Sikap Ibu

Author pov

“Minggir,” titah seseorang.

Nana dan Mail pun menoleh, ternyata Kaivan.  Nana memberi ruang untuk Kaivan, merasa pria itu bukan ancaman untuk Yura karena bukan pertama kali dia melihat Kaivan dan Yura bersama.

“Yura,” panggil Kaivan. Membuka segel botol air mineral dan meminumkan pada Yura sambil menepuk pipi gadis itu.

Perlahan Yura mengerjapkan matanya, dia tidak pingsan hanya tubuhnya benar-benar lemas. Sejak tadi dia mendengar apa yang Nana dan Mail katakan, termasuk suara Kaivan.

“Kamu berinteraksi lagi dengan makhluk gaib?” tanya Kaivan saat melihat Yura sudah lebih baik.

Yura hanya diam mendengar pertanyaan Kaivan, Mail dan Nana saling tatap karena tidak menduga kalau temannya biasa melihat ketan eh setan.

“Hm, Yura, kita duluan ya,” pamit Nana inisiatif untuk segera meninggalkan Kaivan dan Yura karena aura keduanya terlihat dalam hubungan yang tidak baik. Nana menarik tangan Mail agar menjauh. “Ayo,” ajak Nana.

“Tapi Yura ….”

“Udah aman, dia sudah bersama orang yang tepat,” seru Nana.

Setelah Nana dan Mail sudah tidak tidak terlihat, Kaivan yang duduk di samping Yura menoleh. “Kamu kenapa sih, nggak mau dengar nasihat aku?”

“Nasihat yang mana?” tanya Yura.

“Kamu belum siap untuk berinteraksi dengan makhluk gaib, jadi jangan menyiksa diri sendiri,” saran Kaivan. Yura menghela nafasnya, mendengar apa yang disampaikan Kaivan.

“Kak Kai, aku bukan sengaja menyiksa diriku sendiri tapi memang makhluk itu yang sengaja dan menampakan wujudnya. Kalau aku diamkan saja, mereka akan terus menggangguku.”

“Lalu, untuk apa kamu menghubungi Bang Aldo bahkan kalian ketemuan?”

Yura mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan Kaivan. Rasanya pertanyaan Kaivan seperti laki-laki yang mencurigai kekasihnya selingkuh karena bertemu dengan laki-laki lain. Yura tidak menyukai hal ini, Kaivan menunjukkan sikap protektif padahal dia bukan siapa-siapa untuk Yura.

“Waktu itu aku dalam keadaan terdesak, jadi hubungi Bang Aldo untuk bantu aku,” jawab Yura.

“Kenapa nggak menghubungiku,” usul Kaivan. Lagi-lagi pertanyaan Kaivan seolah menekan dan membatasi Yura agar tetap dekat dan menghargai Kaivan.

“Karena kemarin Kak Kai menyebalkan jadi aku memilih menghubungi Bang Aldo,” ujarku.

“Menyebalkan gimana?”

“Ck, udahlah aku malas bahas yang udah lewat. Laki-laki mana paham dengan perasaan perempuan,” keluh Yura.

“Maksudnya kamu ada perasaan denganku?”

“Bukan ada perasaan tapi punya perasaan, terakhir kita bertemu Kak Kai menyebalkan karena udah bentak aku. Tadi juga gitu, Kak Kai kenapa sih? Darah tinggi ya,” tanya Yura pada Kaivan.

“Nggak kenapa-napa itu sih perasaan kamu aja.”

Tidak lama percakapan Yura dan Kaivan berakhir karena Kaivan mengajak Yura pulang. Tentu saja pulang ke rumah masing-masing.

...***...

Perjalanan dari kampus ke rumah lumayan lama, karena aku terjebak macet. Akhirnya harus sabar mengantri menggunakan jalan dengan kendaraan lain. Sampai di rumah sudah hampir pukul dua siang. Aku bergegas keluar dari mobil karena rasa lapar yang mendera.

Melewati ruang keluarga ada Ibu yang sedang melakukan panggilan telepon. Aku ingin menyapa Ibu, urung karena terlihat sedang serius. Sebelum meninggalkan ruangan di mana Ibu berada, aku sempat memperhatikan wajah Ibu yang terlihat pucat dan raut khawatir.

“Ibu kenapa ya?” gumamku saat menaiki anak tangga menuju kamar.

Aku memikirkan kembali sikap Ibu yang akhir-akhir ini terlihat aneh. Terutama saat ada sosok gaib menemani Ibu yang menonton TV.

Sampai di kamar aku simpan tas di atas meja belajar dan langsung merebah di atas ranjang, mengistirahatkan tubuhku yang tadi sempat lemas. Saat mataku sudah terpejam walaupun belum terlelap, terdengar dering ponselku yang tadi masih tersimpan di dalam tas.

Aku pun beranjak dengan malas menuju meja belajar, membuka tas dan merogoh untuk mengambil ponsel. Ternyata tadi panggilan dari Aldo. karena panggilannya sudah berakhir, aku pun kembali ke ranjang dan merebah di sana.

Ponsel yang masih berada dalam genggamanku terasa bergetar, ternyata ada notifikasi pesan masuk.

[Sudah beres belum dengan temanmu?]

Pesan yang dikirimkan oleh Aldo.  Aku mengetik untuk membalas pesan Aldo.

[Sudah]

[Aman ‘kan? Lo baik-baik saja ‘kan?] tanya Aldo lewat pesannya.

Aku tersenyum membaca pesan dari Aldo, dari pertanyaannya jelas  kalau laki-laki itu terlihat sangat peduli  dengan kondisi aku. Setelah berbalas pesan, aku akhirnya tertidur dan terjaga ketika hari hampir maghrib. Aku masih berada di kamar untuk membersihkan diri dan bersiap beribadah.

Ketika sudah waktunya makan malam, aku dipanggil oleh Bik Ela untuk turun. Baru menuruni beberapa anak tangga, terdengar Ayah dan Ibu yang sedang bertengkar membuatku terpaku di tempat. Baru kali ini aku mendengar mereka ribut, biasanya kami selalu rukun dan harmonis tapi kali ini ….

“Kamu akan menyesal, Mas. Ingat itu,” pekik Ibu lalu terdengar suara pintu di banting.

Aku mengurungkan niatku untuk turun lalu berbalik dan kembali ke kamar.

“Mereka ada masalah apa sampai bertengkar begitu. Apa hal ini yang membuat Ibu melamun seharian di depan TV,” gumamku.

Esok pagi.

Aku sudah bersiap untuk berangkat tapi saat menuruni anak tangga aku memastikan telingaku tidak mendengar pekikan atau teriakan apapun. Bahkan aku bernafas lega melihat Ibu ada di meja makan dengan wajah ceria menyambutku.

“Sini duduk, makan dulu. Makan yang banyak biar kuliahnya konsentrasi,” ujar Ibu.

“Yang ada bukan konsen malah ngantuk,” jawabku asal.

Ibu menuangkan sup ayam jamur kesukaanku semangkuk penuh, ternyata dia serius dengan instruksi makan yang banyak.

“Ibu, ini kebanyakan,” ujarku.

Ibu tersenyum sambil menuangkan air di gelas lalu menawariku lauk yang lain.

“Sudah ini saja, perut aku nggak akan muat tampung banyak. Apalagi ini masih pagi,” ujarku.

“Pokoknya habiskan ya, belum tentu Ibu bisa layani dan temani kamu makan seperti ini.”

“Hm, makanya jangan layani Ayah terus. Aku juga dong,” keluhku dan Ibu hanya tersenyum.

Saat aku mengakhiri sarapan dan pamit berangkat, Ibu memelukku sangat erat. Tidak aneh sih, memang Ibu sering begitu tapi kali ini dia memelukku agak lama bahkan aku menegurnya khawatir terlambat kalau Ibu terus mendekapku.

“Hati-hati, sayang,” ujar Ibu dan melambaikan tangan saat mobilku mulai melaju.

Terpopuler

Comments

Sri Widjiastuti

Sri Widjiastuti

Yura G peka nihh... bener kaivan, G bisa dibilangi..

2024-10-04

0

Rinisa

Rinisa

Firasat...

2024-09-26

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

apa Yura gak aneh ma kata2 ibunya

2024-05-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!