi yang tidak jelas, padahal aku benar-benar serius bertanya.”
Aku menghela nafas sebelum aku mengeluarkan sumpah serapahku pada Kaivan.
“Aku memang menghubungi Bang Aldo, bukankah Kak Kai yang mengenalkan aku dengan Bang Aldo. Jadi wajar dong kalau aku menemukan kesulitan karena urusan makhluk gaib di rumah langsung menghubungi Bang Aldo.”
Kaivan tidak menjawab karena apa yang dikatakan olehku ada benarnya. Aku pun mempercepat langkahku meninggalkan Kaivan yang masih terlihat kesal karena ulahku.
Sampai di kelas, ternyata Mail belum datang tapi sudah ada Nana di sana. Aku pun minta Nana untuk menghubungi Mail.
“Ada apaan sih? Nanti juga datang,” ujar Nana.
“Udah cepetan, nanti juga kamu tahu sendiri.”
“Dia lagi kurang sehat. Setelah ada kerabatnya yang meninggal, Mail susah tidur apalagi keluarga besar Mail juga sempat berseteru gitu,” jelas Nana.
“Berseteru gimana?”
“Nggak ngerti, dia nggak cerita detail,” sahut Nana lagi.
“Hm, panjang umur tuh anak,” ujarku saat melihat ke pintu sudah ada Mail. Dengan mengulas senyum dia menghampiri aku dan Nana. Penampilannya semakin tidak karuan dari sebelumnya, dengan wajah pucat dan garis hitam di bawah kedua matanya menjelaskan kalau Mail memang kurang istirahat.
Aku tidak berani menatap Mail karena masih ada sosok di belakang tubuhnya, sedang melihat aneh kearahku. Jelas-jelas aku minta menghubungi Mail tapi waktu laki-laki ini sudah datang aku hanya diam bahkan tidak mau duduk di samping Mail.
“Lo kenapa sih?” tanya Mail, aku hanya mengedikkan bahu.
“Tau, aneh banget,” ujar Nana.
“Aku mau ngobrol setelah kelas selesai, tapi nggak di sini,” jawabku.
Kelas mulai ramai dan dosen pun sudah masuk kelas. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi dan sesekali melirik ke samping Nana sambil bersandar. Mail terlihat tidak nyaman dengan duduknya dan sosok itu menatap tajam ke arahku.
Aku bergumam pelan mengucapkan ayat dan doa yang pernah Bang Aldo arahkan ketika aku takut atau melihat sosok menyeramkan itu. Akhirnya kelas pun berakhir, sebagian mahasiswa bubar ada juga yang masih tetap di kelas untuk ngobrol ataupun fokus pada ponselnya.
“Kantin yuk,” ajak Nana.
“Mail … a-aku mau bicara.”
“Ya bicaralah.”
“Tapi nggak di sini,” sahutku sambil mengenakan tas ransel yang hanya berisi jurnal dan dompet. Nggak ada satupun buku kuliah apa lagi yang tebalnya nggak kira-kira.
“Kalian ada apaan sih? Gue jadi curiga,” ujar Nana. “Nggak mungkin juga Yura suka sama lo, Mail.”
“Kenapa nggak mungkin,” celetuk Mail sambil terkekeh.
“Idih, percaya diri banget. Ayo,” ajak Yura berjalan lebih dulu dengan Nana dan Mail mengekor di belakangnya. Nana dan Mail sempat protes karena aku mengajak mereka ke area kampus yang agak sepi.
“Lo nggak ngajak kita buat aneh-aneh, kan?” tanya Nana lagi.
Aku tidak menjawab dan memilih duduk di kursi beranda salah satu kelas yang sedang tidak dipakai. Koridor tersebut benar-benar sepi. Mail duduk di sampingku, membuat tubuhku merinding dan tengkuk yang terasa dingin. Aku pun menggeser posisi duduk dari Mail.
Nana masih berdiri menatap ke arahku dan Mail.
“Aku mau cerita tapi kalian jangan potong ucapanku.”
“Ya udah cepet, bikin penasaran aja,” ketus Nana.
“Mail, aku melihat kamu membawa sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain,” ujarku. “Mungkin kalian nggak percaya tapi aku benar-benar bisa lihat itu. Rasa tidak nyaman yang kamu rasakan berasal dari sosok yang ada di punggung kamu,” ujarku sambil menunduk tidak ingin bertatapan langsung dengan mahluk itu.
“Maksudnya sesuatu gimana?” tanya Mail.
“Yuraaaa ….”
Aku terkesiap dan memandang lurus ke depan. Bulu kuduk terasa semakin tegak membuatku merinding disko. Sosok itu benar ingin berkomunikasi denganku.
“Yura,” panggil Nana. “Maksudnya gimana?”
“Jadi aku bisa melihat sesuatu yang kalian nggak bisa atau istilahnya yang tidak kasat mata.”
“Setan, maksud lo,” sela Nana.
“Ya begitulah,” jawabku.
“Sial,” pekik Mail langsung berdiri. “Sesuatu yang lo bilang ada di mana?” tanya Mail dengan nada yang tidak biasa. Jelas pria itu mulai ketakutan.
“Lagi kamu gendong,” jawabku lirih.
Nana langsung berpindah posisi dengan duduk di sampingku yang masih menunduk. Mail ketar ketir sendiri sambil menanyakan apa yang harus dia lakukan.
“Yuraaaa,” suara itu terdengar sangat lirih.
“Mail tolong diam, dia nggak kamu lihat tapi sekarang sedang bicara. Aku nggak bisa dengar jelas kalau kamu teriak-teriak terus.”
“Gimana gue nggak teriak Yura Bestari, kalau lo bilang gue gendong setan,” pekik Mail.
Nana hanya diam sambil memeluk lengan kiriku.
“Kamu bisa baca doa apa aja yang kamu tahu,” usulku semakin merinding dan merasakan berat di tubuh. Sosok itu benar-benar mengajakku berinteraksi.
“Kalau gue salah baca gimana?”
“Salah baca apaan Mail?” tanya Nana.
“Iya salah baca do’a, yang ada gua baca doa buka baju atau mau makan. Tuh setan ngeri kali di pikir mau di makan.”
Nana terbahak mendengar celoteh Mail, aku hanya menggelengkan kepala. Bisa-bisanya mereka bercanda padahal tubuhku sudah mulai lemas
“Yuraaaa, sampaikan pesanku,” ujar sosok yang masih berada di gendongan Mail.
Perlahan aku mengangkat wajahku dan menelan saliva ketika memandang wajah yang sedang menatap ke arahku. Nana berhenti tertawa dan memberi isyarat agar Mail ikut diam.
Melihat aku yang terdiam, Nana dan Mail pun saling tatap lalu menegurku. Aku mengangkat salah satu tangan agar mereka kembali diam.
Tidak lama aku langsung menyandarkan punggungku dan mengatur nafas yang terengah.
“Yura, lo kenapa?” tanya Nana sambil menepuk pipiku karena aku sempat memejamkan mata.
“Ra, lo nggak bercanda ‘kan?” tanya Mail.
Perlahan aku berusaha kembali duduk tega dan menatap Mail yang masih berdiri. Sosok itu masih ada di tubuh Mail tapi tidak terlihat semenyeramkan sebelumnya.
“Mail, boleh aku tahu kerabat kamu yang meninggal itu karena apa?”
“Sakit,” jawab Mail.
“Aku yakin kalau umur sudah diatur oleh Tuhan, tapi dia mengatakan kalau anggota keluarga besarnya yang membuat dia meninggal. Ada yang menggunakan ilmu seperti guna-guna untuk membuatnya meninggal,” ujarku pada Mail yang saat ini berjongkok di depanku walau agak jauh.
“Iya Ra, terus kok lo bisa tahu?”
“Karena dia yang barusan cerita,” jawabku. “Dia masih terikat karena kamu merasa sangat bersalah, waktu tahu orang tua kamu terlibat ….” Aku menghentikan kalimatku, terdengar helaan nafas Mail.
“Iya,” jawab Mail sambil menundukan wajahnya.
“Mail,” ujarku membuat Mail menatapku.
“Dia bilang kamu tidak perlu merasa bersalah, dia ikhlas karena memang sudah waktunya untuk pergi. Selama kamu berat dan menyalahkan diri sendiri, dia akan terus terikat.Coba lepaskan dan ikhlaskan, masalah siapa yang bersalah itu urusan Tuhan,” jelasku pada Mail.
Mail mengusap kasar wajahnya.
“Ra, sampaikan padanya ….”
“Nggak, dia dengar kok apa yang mau kamu ucapkan.”
“Maaf, gue nggak bisa hentikan ulah mereka. Kalau aja gue tahu mungkin ….”
“Takdir Mail, ini sudah takdir hidupnya,” tegur aku.
“Insha Allah gue akan ikhlas dan mencoba tidak menyalahkan diri sendiri,” gumam Mail. Nana semakin mengeratkan pelukan tangannya karena Mail terlihat terisak sambil menunduk.
Aku menatap makhluk yang perlahan melepaskan tangannya dari tubuh Mail. Wajah sosok itu semakin terlihat bersih dan tersenyum ke arah kami, perlahan dia menghilang benar-benar menghilang bersamaan dengan tubuhku yang lunglai.
“Yura,” pekik Nana. Mail pun beranjak dan duduk di sampingku.
“Yura, lo kenapa?” tanya Mail.
“Minggir!” titah seseorang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
ditunda lagiii
2024-10-04
0
Zuhril Witanto
kaivan datang
2024-05-02
0
Kustri
qu punya temen, bs liat yg tak kasat mata, asal hbs berinteraksi pasti lemes & pengen kopi hitam, tp bs mengendalikan diri
2024-03-09
0