Episode.4

Sejak kemarin Alan susah untuk menemui Kiana. Dia merasa ada yang aneh dengan Kiana. Terlebih Kiana yang pergi begitu saja dari pestanya. Rencana dia untuk meniduri Kiana sudah sirna. Untuk sekarang jangankan meniduri, untuk mengajaknya berbicara saja susah.

"Ah sial, jika begini Gue bisa kalah taruhan," Alan menonjok dinding yang ada di hadapannya.

"Jadi bagaimana, Bro? Apa Lo nyerah?" Suara yang begitu familiar terdengar di telinga Alan. Siapa lagi kalau bukan Dito yang datang menghampirinya.

"Tidak, lagian masih ada waktu beberapa hari lagi," Alan masih percaya diri jika dia bisa meniduri Kiana. Karena tidak ada satu pun wanita yang tidak luluh dengan pesonanya.

"Gue tunggu, Bro." Dito menepuk pelan bahu Alan sebelum dia beranjak pergi dari sana.

Alan mengacak kasar rambutnya, memijat keningnya dan tampak memikirkan ide. Tiga hari itu waktu yang singkat. Jadi selama tiga hari dia harus terus mendekati Kiana. Lebih cepat meniduri, itu lebih baik.

Alan menatap seisi kelas yang tampak sepi. Semua temannya sedang beristirahat di luar.

"Lebih baik Gue cari Kiana," Alan melenggang keluar dari kelas.

Setiap siswi yang berpapasan dengan Alan menatap tak berkedip. Mereka terkesima melihat ketampanan Alan yang luar biasa. Tak heran jika dia mendapat julukan pangeran di sekolahnya. Karena itu memang terlihat sekali dari parasnya yang rupawan.

Alan berhenti tepat di depan kelas Kiana. Dia masuk begitu saja ke dalam kelas. Keadaan kelas tampak sepi. Hanya ada Kiana saja yang sedang serius membaca buku.

"Hai," Alan menarik kursi di samping Kiana lalu duduk disana.

Melihat kedatangan Alan tentu membuat Kiana berhenti membaca. Dia menutup buku yang sedang dia pegang lalu menoleh menatap Alan.

"Ada apa, Kak?" Sebisa mungkin Kiana berakting tak tahu menyangkut niat busuk Alan mendekatinya. Dia ingin terlihat seperti tidak tahu apa pun.

"Kenapa kamu menghindariku?" Tanya Alan.

Kiana tak menjawab, tatapan matanya tertuju ke luar kelas. Dimana Rani dan teman-temannya sedang menatapnya tajam melalui jendela kaca.

''Aku hanya tak mau ada masalah jika dekat dengan Kak Alan.''

Alan menatap ke arah pandang Kiana. Dia melihat Rani yang sedang memperhatikan mereka. Antara dia dan Rani memang cukup dekat. Namun ke dekatan mereka hanya sebatas teman saja, karena Alan tak menyukai Rani. Tapi berbeda dengan Rani yang menaruh perasaan kepadanya.

''Kamu tenang saja, jika mereka menjahati Lo, ada Gue disini yang siap untuk melindungi Lo,'' Alan memegang satu tangan Kiana, namun Kiana melepaskan pegangan tangan itu.

''Maaf, tidak enak jika ada yang melihat,'' Kiana tak mau berhubungan terlalu jauh dengan Alan. Karena dia takut jika nantinya hanya di jadikan mainan saja. Terlebih dia sudah tahu niat Alan yang mendekatinya.

'Sial, kenapa sekarang si cupu susah di dekati,' Alan bergumam dalam hatinya. Alan memutuskan pergi dari sana karena Kiana seolah enggan untuk di dekati.

...

...

Waktu taruhan Alan dan teman-temannya telah berakhir. Kini Alan harus merelakan mobil kesayangannya untuk Dito karena dia kalah taruhan. Sampai saat ini pun dia tak pernah mendekati Kiana lagi. Namun dia menjalin hubungan dengan Rani.

Tak terasa cuaca siang ini begitu panas. Beberapa kali Kiana mengusap keningnya yang basah. Kiana sedang berdiri di pinggir jalan menunggu ayahnya menjemput. Namun sudah hampir lima belas menit menunggu, ayahnya belum juga datang.

Kiana melihat kakak kelas mereka yang baru pulang. Dia melihat Rani dan Alan yang berboncengan dengan motor.

''Aduh,'' Kiana mundur ke belakang saat dia terkena cipratan air. Tadi dengan sengaja Alan melewati jalan berlubang di depan Kiana. Sehingga air yang menggenang terciprat ke tubuh Kiana.

Kiana menggeram, mengepalkan tangannya. Namun sebisa mungkin dia berusaha tenang. Karena walaupun dia marah-marah, tidak mungkin juga bisa mengembalikan pakaiannya bersih seperti semula.

Akhirnya yang di tunggu-tunggu telah datang. Senyum Kiana mengembang saat melihat angkot ayahnya sudah datang.

''Pah, kok lama sih?'' gadis culun itu mengerucutkan bibirnya menandakan jika sedang mengambek.

''Maaf, Nak. Tadi angkot papah mogok,'' sejenak Pak Bima menatap penampilan anaknya dari atas sampai ke bawah. Seragam sekolah yang berwarna putih terlihat kotor. ''Kenapa pakaian kamu kotor seperti itu?'' tanya Pak Bima.

''Iya ini tadi Kiana tak sengaja jatuh,'' Kiana sengaja tidak berkata jujur. Pasti ayahnya akan sedih jika tahu yang sebenarnya. Selama ini Kiana selalu menyimpan sendiri semua masalah yang dia pendam. Ayahnya tidak tahu jika di sekolah dia selalu di perlakukan buruk. Hanya Meli seorang teman baiknya, namun sekarang Meli sudah pindah sekolah.

''Lain kali hati-hati, Nak. Ayo masuk!'' ajaknya.

Kiana membuka pintu depan, dia duduk di samping ayahnya.

Sesampainya di depan rumah, Kiana dan ayahnya melihat ibu pemilik kontrakan berdiri di hadapan rumah mereka.

''Kalian lama sekali sih? Sejak tadi saya menunggu sampai pegal nih kaki,'' ucapnya.

''Ada apa ya?'' tanya Pak Bima.

''Etdah, bapak bilang ada apa? Ingat tidak sekarang tanggal berapa? Saya datang kesini untuk menagih uang sewa kontrakan,'' ucapnya dengan penekanan.

Pak Bima hampir melupakan bayar kontrakan. Sedangkan uang yang dia punya sudah terpakai untuk memperbaiki mobil di bengkel.

''Maaf, Bu. Bolehkah saya meminta sedikit waktu? Uang yang untuk bayar kontrakan sudah terpakai untuk memperbaiki angkot yang mogok,'' Pak Bima berucap dengan sedikit berhati-hati.

''Ingat ya, saya kasih waktu satu minggu. Jika dalam jangka waktu satu minggu kalian tidak membayar kontrakan, saya pastikan akan mengusir kalian dari sini,'' ancamnya.

''Saya janji akan membayarnya minggu depan, Bu.'' ucap Pak Bima.

Kiana dan Pak Bima masuk ke rumah setelah melihat ibu pemilik kontrakan pergi dari sana.

''Pah, apa tidak sebaiknya Kiana putus sekolah saja. Kiana ingin membantu ayah mencari uang,'' ucap Kiana yang merasa tak tega melihat ayahnya bekerja banting tulang sendirian untuk mencukupi kebutuhan mereka berdua.

''Jangan, Nak. Papah ingin kamu tetap sekolah. Apalagi kamu ini anak yang pintar. Sayang sekali jika kamu putus sekolah,'' sebagai orang tua tentu Pak Bima ingin yang terbaik untuk anaknya. Pak Bima ingin jika nanti anaknya menjadi orang yang sukses. Tidak seperti dirinya yang hanya seorang sopir angkot.

Kruyuk kruyuk

Kiana meringis memperlihatkan senyumannya kepada ayahnya sambil mengusap perutnya yang tadi berbunyi.

''Nak, sepertinya kamu lapar. Ayo kita makan!'' ajaknya.

''Iya, Pah.'' Kiana menggandeng tangan ayahnya memasuki rumah.

Kiana pergi ke dapur untuk mencari sesuatu yang bisa dia makan. Ternyata hanya ada satu mi instan saja. beruntung nasi bekas tadi pagi masih ada sisa sedikit.

''Pah, ayo kita makan sama-sama! Kia mau masak mie dulu ya,'' ucap Kiana.

''Baik, Nak.'' Pak Bima menarik kursi untuk di duduki sambil menunggu Kiana selesai memasak mie.

Walaupun hanya makan dengan mie instan dan nasi, namun Kiana tampak lahap. Baginya dia harus bisa bersyukur karena masih bisa makan. Kiana juga tak pernah menuntut ayahnya untuk membelikan makanan yang enak. Karena dia tahu jika mencari uang itu tak mudah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!