Pesan Terakhir
Wish.
Aku semakin mempercepat langkahku, tanpa menoleh kebelakang. Gerbang rumahku sendiri sudah terlihat, hanya sekitar dua ratus meter lagi. Kalau bukan karena ojek yang aku naiki pecah ban aku nggak akan berjalan kaki ke rumah.
Tapi bukan itu masalah, saat ini aku berjalan tidak sendiri. Ada yang berjalan dibelakangku, suara langkahnya pelan bahkan lebih pelan dari langkahku. Mulutku sendiri tidak berhenti menggumamkan doa sesuai dengan kepercayaanku. Bulu kuduk terasa berdiri dan pori-pori tubuh seakan semakin lebar membuat udara malam ini terasa lebih dingin.
Ini tidak baik, tengkukku mulai berat dan keringat dingin mulai membasahi tubuhku. Aku memutuskan berlari, kenapa harus berlari karena sosok yang mengikutiku bukan manusia. Jika dia manusia pasti sudah menyapaku atau bahkan jalan berdampingan. Aku pun mengambil langkah seribu tapi ...
Srek.
“Hahh.” Aku terpaku di tempat saat sosok itu melewatiku dan sangat terasa menyentuh tanganku. Aku lalu berjongkok dan menelungkupkan wajahku sambil terengah. Tidak sanggup untuk membuka mata apalagi memandang ke depan.
“Pergilah! Disini bukan tempat kalian lagi tolong jangan ganggu aku.”
Hening sesaat, aku menduga makhluk itu sudah pergi. Aku pun mengangkat wajahku dan mulai membuka mata. Rasanya kedua mataku ingin keluar dari tempatnya saat memandang sepasang kaki melayang tepat didepan wajahku.
Lidahku rasanya kelu tidak dapat berucap. Kedua kaki putih pucat itu memperlihatkan urat nadi kehijauannya. Aku semakin mengangkat wajahku untuk menelusuri pandanganku. Gila, ini benar-benar gila. Dia perempuan, hantu perempuan yang mengenakan dress selutut berwarna putih dan sudah sangat usang.
Dia melayang aku semakin menatap naik dan ... rambutnya panjang lalu wajahnya ....
“Aaaaaa.” Aku pun jatuh terduduk.
Krek. Srekkkk.
“Non Yura!”
Aku menoleh akhirnya aku mendengar suara manusia.
“Pak Adi, tolong,” ujarku sambil mengulurkan tangan kiri. Tubuhku terasa sangat kaku dan berat tanpa sadar aku sudah berada di depan gerbang rumahku.
Pak Adi, yang menjaga keamanan rumah membantuku berdiri. Makhluk itu sudah tidak ada, aku dibantu berjalan oleh Bik Ela asisten rumah tangga.
“Memang Non Yura nggak bawa mobil?”
“Nggak Bik, aku malas kalau kena macet.”
Bukan itu alasanku sebenarnya tidak ingin bawa mobil, terakhir kali ada sosok yang ikut serta di kabin belakang. Akhirnya aku putuskan untuk naik kendaraan umum kalau harus pulang malam.
Saat aku keluar dari toilet, Bi Ela mengantarkan teh manis hangat dan meletakkannya di atas nakas. “Makasih Bik.”
“Iya Non. Mau makannya diantar juga?”
“Nggak usah Bik, aku sudah makan. Kayaknya mau langsung tidur.”
Mengeluarkan ponsel dari dalam ranselku lalu mencharge untuk mengisi daya. Menyesap teh manis yang dibawakan Bik Ela, tubuhku benar-benar lemas karena interaksi dengan mahluk tadi. Hanya diikuti dan melihatnya saja sudah membuat tubuhku begini, apalagi kalau aku bisa berinteraksi lebih.
Sebenarnya kelebihan untuk melihat makhluk lain yang aku alami bukan bawaan lahir tapi belum lama aku rasakan, tepatnya setelah aku jatuh sakit.
Saat itu aku demam tinggi bahkan bermimpi bertemu dengan seorang kakek yang menyentuh kepalaku dan mengatakan, “Kamu tidak bisa menolaknya, semoga kamu bisa menerimanya.”
Setelah bermimpi aku terbagun dan menyadari berada di kamar rumah sakit.
“Yura, sayang. Kamu sudah sadar Nak.”
“Ibu ....” ucapku lirih.
Telingaku mendengar Ayah yang memanggil dokter dan perawat. Tidak lama dua orang perawat memeriksa keadaanku.
“Suhunya sudah normal ya, kondisi vitalnya baik, kita tunggu dokter visit.” Aku menatap perawat itu, bukan perawat yang sedang memeriksaku tapi perawat lain dengan name tag Marni. Dia tidak melakukan apapun hanya berdiri dan memandang ke arahku. Wajahnya sangat pucat, aku menduga dia sedang sakit sama sepertiku.
“Yura, apa yang kamu rasakan Nak?” tanya Ayahku saat kedua perawat tadi sudah meninggalkan kamar.
“Nggak ada Yah, hanya badanku rasanya pegal semua.”
“Pasti pegal, kamu berbaring sudah beberapa hari ini bahkan tiga hari tidak sadar. Tubuh kamu demam tinggi dan terus meracau,” terang Ibu.
Dokter yang memeriksa keadaanku mengatakan kondisiku mulai stabil tapi masih dalam observasi mengenai demam tinggi yang aku alami. Melihat kondisiku yang semakin membaik, Ayah meninggalkan rumah sakit meninggalkan Ibu yang masih menjagaku sepertinya kembali mengurus usahanya.
Perawat yang tadi datang lagi membawakan obat yang harus aku minum setelah makan dan dia hanya sendirian.
“Sus,” panggilku melihatnya akan pergi.
Perawat itu berbalik, “Iya. Butuh sesuatu?”
“Suster yang tadi kemana?” tanyaku.
“Suster yang tadi?”
“Iya yang datang bareng suster, kayaknya dia sedang kurang sehat.”
Perawat itu terlihat bingung dan menggaruk rambutnya.
“Kamar ini adalah termasuk tanggung jawab saya sendiri, jadi saya tidak ada ditemani perawat lain kecuali ada dokter visit dan saya harus menemani. Yang kamu maksud perawat shift sebelumnya atau ....”
“Suster Marni,” jawabku.
Mendengar nama yang kusebut raut wajah perawat itu langsung berubah pasi bahkan dia sempat menjatuhkan wadah stainless tempat obat yang tadi dia bawa.
“Maaf, saya permisi dulu.” Aku memandang perawat itu yang berjalan tergesa meninggalkan kamar.
Ibu yang baru keluar dari toilet menoleh ke arahku. “Dia kenapa?”
“Entahlah. Aku hanya tanya kemana suster Marni tapi dia malah ketakutan.”
“Suster Marni?”
“Hm. Temannya suster tadi, sebelumnya datang berdua eh tadi sendirian. Makanya aku tanya.”
Ibu terlihat bingung dengan penjelasanku lalu duduk di kursi samping hospital bed tempat ku berbaring.
“Kamu masih pusing atau demam?” tanya Ibu sambil menempelkan punggung tangannya di dahiku. Aku hanya menggelengkan kepala
“Perawat tadi beberapa kali memeriksa kamu memang hanya sendiri dan tidak ada suster lain yang menemani,” jelas Ibu. Tentu saja aku tidak percaya, jelas-jelas aku tadi melihatnya, karena suster Marni juga menatapku.
Aku memilih mengabaikan hal itu dan memejamkan mata, kata Ibu aku tidak sadar hampir tiga hari tapi entah mengapa aku merasa lelah dan tubuhku rasanya sangat berat.
“Yura.”
Ini pasti mimpi.
“Yura bangun dulu sayang.” Suara Ibu terdengar begitu merdu di telingaku. “Yura, sayang. Ini waktunya kamu makan dan minum obat.”
Aku pun membuka mata, tubuhku lebih segar dibandingkan tadi. Ibu menaikkan sandaran bed membuat tubuhku seakan bersandar lalu meminta aku minum dan menyuapi makanan tidak lupa dengan obat yang harus aku minum.
“Bu, ponselku mana?”
Ibu membuka laci bed cabinet lalu mengeluarkan ponselku dari tasnya dan menyerahkan padaku. Banyak notifikasi pesan dan beberapa panggilan tidak terjawab.
“Selamat malam.”
Aku menoleh.
“Selamat malam suster,” jawab Ibuku.
“Hai, Yura. Saya Rena, kepala perawat di sini. Bagaimana kondisimu sekarang?” tanya perawat yang terlihat seumuran Ibuku sambil mengecek infusanku.
“Baik,” jawabku pelan. Dia tidak sendiri ditemani perawat yang tadi ketakutan.
“Hm, tadi aku dengar kamu bertanya mengenai suster Marni?”
Aku menganggukkan kepala.
Suster Rena tersenyum, “Kenal dengan suster Marni?”
“Nggak. Aku tanya karena dia ikut masuk bareng suster itu.” Aku menunjuk perawat yang sejak tadi berdiri dengan raut wajah ketakutan.
“Hm, tidak ada perawat di bangsal ini yang bernama Marni. Pernah ada tapi dia sudah meninggal.”
Aku menelan saliva mendengar penjelasan itu. Jelas-jelas tadi aku melihat name tag seorang perawat bernama Marni. Aku sedikit mengarahkan pandanganku ke arah pintu, sosok itu berdiri di sana. Suster Marni yang sedang menatap ke arahku. Yang mengejutkan adalah dia melayang, kakinya tidak menapak. Artinya dia bukan manusia.
“Aaaaaaa,” teriakku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
Rinisa
Pingin baca tapi takut...
2024-09-26
0
Zuhril Witanto
kalau aku juga histeris lah
2024-05-02
0
Bunda Titin
mampir ah.........🙏😊
2024-02-19
0