Suster Marni (2)

Sudah hampir tiga hari aku keluar dari rumah sakit dan saat ini sudah dalam perjalanan menuju kediaman suster Marni. Walaupun orang tuaku melarang aku keluar rumah  karena masih khawatir dengan kesehatanku, aku memaksa dan berjanji tidak akan lama. Ibu mengizinkan tapi dengan syarat aku pergi diantar oleh supir.

Berbekal alamat suster Marni yang sebelumnya aku minta dari suster Rena. Walaupun awalnya Suster Rena ragu untuk memberikan, aku menceritakan alasan mengapa aku membutuhkan alamat itu.

Disinilah aku berada, kediaman yang masih cukup asri dengan pepohonan di sekitar rumah. Rumah sederhana dimana Suster Marni pernah tinggal semasa hidup. Aku mendorong pagar besi yang sudah berkarat dan melangkah menuju beranda rumah.

“Assalamu’alaikum, permisi,” sapaku.

Belum ada pergerakan pintu dibuka, aku pun kembali mengucapkan salam.

“Walaikumsalam.” Seorang wanita paruh baya membuka pintu dan menatap heran ke arahku. “Cari siapa?” tanyanya.

Aku tersenyum, sepertinya wanita ini adalah ibu suster Marni. Sepintas ada kemiripan wajah mereka.

“Saya Yura. Ada perlu dengan keluarga suster Marni,” ujarku.

“Tapi Marni sudah ....”

“Saya tahu, Bu. Boleh saya masuk,” pintaku.

Ibu itu akhirnya mempersilahkan aku masuk. Kami duduk berhadapan di ruang tamu dengan sofa yang terlihat sudah usang. “Eh, saya buatkan minum dulu.”

“Tidak usah Bu, saya tidak akan lama.” Ibu itu yang sudah beranjak berdiri pun kembali duduk.

“Jadi begini Bu, kedatangan saya ingin menyampaikan pesan dari Suster Marni yang mungkin bisa membantu Ibu dan Keluarga.”

Ibu itu hanya diam dan menyimak apa yang aku jelaskan. Awalnya raut wajahnya serius tapi kelamaan gurat kesedihan sangat terlihat bahkan dia sudah terisak dan air matanya sudah membasahi kedua pipinya.

“Marni ....” ujar Ibu itu sambil meraung.

“Boleh saya ikut ke kamarnya.”

Ibu itu mengantarkan aku ke kamar suster Marni. Mencari berkas asuransi yang sempat disampaikan oleh arwah suster Marni. Akhirnya ketemu juga berkas yang dicari.

Aku menjelaskan kepada Ibu itu bagaimana mengurus asuransi dan berkas yang dibutuhkan, juga meninggalkan nomor teleponku jika masih tidak mengerti proses pengurusan klaim asuransinya. Arwah Suster Marni masih penasaran karena tidak tega melihat keluarganya yang kesusahan, dia sebagai tulang punggung keluarganya dan kini sudah tiada bukan hanya meninggalkan duka tapi ada bekal untuk keluarga yang masih hidup.

Ternyata keluarganya tidak tahu dan tidak paham, arwah Suster Marni menggunakan kesempatan saat aku bisa melihatnya untuk membantu menyampaikan pesan terakhirnya.

Saat ini , aku sudah berada di depan pagar rumah suster Marni terdengar tangisan sang Ibu yang lebih kencang dari sebelumnya.

“Marni ... bahkan saat kamu pergi masih memikirkan Ibu dan adik-adikmu. Marni, Ibu doakan kamu tenang di sana Nak.”

Kedua mataku sempat berembun mendengar tutur kata dan tangisan Ibu itu. Saat menoleh kearah pepohonan yang ada di depan rumah, sosok itu ada di sana. Menatap kearahku dengan tersenyum, gerakan bibirnya jelas megucapkan terima kasih. Lalu melambaikan tangannya dan perlahan sosok suster Marni menghilang.

Author Pov

Yura menghela nafasnya mengingat kembali saat pertama kali dia bisa melihat makhluk lain selain manusia. Termasuk yang tadi mengikutinya, sudah berkali-kali menampakan diri. Belum bisa memecahkan misteri mengapa dia bisa melihat sosok atau arwah-arwah tersebut. Entah karena mimpinya atau hal lain.

Setelah menghabiskan teh manisnya, Yura mengeluarkan ponsel lain miliknya. Memutar lantunan ayat suci yang selalu diputar setiap malam ketika dia tidur. Membuat suasana lebih hangat dan mengurangi rasa takutnya. Sengaja menyiapkan ponsel khusus untuk hal tersebut, semenjak dia bisa melihat sosok yang bukan manusia.

“Ahhh, tubuhku rasanya lemes banget sih,” keluh Yura yang sudah berbaring di ranjangnya dan tidak lama kemudian akhirnya terlelap.

Esok Hari.

Yura baru saja turun dari angkutan umum dan berjalan melewati koridor menuju kelasnya.

“Yura.” Panggil seseorang, Yura pun menoleh.

“Tumben udah datang, biasanya telat mulu,” ujar Yura pada Nana.

“Ih rese, ya kali telat mulu. Aku ‘kan pengen lulus dengan prestasi dan kemampuan maksimal,” sahutnya. Yura hanya tersenyum, keduanya sama-sama satu kelas sejak semester satu jadi wajar saja kalau begitu akrab.

“Eh, Mail udah stay aja,” ejek Nana.

Yura memilih kursi yang tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang. Sedangkan Mail dan Nana masih asyik berdebat sambil berdiri.

“Hai Yura, siang ini ada acara nggak?”

Yura menoleh ke arah Refan yang duduk dua baris di belakangnya. Berkumpul  bersama tiga rekannya, siapa yang tidak mengenal Refan CS. Mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengulang mata kuliah di kelas Yura dan selalu menggoda Yura ketika bertemu.

“Hm ....”

“Ada, Yura ada acara sama kita,” sahut Nana.

Refan langsung memasang wajah datar mendengar ucapan Nana . “Gue nggak tanya lo,” ujar Refan.

Nana pun duduk di samping kiri Yura, begitu pun Mail yang juga duduk di samping Nana. “Kamu jangan kasih Refan harapan, tahu sendiri dia track record-nya gimana,” bisik Nana.

“Siapa yang kasih harapan, justru aku mau menjawab biar dia nggak ada tanya lagi aku ada waktu atau nggak.”

Kelas mulai penuh, bukan hanya teman satu angkatan Yura tapi banyak juga angkatan lain yang mengulang di mata kuliah yang saat ini Yura ampu.

“Banyak banget kating pada ngulang sih, pada bego apa gimana?”

“Hush, nggak boleh gitu. Mungkin memang mereka belum ambil atau saat itu mereka sibuk jadi nilainya nggak maksimal.”

“Woi arah jam tiga dari Yura, Kaivan. Semester tujuh jurusan komunikasi juga, terkenal banget cool-nya,” gumam Mail.

“Iya ganteng banget cuy,” lirih Nana.

“Iya, betah banget dah aku ngelihatinnya,” sahut Yura. Ketiganya saling ucap tanpa menatap objek yang dimaksud, pria yang dimaksud duduk hanya terhalang dua kursi dari Yura.

Dosen sudah berada di depan kelas dan memulai perkuliahan. Saat sedang menyimak penjelasan dosen dan mencatat yang sekiranya penting, Yura dikejutkan dengan sosok yang semalam mengikutinya, saat ini sosok tersebut berada tepat di samping dosen.

“Astagfirullah,” gumam Yura pelan lalu menundukkan wajahnya. Tangannya mencengkeram erat pulpen yang sedang dia pegang. Perlahan memberanikan diri mengangkat wajahnya dan sosok itu sudah tidak ada, Yura pun menatap mahasiswa lain yang sepertinya tidak ada yang terganggu atau melihat sosok itu kecuali dirinya. Saat menoleh ke kanan, tampak Kaivan sedang menatap ke arahnya dengan sorot mata tajam membuat Yura bergidik ngeri.

Ganteng tapi serem amat tatapannya, setan yang tadi aja kalah, batin Yura.

Sampai kuliah berakhir, Yura tidak ada melihat lagi sosok itu di kelas.

“Yura, mau ikut kita nggak?”

“Kemana?” tanya Yura sambil merapikan buku dan alat tulisnya.

“Nonton, ada film Avat*r, ayok ikut Mail yang tanggung jawab deh.”

“Lo pikir Yura bunting pake gue yang tanggung jawab,” protes Mail.

Yura hanya tertawa mendengar kedua sahabatnya berseteru.

“Yura, tawaran gue masih berlaku loh,” ujar Refan yang masih duduk di kursinya

“Nggak usah usaha terus, susah banget dikasih tahunya. Yura mau pergi sama kita-kita,” ujar Nana, padahal Yura belum menjawab.  

“Gue tanya Yura bukan lo,” pekik Refan. Yura menggelengkan kepalanya saat Nana dan Mail akan balas menjawab Refan.

“Kita cabut!” ajak Yura lalu meninggalkan kelas bersama kedua sahabatnya. Sempat melirik ke arah Kaivan yang masih berada di kelas dan saat ini menatapnya.

Terpopuler

Comments

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

play boy cap kadal

2024-05-02

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

jadi ikut sedih...😭

2024-05-02

0

Shyfa Andira Rahmi

Shyfa Andira Rahmi

🤣🤣🤣

2024-03-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!