"Bug..."
Tanpa berkata apa-apa, Dirgantara yang baru tiba di rumah sakit reflek mendaratkan bogem mentah ke wajah Dafa. Pria itu tersungkur ke lantai saking kuatnya tekanan yang dilayangkan Dirgantara.
Dafa hanya tertunduk lesu sambil mengusap bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah. Jangankan untuk melawan, bicara saja dia tidak sanggup, bibirnya mendadak kelu dan berat digerakkan.
"Dasar bajingan! Apa belum cukup menyakiti putriku dan mengabaikannya selama satu bulan ini? Kenapa masih berani menampakkan batang hidungmu di sini?"
Kemudian Dirgantara berjongkok dan meraih kerah kemeja Dafa. Kembali dia melayangkan tinju tanpa belas kasih sedikit pun. Kegaduhan itu seketika membuat suasana rumah sakit memanas dan riuh. Orang-orang yang penasaran lekas mendekat dan tercengang melihat pemandangan itu.
"Apa yang kalian lihat, hah? Cepat bubar!" bentak Dirgantara dengan tatapan yang dipenuhi kabut hitam, dia tidak berdaya mengendalikan emosi yang sudah memuncak hingga ubun-ubun.
"Ini tempat umum Pak, kalau Anda mau membuat keributan lebih baik keluar saja dari sini. Jangan mengganggu kenyamanan pengunjung rumah sakit!" ucap seorang pengunjung, lalu satu persatu dari mereka membubarkan diri dari tempat itu.
Tidak lama setelah mereka semua menjauhkan diri, pintu ruangan terdengar berderit. Dirgantara yang tadinya berjongkok, kini langsung berdiri dan berhamburan mendekati seorang dokter yang baru saja keluar dari dalam sana.
"Bagaimana keadaan putri saya, Dok?" tanya Dirgantara dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca, berharap dokter itu akan menyampaikan kabar baik padanya.
Dafa yang penasaran ikut bangkit dari duduknya dan berdiri di samping Dirgantara. Dia sama sekali tidak peduli dengan kemarahan mertuanya itu.
"Maaf," dokter itu tertunduk lesu untuk beberapa detik, lalu mendongak kembali. "Pasien telah kehilangan bayi yang dia kandung, dia mengalami keguguran karena benturan yang cukup keras di bagian perut dan bokong. Apalagi kandungannya sangat lemah, selama ini pasien terlalu stress sehingga berpengaruh pada pertumbuhan janinnya." imbuh dokter itu menjelaskan dengan berat hati.
"Bayi?" Dirgantara mengulangi kata itu dengan mata terbelalak. Apa putrinya tengah mengandung?
"Apa istri saya hamil, Dok?" Dafa menanyakan itu dengan suara bergetar dan jantung berdetak kencang, ini sedikit sulit dipercaya.
"Sebelumnya iya, usia kandungan pasien sudah memasuki enam minggu. Sekarang kalian semua harus ikhlas, saya terpaksa membuang janin itu. Jika tidak, itu akan sangat membahayakan untuk nyawa pasien sendiri." jelas dokter itu, lalu meninggalkan Dirgantara dan Dafa yang masih mematung di tempat mereka berdiri.
Lama terdiam, leher Dirgantara kemudian berputar menghadap Dafa. Matanya menyala dipenuhi percikan api yang siap membumi hanguskan seorang Dafa, tangannya mengepal erat sehingga tinjunya kembali mendarat di wajah pria yang masih resmi sebagai menantunya.
"Bug..."
"Puas kamu, hah. Lihat, apa yang sudah kamu perbuat pada putriku? Kenapa menyakitinya tanpa henti seperti ini? Apa kesalahan yang sudah dia lakukan?" tubuh Dirgantara tiba-tiba merosot di lantai, air matanya mengucur deras tanpa batas.
Akan tetapi, dia tidak bisa menyalahkan Dafa sepenuhnya. Andai dia tau bahwa ada cucunya di dalam perut Dilara, dia tidak mungkin menentang keinginan putrinya itu. Dilara tidak perlu kabur menggunakan sepeda motor hanya sekedar ingin bertemu dengan Dafa.
"Tadi pagi dia memintaku untuk mencabut gugatan cerai. Aku tidak tau apa alasannya, dia hanya berkata tidak mau bercerai dan ingin kembali padamu. Sekarang aku mengerti alasannya, dia tidak ingin anak yang dia kandung besar tanpa sosok seorang Ayah. Tapi kini apa yang terjadi? Anak itu sudah tidak ada, entah bagaimana nasib Dilara setelah ini?" Dirgantara mengacak rambutnya frustasi, sementara Dafa hanya diam menelaah kata-kata mertuanya itu.
Dafa sendiri sebenarnya sudah berulang kali mencari keberadaan Dilara, dia bahkan sampai bolak balik ke pabrik hanya untuk menanyakan alamat Dirgantara, tapi tak seorang pun karyawan yang mau mengatakannya.
Dafa juga sudah berkeliling seperti orang gila mencari tau dimana keberadaan Dilara, tapi pencariannya buntu tanpa hasil.
Hingga tiga hari yang lalu Mega kembali ke rumahnya, wanita itu datang menyampaikan kabar kehamilannya.
Awalnya Dafa tidak percaya begitu saja, sejak menikah dengan Dilara dia tidak pernah lagi menyentuh Mega. Sejak kepergian Dilara pun dia tidak pernah pulang ke rumah istri pertamanya itu, lalu bagaimana bisa Mega mengandung anaknya?
Tapi tiba-tiba Mega berhasil meyakinkannya, usia kehamilan wanita itu sudah jalan tiga bulan yang artinya Mega sudah hamil sebelum Dafa menikahi Dilara.
Dafa pun mempercayainya karena dia memang sudah lama menginginkan hal itu. Pria mana yang tidak akan bahagia jika benihnya sudah tertanam dan tumbuh di rahim istrinya.
Sejak saat itu perasaan galau Dafa mulai sedikit terobati. Kehadiran anak yang dikandung Mega mampu mengobati rasa kehilangan yang beberapa waktu ke belakang membuatnya benar-benar terpuruk.
Akan tetapi, hari ini luka itu kembali menganga, perih bak disiram air cuka. Dia benar-benar tidak tau bahwa Dilara juga tengah mengandung benihnya. Benih yang dia tanam secara paksa tanpa belas kasih sedikit pun.
Dia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Dilara saat ini, terlalu banyak luka yang dia goreskan di hati Dilara sehingga dia pun merasa kehilangan muka. Dia tidak sanggup menatap wajah Dilara setelah apa yang terjadi hari ini.
Kala kedua pria itu tengah tenggelam dalam pemikiran masing-masing, pintu ruangan kembali berderit. Dua orang suster keluar sembari mendorong brankar yang ditiduri Dilara. Sontak keduanya mendongak dan bangkit menyusul dua orang suster yang tengah memindahkan Dilara ke ruang perawatan.
Sesampainya di ruangan, Dilara meminta semua orang meninggalkannya bersama Dafa. Dia ingin bicara empat mata saja dengan suaminya. Mau tidak mau, Dirgantara pun memilih keluar dari ruangan bersama dua orang suster yang membantu Dilara tadi.
Setelah pintu tertutup rapat, Dafa duduk di sisi brankar sembari menggenggam tangan Dilara erat. Sorot matanya dipenuhi kabut hitam dengan genangan air mata yang sudah tidak bisa dia tahan.
Hancur luluh hati Dafa melihat keadaan Dilara seperti ini. Keningnya diperban, begitu juga beberapa bagian tangan dan kaki. Seketika air mata Dafa berjatuhan tanpa bisa dia bendung.
"Jangan menangis, aku tidak apa-apa. Mungkin inilah karma yang harus aku tanggung karena kesalahan yang sudah aku lakukan. Pada akhirnya aku kalah dan kamu pasti kembali pada pemilik mu yang sebenarnya." Dilara menangkup tangan di pipi Dafa dan mengusapnya pelan.
"Maaf untuk semua waktu yang terbuang sia-sia, kini aku sadar bahwa cinta tidak harus memiliki. Terima kasih karena sudah mengizinkanku menjadi istrimu meski hanya beberapa hari saja, aku bahagia." lirih Dilara mengukir senyum, dia tidak mau menangis dan sengaja menahan air matanya agar tidak tumpah.
"Sekarang semua sudah berakhir, aku akan pergi dari hidup Mas. Aku janji tidak akan pernah mengganggu kebahagiaan kalian lagi. Berbahagialah dengan Mbak Mega dan juga calon buah hati kalian." imbuh Dilara, dia harus ikhlas melepaskan Dafa, mungkin jodoh mereka hanya sampai disini saja.
Setelah membiarkan Dilara berbicara panjang lebar, Dafa pun menjatuhkan diri di atas tubuh Dilara, dia memeluknya erat seakan tak rela melepaskan istri keduanya itu.
"Tolong maafkan aku, beri aku kesempatan sekali lagi untuk membuktikan bahwa aku layak menjadi suamimu. Aku janji akan mengganti rasa sakit itu dengan kebahagiaan." pinta Dafa terisak, dia menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Dilara.
"Awalnya aku ingin saat tau bahwa ada anakmu di rahimku. Tapi sekarang dia sudah tiada, tidak ada alasan lagi untuk kita tetap bersama. Pulanglah, rajut kembali rumah tangga Mas bersama Mbak Mega! Aku tidak layak untuk Mas, aku wanita egois dan murahan. Sekarang aku sudah memetik buah dari hasil keserakahanku sendiri." sahut Dilara, dia sudah lelah memperjuangkan cintanya yang hanya bertepuk sebelah tangan.
"Tidak Dila, kamu tidak egois, kamu juga tidak murahan. Aku yang menyentuh kamu pertama kali, mana mungkin kamu pantas disebut wanita murahan. Aku yang bodoh karena tidak bisa memahami perasaanmu." Dafa mendongak dan menatap lirih pada Dilara, lalu menangkup tangan di pipi istrinya itu.
"Kamu juga bodoh Dila, katamu pernah mencintai tiga orang pria dalam hidupmu. Kenyataannya kamu cuma mencintai dua pria saja, Papa dan juga aku. Remaja yang kamu maksud itu adalah aku, aku yang bersamamu waktu itu. Aku pria yang kamu peluk saat badai petir itu, kenapa kamu tidak bisa mengenaliku?" ungkap Dafa berderai air mata.
Jika sejak awal dia tau bahwa gadis kecil itu adalah Dilara, dia tidak mungkin menyakiti istrinya sampai sedalam ini. Bertahun-tahun lamanya dia memendam rasa itu sendirian, dia juga mencintai gadis kecil yang berani memeluknya itu. Gadis yang membuatnya tidak bisa membuka hati untuk wanita manapun.
Dilara yang mendengar itu tiba-tiba terdiam untuk beberapa saat. Benarkah apa yang dikatakan Dafa barusan? Pantas saja dia sampai tergila-gila pada Dafa, ternyata dia sudah mencintai pria itu berkali-kali. Sayang kini semua itu sudah tidak berarti apa-apa lagi baginya, Dilara sudah menyerah memperjuangkan cintanya.
"Hehehe... Aku memang bodoh, aku tidak tau bahwa remaja itu adalah suamiku sendiri." Dilara terkekeh mengingat kebodohannya sendiri. Semua terjadi sudah begitu lama, Dilara sama sekali tidak bisa mengingat wajah pria itu.
Melihat tawa Dilara yang begitu lepas, hati Dafa tiba-tiba mencelos. Tanpa pikir dia pun menaruh bibirnya di atas bibir Dilara. "Aku juga mencintai gadis nakal itu, dia sudah membuatku gila untuk beberapa saat. Bisakah aku memilikinya kembali?" Dafa melu*mat bibir Dilara dengan penuh kelembutan, Dilara hanya diam menikmati setiap gerakan yang diciptakan Dafa untuknya.
Biarlah Dafa memperlakukannya selayaknya istri untuk terakhir kali, menciptakan momen terindah yang akan dia kenang seumur hidupnya saat nanti sudah tak lagi bersama Dafa.
Sesaat ruangan itu mendadak panas, keduanya larut dalam asa yang pernah berkecamuk di hati masing-masing. Melepaskan segala kerinduan yang sudah sejak lama menggerogoti pikiran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments