Episode.9

Kiana berada di dalam ruangan Alan. Sengaja dia yang baru datang tapi langsung menemui Alan. Namun ternyata ruangan itu masih kosong.

Beberapa kali Kiana menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir lima belas menit dia duduk, namun Alan belum muncul juga.

''Siapa kamu?'' ucap Alan yang baru memasuki ruangan. Dia melihat sosok wanita yang sedang duduk di depan meja kerjanya. Karena posisi wanita itu membelakanginya, jadi dia tak bisa melihat siapa wanita itu.

Kiana menoleh ke belakang tersenyum menatap Alan.

''Akhirnya Bapak datang juga. Saya sudah sejak tadi menunggu Bapak disini,'' ucapnya.

''Kamu memang karyawan yang rajin. Ada apa kamu menemuiku? Apa kamu mau bilang jika kamu setuju untuk menjadi pacar pura-puraku?'' Alan terlihat tenang, dia mendudukkan diri di kursi kebesarannya.

"Pak Alan tidak usah berbasa-basi deh. Lebih baik Pak Alan jujur sama saya, bagaimana bisa Pak Alan memiliki video senonoh antara kita? Sedangkan saya sangat sadar jika saya tidak pernah sama sekali melakukan hal itu.''

''Kamu tidak perlu tahu,'' ucapnya.

''Baiklah, jika Pak Alan tak mau mengaku, itu berarti saya juga tak mau menerima tawaran itu.'''

''Terserah kamu, jika kamu memang tak mau menjadi pacar pura-pura saya, saya akan menyebarkan video ini kepada semua karyawan kantor,'' ucapnya dengan sedikit menggertak.

Kiana mengepalkan satu tangannya, mungkin kali ini perkataan Alan tidak bisa dia abaikan begitu saja.

''Saya --- '' baru juga Kiana akan menjawab, namun tak jadi saat mendengar suara pintu ruangan terbuka.

''Sayang, aku datang nih,'' Rani berjalan dengan anggun memasuki ruangan Alan.

Kiana terdiam saat mendengar suara yang sama seperti yang kemarin dia dengar di toilet cafe. Untuk memastikan siapa pemilik suara itu, Kiana menoleh ke belakang. Tangannya sedikit bergetar saat melihat sosok wanita yang dulu sering membully-nya. Namun Kiana mencoba bersikap tenang, toh pasti Rani juga tidak akan mengenalinya.

''Saya permisi dulu, Pak. Sepertinya kekasih bapak sudah datang,'' Kiana beranjak dari duduknya, lalu buru-buru pergi dari sana.

Kiana yang baru sampai di ruangannya, dia mencoba menyamakan suara Rani dan suara wanita yang kemarin dia dengar. Menurut feelingnya sih suara mereka sama. Tapi, apa mungkin ada orang lain yang mempunyai suara yang sama? Karena besar kemungkinan jika ada beberapa orang di dunia ini yang memiliki suara yang mirip.

Alan menatap malas kedatangan Rani.

''Ngapain kamu datang pagi-pagi begini?'' tanya Alan ketus.

''Sayang, harusnya kamu senang dong karena calon istri kamu ini sangat perhatian,'' tanpa ijin, Rani mendudukkan dirinya di pangkuan Alan. Ke dua tangannya dia taruh di leher Alan.

''Turun! Aku mau bekerja,'' Alan mencoba mendorong Rani, namun Rani berpegangan sangat erat.

''Aku tidak mau, sayang.''

''Baiklah, biar aku panggil security untuk mengusirmu,'' ucap Alan.

Mau tidak mau Rani turun dari pangkuan Alan. Dia beralih duduk di kursi yang ada di hadapan Alan. Rani mengajak Alan mengobrol, namun ternyata Alan sama sekali tidak meresponnya. Bahkan Alan sama sekali tak mendengarkan ocehan Rani yang menurutnya tidak penting.

Karena bosan terus di cueki, akhirnya Rani memutuskan pergi dari sana. Dia mengentak-entakkan kakinya karena merasa kesal.

...

...

Terlihat seorang gadis cantik yang sedang berdiri di depan mini market. Dia Kiana yang sedang menunggu Alan. Kebetulan Kiana sudah setuju untuk menjadi pacar pura-pura Alan. Itu semua dia lakukan karena terpaksa. Dari pada video itu tersebar, lebih baik dia menurut saja. Nanti akan dia selidiki, sebenarnya video yang Alan punya itu editan atau asli. Karena dia tidak merasa pernah melakukan hal-hal aneh dengan Alan.

Tin tin

Sebuah mobil hitam berhenti di pinggir jalan. Alan membuka sedikit kaca mobilnya, lalu menatap Kiana yang sedang berdiri di depan mini market.

"Hei, ayo masuk!" Ucap Alan dengan nada suara dingin.

Kiana bergegas mendekati mobil itu, lalu membuka pintu yang ada di belakang.

"Siapa yang menyuruhmu duduk disitu? Memangnya saya sopirmu?" ucapnya ketus.

Kiana menghela napasnya, semakin hari bosnya itu semakin menyebalkan saja.

"Baik, Pak Bos. Saya akan duduk di depan."

Sepanjang jalan ke duanya hanya diam. Kiana sibuk menatap ke luar, betapa indahnya ibukota saat malam hari. Jarang-jarang dia pergi malam-malam. Karena dulu ayahnya pernah berpesan, tidak baik jika anak gadis sering pergi malam-malam.

Telah sampai ke duanya di halaman rumah yang terbilang cukup mewah. Alan dan Kiana langsung turun dari mobil. Selain mobil Alan, ada mobil lain yang terparkir di halaman rumah itu.

''Mari kita mulai berdrama," gumam Alan namun masih terdengar oleh Kiana.

"Apa maksudnya?"

"Nanti kamu harus berakting layaknya menjadi seorang kekasih," tanpa persetujuan, Alan merengkuh pinggang Kiana.

"Ngapain pegang-pegang?" Kiana mencoba menyingkirkan tangan Alan dari pinggangnya, namun Alan tak melepaskannya.

"Biar lebih meyakinkan jika kita ini sepasang kekasih," jawabnya.

Kiana bernapas pasrah. Dia menurut saja dengan permintaan Alan.

Bu Sintia yang sedang mengobrol, mereka menatap ke arah pintu saat mendengar ada yang membuka pintu itu. Terlihat Alan yang datang bersama dengan seorang wanita. Mereka terlihat serasi, satu tampan dan satunya cantik. Rani terbakar api cemburu saat melihat pujaan hatinya terlihat mesra bersama dengan wanita lain.

"Al, kamu bersama siapa?" Bu Sintia beranjak dari duduknya, menghampiri mereka. Begitu juga dengan Rani yang sejak tadi memasang wajah tak suka.

"Ini Kiana, dia kekasihku. Bagaimana, Mah? Dia cantik kan?"

Bu Sintia menatap Kiana dari atas sampai bawah. Kiana terlihat sangat sempurna. Namun Bu Sintia tak enak kepada Rani yang secara khusus di undang olehnya.

"Sayang, kamu bagaimana sih? Aku ini calon istrimu, tapi kenapa kamu malah mencari wanita lain? Aku tak terima," Rani mendekati Kiana dan menjambak rambutnya. Tentu Kiana mengaduh sakit.

Alan dan Bu Sintia melerai mereka berdua.

"Cukup, Rani. Lebih baik kamu pergi dari sini," Alan mengacungkan tangannya menunjuk ke arah pintu keluar.

Rani kesal di bentak seperti itu oleh Alan, namun dia mencoba bersikap tenang. Dia tidak boleh memperlihatkan sisi jahatnya di hadapan Alan. Rani menatap Bu Sintia yang sedang berdiri di sampingnya.

"Tante, sebaiknya Rani pulang saja. Karena kedatangan Rani disini tidak di inginkan," Rani berekspresi sedih di hadapan Bu Sintia.

"Biar Tante antar kamu ke depan," Bu Sintia menggandeng tangan Rani. Beberapa kali Bu Sintia mengatakan maaf karena Alan sudah bersikap tak baik.

Bu Sintia kembali ke dalam rumah setelah mengantar Rani. Menghampiri anaknya yang sedang duduk berdua bersama Kiana.

"Nama kamu siapa, Nak?" Bu Sintia bertanya kepada Kiana.

"Kiana Anjani, panggil saja saya Kiana," jawabnya ramah.

"Namanya cantik seperti orangnya. Oh iya, apa pekerjaanmu?"

"Saya sekretaris di kantor Alan, tapi baru beberapa hari sih."

"Kok saya tidak tahu?"

"Itu karena mamah jarang datang ke kantor jadinya tidak tahu," sahut Alan.

"Benar juga sih. Oh iya apa pekerjaan orang tua kamu?"

Raut wajah Kiana berubah sendu saat mendengar kata orang tua. Karena ke dua orang tuanya telah tiada.

"Orang tua saya sudah meninggal. Pekerjaan ayah saya dulu sebagai sopir angkot," ucap Kiana.

"Sopir angkot?" Bu Sintia sedikit kaget. Ternyata wanita secantik Kiana hanya anak dari sopir angkot.

'Iyakah dia anak sopir angkot? Kenapa aku jadi mengingat seseorang?' Batin Alan.

"Iya, Tante. Tapi saya sangat bangga dengan pekerjaan ayah saya. Karena ayah saya sangat pekerja keras," Kiana membanggakan ayahnya. Biar bagaimana pun, ayahnya sangat berjasa dalam hidupnya.

"Lalu kamu kuliah dimana? Apa di kota ini juga?" Bu Sinta kembali bertanya.

"Saya kuliah di London. Alhamdulillah saya mendapat beasiswa disana," ucap Kiana.

"Benarkah, hanya satu dari sekian orang loh yang bisa dapat beasiswa kuliah ke luar negeri. Apalagi London, kamu tidak bohong kan?"

"Tidak, Tante. Saya tidak bohong," jawabnya.

"Hebat kamu, Alan saja tidak sepintar kamu. Oh iya, dulu kamu SMA dimana?"

Kiana diam, jika dia menjawab pernah bersekolah di SMA yang sama dengan Alan, pasti nanti Alan akan tanya-tanya. Tapi jika dia berbohong, dia harus berkata apa? Apalagi jika Bu Sintia bertanya lebih.

"Saya --- " baru juga akan menjawab, tak jadi saat mendengar dering ponsel Bu Sintia.

"Eh sebentar, saya angkat telepon dulu. Kalian lanjut mengobrol saja," Bu Sintia beranjak dari sana, membiarkan mereka duduk berdua.

"Baik, Tan." Ucap Kiana.

"Kamu mau minum apa? Biar saya minta bibi buatkan minum," tawar Alan.

"Em apa saja deh terserah."

"Baiklah, saya ke belakang sebentar."

Hanya tiga puluh menit Kiana berada di rumah Alan. Kini dia sudah berada di perjalanan pulang.

Mungkin karena kelelahan, kini Kiana tertidur. Bahkan dia tak sadar jika saat ini sudah sampai.

Alan menatap ke samping, melihat Kiana yang terlihat nyaman tidur dalam posisi seperti itu.

"Kia, kita sudah sampai," ucap Alan. Namun Kiana masih setia memejamkan mata.

Alan mendekatkan wajahnya ke wajah Kiana. Tiba-tiba dia merasa tak tahan saat melihat bibir tipis yang sama sekali belum terjamah oleh siapa pun. Entah kenapa Alan ingin sekali menyentuhnya. Tapi tiba-tiba Kiana membuka ke dua matanya. Kiana terkejut saat melihat wajah Alan yang sangat dekat.

"Mau ngapain dekat-dekat? Jangan-jangan Pak Alan mau mele*cehkan saya?" Kiana mendorong Alan sehingga kini kembali menjauhkan kepalanya.

"Enak saja, tadi saya berniat membangunkan kamu. Jangan terlalu percaya diri deh, lagian kamu itu bukan tipe saya."

"Bagus deh kalau begitu. Saya turun dulu, terima kasih atas tumpangannya," Kiana segera turun dari mobil, membiarkan Alan yang sejak tadi terus menatapnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!