Episode.11

Kiana membuka ke dua matanya. Dia menatap ke sekeliling yang tampak sepi. Saat ini dia berada di sebuah gudang yang sudah lama terbengkalai.

"Emm .... " Kiana merasa susah menggerakkan tubuhnya. Karena kaki dan tangannya di ikat. Mulutnya juga di sumpal dengan kain sehingga dia tidak bisa berteriak.

Tubuh itu seketika gemetar karena takut. Terlintas memori paling menakutkan yang pernah dia alami. Saat dulu dia di sekap dan hendak di lecehkan oleh beberapa pemuda. Kiana masih trauma mengingat kejadian itu. Maka dari itu dia masih mikir dua kali untuk merubah penampilan.

Tap tap

Terdengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Kiana mendongkakkan kepalanya menatap ke depan. Dia melihat seseorang yang dengan sengaja memakai topi dan menutup wajahnya dengan masker. Kiana ingat, lelaki itu yang tadi bertanya alamat kepadanya. Kiana tak menyangka jika lelaki itu punya niat jahat kepadanya.

"Em .... " Kiana menggerakkan tubuhnya meminta di lepaskan.

"Diam! Atau ku bunuh kau sekarang," gertaknya.

Tubuh Kiana semakin gemetar. Rasa takutnya begitu besar, bahkan dia sampai memejamkan mata tak berani menatap penculik yang sedang berdiri di hadapannya.

Tring tring

Terdengar dering ponsel dari dalam saku celana lelaki itu. Lelaki itu keluar dari ruangan karena hendak mengangkat telepon dari Rani.

Kiana mencoba melepaskan diri dari ikatan di tangannya, namun ternyata susah. Kiana menatap ke sekitar. Dia melihat ada botol kaca yang ada di pojok ruangan. Dengan susah payah dia menyeret tubuhnya agar bisa menggapai botol itu. Kiana membanting botol itu sehingga pecah menjadi beberapa bagian. Dia mengambil pecahan kaca lalu menggesekkannya ke ikatan di tangannya.

Kiana berhasil melepas ikatan di tangan dan kakinya. Sekarang saatnya mencari jalan untuk keluar. Kiana mendekati jendela kaca yang ada di ruangan itu. Tapi sayangnya jendela itu terkunci.

"Bagaimana ini? Tidak ada waktu lagi untukku," gumam Kiana yang tampak gelisah. Akhirnya dia memutuskan untuk memecahkan kaca dengan balok.

Pyar

Tentu suaranya terdengar nyaring. Bahkan terdengar sampai ke luar.

"Suara apa itu?" ucap sang penculik yang ada di balik pintu.

Kiana buru-buru keluar lewat jendela itu sebelum si penculik menangkapnya kembali.

"Hey, jangan kabur!" si penculik sudah masuk ke ruangan itu dan melihat Kiana yang baru saja turun dari jendela.

Kiana berlari sekencang mungkin. Dia terus fokus ke depan, dan sesekali menatap ke belakang karena takutnya lelaki itu terus mengikutinya.

"Hey, tunggu!"

"Oh tidak, lelaki itu sepertinya sudah dekat," Kiana menambah lagi kecepatan larinya, walaupun kakinya terasa sakit. Karena tadi sedikit tergores pecahan kaca saat dia lewat jendela.

Ckit

Terlihat mobil yang berhenti mendadak di hadapan Kiana. Untung saja mobil itu tidak sampai menabraknya. Sang lelaki tampan keluar dari mobil dan mencekal tangan Kiana yang hendak berlari.

"Hey, kalau menyeberang itu hati-hati," ucap lelaki itu yang tak lain adalah Alan.

Kiana menoleh saat mendengar suara yang sangat familiar.

"Pak Alan, tolong saya," setelah berucap itu Kiana langsung hilang kesadaran.

Alan menopang tubuh Kiana lalu menggendongnya. Membawanya dan menidurkannya ke jok belakang mobilnya.

Dari jarak lima meter, sang penculik memperhatikan mereka. Sang penculik mengepalkan tangannya karena gagal untuk mendapatkan Kiana kembali.

Alan membawa Kiana menuju ke rumahnya. Dia khawatir melihat Kiana yang tiba-tiba pingsan. Sesekali dia menatap ke belakang memperhatikan Kiana.

Alan menggendong Kiana memasuki rumahnya. Dia membawa Kiana menuju ke kamar tamu. Setelah membaringkan Kiana, dia keluar kamar memanggil pembantunya.

"Bi, tolong ambilkan air putih! Nanti bawa ke kamar tamu ya," pinta Alan.

"Baik, Tuan."

Alan mencari kotak p3k lalu kembali menghampiri Kiana.

"Kamu sudah sadar?" Alan melihat Kiana yang sedang duduk sambil memegangi kepalanya yang terasa pusing.

Kiana menoleh lalu menganggukkan kepalanya.

"Terima kasih ya sudah menolongku," nada suara Kiana terdengar lemah

"Sama-sama, tadi kamu kenapa lari-lari? Lalu kenapa kaki kamu berdarah?"

"Aku di culik sama orang bertopeng. Aku tidak tahu itu siapa, tapi yang aku dengar dia berkata akan menghabisiku," ucap Kiana.

"Apa kamu punya musuh?"

"Tidak, aku sama sekali tidak punya musuh. Aku juga tidak tahu apa motif di balik penculikan itu."

"Kamu tenang saja, sekarang sudah aman. Jangan khawatir lagi ya. Em ... biar aku obati lukamu," Alan duduk di pinggiran ranjang. Dia memegang satu kaki Kiana. Dia membersihkan darah dari kaki lalu mulai meneteskan obat merah.

Kiana tersenyum menatap Alan, ternyata Alan tidak sejahat yang dia kira. Dendam di masa lalu seakan sirna saat melihat wajah tampan yang dulu dia kagumi.

"Kenapa menatapku seperti itu? Kamu kagum dengan ketampananku?" Alan memegang rambutnya dan sedikit merapikannya.

"Tidak," jawabnya singkat.

'Sial nih cewek, beraninya bilang tidak. Awas saja kalau nanti jatuh cinta duluan,' batin Alan.

Perasaan dan perkataan tentu tidak sejalan. Walaupun di mulut berkata tidak, namun jantungnya sejak tadi berdetak kencang. Rasa cinta yang dulu dia tanam ternyata masih tersimpan hingga sekarang. Biarpun sudah berusaha membuang perasaan itu, namun masih sulit untuk dia lupakan.

'Oh ayolah, jangan berdetak cepat seperti ini. Bisa kepedean kalau Alan sampai tahu,' batin Kiana.

Alan memperhatikan Kiana yang sedang diam seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Hei, jangan melamun," Alan melambaikan tangannya di depan wajah Kiana.

"Em tidak kok."

''Sepertinya ada yang berniat jahat kepadamu. Bagaimana jika untuk sementara waktu kamu tinggal disini dulu. Lagian kamu sebatang kara kan?''

''Maaf, tapi saya tidak bisa,'' tolaknya.

''Memangnya kamu tidak takut jika nantinya kamu di culik lagi? Bisa saja penculik itu sedang berkeliaran di luar sana untuk mencari keberadaanmu,'' ucap Alan.

Sejenak Kiana berpikir, apa yang di katakan oleh Alan ada benarnya juga. Dia juga takut berada di rumah sendirian.

''Tapi saya tidak enak merepotkan Bapak.''

''Tidak sama sekali. Kamu bisa anggap rumah ini seperti rumah kamu sendiri,'' ucap Alan.

''Tapi bagaimana dengan Bu Sintia? Saya takut kalau nanti Bu Sintia marah saat tahu jika saya tinggal disini.''

''Kamu tenang saja, sekarang mamah sedang berada di luar negeri. Biasanya sih mamah kalau pergi itu lama, sekitar satu bulan. Jadi kamu tenang saja.''

''Baik, Pak. Terima kasih ya atas bantuannya. Saya berhutang budi sama bapak.''

''Iya sama-sama. Nati kita ke rumahmu ya, ambil semua pakaian kamu.''

''Iya, Pak.'' jawab Kiana.

Mungkin untuk sekarang lebih baik dia menerima tawaran Alan untuk tinggal di rumahnya. Setidaknya sampai Kiana tahu siapa yang berniat mencelakainya dan apa motifnya.

''Saya keluar dulu, kalau butuh sesuatu panggil Bibi saja.''

''Baik, Pak.'' ucap Kiana.

Alan yang sudah berada di kamarnya, dia merebahkan diri di atas ranjang. Arah pandangnya menatap langit-langit kamar. Entah sedang memikirkan apa, namun Alan senyum-senyum sendiri.

Terpopuler

Comments

EBI

EBI

dia duluan yg jatuh cinta

2023-05-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!