Bendera Kuning

Kuliah hari ini adalah kelas gabungan termasuk dengan Kaivan dan Refan. Aku tiba lebih awal dan mencari kursi strategis, bukan untuk belajar tapi berjaga-jaga kalau ternyata aku mengantuk atau tidak menyimak materi.

Kejadian semalam cukup menyita perhatianku, di mana Ayah dan Ibu bertengkar. Pagi ini para ART bungkam membuatku berpikir keadaan sudah aman. Namun, aku masih ragu dan merasa ada hal yang disembunyikan.

“Woi, tumben datang lebih awal,” sapa Nana yang baru saja mendaratkan tubuhnya di kursi sebelahku. “Hubungan lo dengan Kaivan, gimana?” tanya Nana dan ini cukup menyita perhatianku.

“Hubungan bagaimana maksudnya?”

“Ck, hubungan laki-laki dan perempuan. Lope-lope,” ujar Nana lagi sambil terkekeh geli.

“Ah, nggak ada ke situ. Aku dan Kak Kai bukan berhubungan dalam konteks begitu.”

“Bukan atau belum?”

Aku mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Nana yang lagi-lagi tentang Kaivan. Tidak ingin jumawa mengatakan terlalu ekstrim terkait hubungan dengan pria itu, khawatir masa depanku ternyata ada hubungannya dengan Kaivan. Mana ada yang tahu tentang masa depan.

“Tapi kalian cocok kok dan gue lihat dia care banget sama lo.”

Aku hanya menghela pelan, dan menatap satu persatu mahasiswa lain yang baru datang. Termasuk Mail yang langsung berjongkok di depanku.

“Yura, thanks ya udah bantu gue. Semalam gue akhirnya bisa tidur nyenyak, setelah beberapa hari kemarin gue susah merem. Lo emang sahabat gue terbaik, boleh peluk nggak?”

“Nggaklah, enak aja,” sahutku membuat Mail tertawa.

Aku memastikan diantara mahasiswa yang ada di dalam ruang kelas tidak ada Kaivan. Biasanya dia rajin datang lebih awal tapi kali ini tidak ada dan aku yakin Kaivan tidak kuliah karena dosen sudah masuk kelas tidak lama setelah Refan datang beserta duo partnernya mengekor langkah Refan.

Hubunganku dengan Refan benar-benar buruk setelah aku menyampaikan pesan Anya mantan kekasih Refan yang sudah tiada dan aku tidak peduli. Justru aku bersyukur tidak ada hubungan dengan laki-laki itu.

“Babang tampan nggak masuk ya Ra?” tanya Nana sambil berbisik.

“Maksudnya siapa?”

“Kaivan Ra, Kaivan. Memang lo pikir siapa lagi yang gantengnya dinantikan, iya kali gue bilang Mail tampannya kebangetan.”

Kuliah hari ini cukup padat. Setelah kelas gabungan, aku Mail dan Nana melipir ke kantin sebelum mengikuti kelas berikutnya. Saat mata kuliah terakhir, konsentrasiku agak terganggu karena aku merasa tidak nyaman. Bukan karena perasaan karena kehadiran makhluk gaib, tapi perasaan tidak nyaman yang sulit dikemukakan. Dadaku tiba-tiba sesak dan teringat akan rumah.

Sampai akhirnya dosen menutup pertemuan, aku menghela lega dan langsung beranjak berdiri merapikan ranselku.

“Mau kemana?” tanya Nana.

“Pulang, kayaknya aku kurang sehat deh,” ujarku membuat Nana dan Mail menyeru agar lekas pulang.

Saat dalam perjalanan ponselku berdering, tertera nomor rumahku yang memanggil. Karena jalanan sedang padat aku tidak berani menjawab.

“Nanti ajalah, toh ini udah mau pulang,” gumamku.

Aku terjebak macet, hingga menyebabkan aku cukup lama dalam perjalanan. Saat sudah memasuki area pemukiman perumahan tempat tinggalku. Ponsel kembali berdering dan kali ini ayah yang menghubungiku. Aku pun menepi untuk menjawab panggilan tersebut.

“Halo, yah.”

“Kamu di mana?” tanya Ayah.

Seketika aku terdiam, bukan karena pertanyaan Ayah tapi suara selain suara Ayah. Aku mendengar tangisan dan bertanya-tanya dimana Ayah berada sekarang.”Yura,” ucapnya lagi menyadarkanku dari lamunan.

“Iya, ini sudah dekat.”

“Oke, Ayah tunggu.”

“Ayah,” ujarku. “Ayah bertengkar lagi dengan Ibu?” tanyaku karena menduga tangisan itu adalah tangisan Ibu.

Terdengar helaan nafas Ayah dan panggilan berakhir. Aku bahkan sampai menatap layar ponsel memastikan kalau Ayah mengakhiri panggilan tanpa salam atau apapun.

“Ayah, kenapa sih. Bikin aku kesal aja,” gumamku lalu kembali melajukan mobilku. Saat mobil berbelok tepat di gang rumah, satpam komplek sempat menghentikan mobilku.

“Eh, Non Yura. Ayo silahkan lewat, yang sabar ya Non,” ujar satpam itu. Aku hanya tersenyum menjawab ucapannya, karena tahu saja aku sedang gundah gulana.

Saat mobil semakin dekat dengan rumah aku melihat ada yang aneh, karena terlihat ramai di kediamanku. Tetangga berdatangan, aku menghentikan mobil agak jauh dari gerbang meyakini apa yang aku lihat.

Bendera kuning. Pak Soleh, yang biasa urus kebun dan kolam renang. Memasang bendera kuning di pagar rumahku. Setahuku bendera kuning yang dibuat dari kertas wajit itu menandakan ada seseorang yang meninggal di rumah yang terpasang bendera tersebut. Aku berpikir siapa yang sudah tidak ada.

Perlahan aku membuka pintu mobil lalu melangkah keluar dan berjalan perlahan. Sampai salah seorang menyadari kedatanganku.

“Yura,” panggilnya.

“Ini ada apa?” tanyaku sudah berdiri di tengah gerbang rumah yang memang sengaja terbuka. Di dalam rumah terlihat lebih ramai dengan beberapa orang yang terlihat sibuk.

“Non Yura,” panggil Bik Ela lalu memelukku.

“Ada apa sih Bik? Siapa yang meninggal?”

“Non Yura harus sabar,” ujar Bik Ela setelah mengurai pelukannya.

“Sabar gimana? Ini ada apa, nggak mungkin kalian sedang prank aku ‘kan.”

Bukan hanya Bik Ela yang berada di dekatku, dua orang ibu yang aku tahu tetangga depan dan sebelah rumah mengusap pundakku mengajak aku masuk. Aku melihat Ayah yang menunduk dengan wajah sedih menganggukkan kepala pelan, mendengarkan arahan dari seseorang.

Ayah melihat kedatanganku, lalu menghampiriku.

“Ini ada apa sih Yah? Ibu mana dan tadi siapa yang nangis waktu Ayah hubungi aku?”

“Yura,” ujar Ayah lalu terdiam sesaat. “Ibu …sudah tidak ada.”

“Hah. Kemana?”

Bik Ela mengusap punggungku.

“Ini pasti karena semalam. Ayah bertengkar sama Ibu, aku mau susul Ibu,” ujarku lalu beranjak masuk.

“Yura,” panggil Ayah.

Langkahku terhenti melihat ruang tamu yang kosong. Entah kenapa barang-barang yang ada di sana dan yang mengejutkan adalah sosok yang dibaringkan di atas karpet dan ditutupi kain. Aku menduga kalau sosok itu adalah jenazah, tapi jenazah siapa?

Aku mendekat dan melihat nama lengkap Ibu dalam selembar kertas tidak jauh dari jenazah itu.

“Ini siapa?” tanyaku. Beberapa orang yang sedang membaca ayat suci, terdiam dan menatap ke arahku. Semua yang ada di ruangan itu menatapku.

“Kamu yang sabar Yura, Ibu sudah pergi. Dia sudah meninggalkan kita,” ujar Ayah yang berdiri di belakangku.

“Tidak, ini salah. Ibu ada di kamar, kalian salah.”

Terpopuler

Comments

Rinisa

Rinisa

Hmmmmmm....

2024-09-26

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

Yura bener2

2024-05-02

0

Shyfa Andira Rahmi

Shyfa Andira Rahmi

kapoookk lho...sukurin kmu yura yg pling merasa brsalah n mnyesal krna masa bodo sma ibu sndiri slma ini...

2024-03-24

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!