"Non Dila, buka pintunya Nak! Ini Mbok bawain makanan buat Non. Sejak kemaren Non belum makan loh, nanti Non sakit." seru Mbok Darmi dari balik pintu, pelayan itu mulai khawatir memikirkan keadaan Dilara.
Setiap jam makan tiba, Mbok Darmi tidak pernah menyerah mengantarkan makanan ke kamar Dilara. Akan tetapi, Dilara tidak sekalipun membukakan pintu untuknya, bahkan menjawab pun tidak.
Ya, ini sudah dua hari Dilara mengurung diri di kamar. Dia tidak pernah keluar, dia juga tidak mau menerima makanan yang dibawakan Mbok Darmi. Hal itu membuat Darmi benar-benar khawatir dan memutuskan untuk menghubungi Dirgantara.
Setelah berkomunikasi dengan Darmi, Dirgantara langsung meninggalkan urusannya. Dia meminta Wahyu sang sopir pribadi mengantarnya pulang, kebetulan mereka berdua tengah berada di Bandung untuk urusan bisnis.
Air muka Dirgantara yang tadinya ceria, kini berubah mendung mengingat ucapan Darmi di telepon tadi. Dia sangat khawatir memikirkan keadaan putri semata wayangnya itu.
Sebenarnya apa yang terjadi dengan putrinya? Sebelum menikah, Dilara juga sempat seperti ini sekitar satu minggu lamanya. Hal itu disebabkan karena Dilara kecewa telah mencintai pria yang sudah beristri.
Tapi bukankah sekarang Dilara sudah mendapatkan apa yang dia inginkan? Lalu kenapa Dilara jadi seperti ini lagi? Apa Dafa menyakitinya?
Semakin Dirgantara berpikir, semakin sulit pula dia menebak apa yang sudah terjadi dengan putrinya. Jika saja dugaannya benar, dia tidak akan pernah mengampuni Dafa.
Sekitar pukul tujuh malam, mobil yang dikendarai Wahyu tiba di garasi. Dirgantara lekas turun dan berlari memasuki rumah.
"Dila dimana, Mbok?" tanya Dirgantara saat berpapasan dengan Mbok Darmi di ujung tangga. Nafasnya tersengal dengan air muka mengeruh, dia sudah tidak sabar ingin bertemu Dilara dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.
Mbok Darmi sempat terkejut melihat kedatangan Dirgantara yang terburu-buru. "Bapak sudah pulang?" tanya pelayan itu.
"Tidak perlu berbasa-basi Mbok, cepat katakan dimana Dila!" Dirgantara sedikit menaikkan nada bicaranya, bukan bermaksud memarahi Darmi tapi dia benar-benar khawatir memikirkan keadaan putrinya.
"M-maaf Pak," Mbok Darmi menundukkan kepala. "Non Dila ada di kamar. Sudah dua hari mengurung diri tanpa keluar dan makan apapun, Mbok takut Non Dila kenapa-kenapa." imbuh Darmi mengutarakan apa yang terjadi pada Dilara.
Tanpa menjawab, Dirgantara langsung berlari menaiki anak tangga. Rahangnya menggeram dengan sorot mata begitu tajam. Dia benar-benar yakin bahwa ini ulah Dafa, tidak mungkin Dilara seperti ini tanpa sebab yang jelas.
"Tok Tok Tok..."
Dirgantara mengetuk pintu sesaat setelah tiba di depan kamar Dilara.
"Dila, ini Papa Nak. Ayo, buka pintunya!" panggil Dirgantara dengan tangan mengepal menetralisir amarah yang mulai berkecimpung di otaknya.
"Papa..." gumam Dilara yang tengah meringkuk di atas kasur. Perlahan dia mulai bangkit dan turun dari tempat tidur, langkahnya terhuyung saat mendekati pintu.
"Ceklek..."
Pintu terbuka lebar, Dilara langsung berhamburan ke dalam pelukan Dirgantara. Tangisannya pecah seperti sirine ambulans yang tengah membawa pasien darurat.
"Sssttt... Jangan menangis, Papa di sini!" Dirgantara mencoba menenangkan Dilara, dia memeluknya erat dan mengusap punggungnya dengan sayang.
Lalu Dirgantara berjalan memasuki kamar Dilara dan mendudukkan putri semata wayangnya itu di tepi ranjang.
"Sudah, jangan menangis lagi. Tenang dan ceritakan apa yang terjadi!" ucap Dirgantara sambil menyeka pipi Dilara. Dia sempat terkejut melihat kondisi Dilara yang sangat memprihatinkan, matanya bengkak, wajahnya pucat dan rambutnya acak-acakan.
Sayang, Dilara tidak mau mengatakan apa-apa pada sang papa. Dia hanya diam sambil menggelengkan kepala.
"Dila, Papa mohon bicaralah!" desak Dirgantara yang mulai kehabisan kata-kata.
"Tidak ada apa-apa Pa, Dilara hanya kangen sama Papa." jawab Dilara berbohong, dia tidak mau mengatakan apa yang sudah dia alami. Jika Dirgantara sampai tau, dia tidak mungkin diam saja. Apalagi saat mengetahui bahwa Dafa sudah berani melakukan kekerasan padanya, Dilara tidak ingin Dirgantara menyakiti suaminya.
"Jangan bohong, Papa bukan anak kecil yang bisa kamu bodohi." tegas Dirgantara dengan tatapan nyalang. "Apa Dafa menyakiti kamu? Apa dia mengasari kamu?" cerca Dirgantara mengungkapkan kecurigaannya.
Mendengar itu, Dilara sontak terdiam. Dia tidak tau harus berkata apa.
"Kalau begitu tunggu di sini!" tekan Dirgantara, lalu bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan kamar.
"Pa, jangan!" sorak Dilara menahan langkah Dirgantara, dia tidak ingin sang ayah melukai Dafa yang saat ini masih sah menjadi suaminya.
"Jangan cegah Papa, Dila!"geram Dirgantara dengan rahang mengeras. Bukankah sebelumnya dia sudah berpesan pada Dafa untuk tidak menyakiti putrinya, tapi ternyata Dafa sama sekali tidak mengindahkan ucapannya.
" Tapi Pa-"
"Diam di rumah! Ini urusan Papa," potong Dirgantara, lalu melanjutkan langkahnya.
Dirgantara mengayunkan langkah besar menuruni anak tangga, lalu memanggil Wahyu untuk mengantarnya ke rumah Dafa.
Berani sekali menantunya itu menyakiti putri yang dia jaga dengan segenap jiwa. Dirgantara yang ayahnya saja tidak pernah sekalipun menyentuh kulit Dilara, bahkan Dirgantara juga tidak pernah membentak putrinya itu.
Satu jam kemudian, mobil yang dikendarai Wahyu tiba di depan kediaman Dafa. Dirgantara langsung turun dan mengayunkan langkah besar.
Mata pria paruh baya itu memerah dan berkabut, tangannya mengepal erat dengan rahang menggeram.
"Tok Tok Tok..."
Terdengar suara ketukan pintu dari arah luar. Dafa yang tengah duduk di ruang tamu segera berdiri dan melangkah menuju pintu, dia membukanya dan-
"Bug..."
Tanpa berbasa-basi, Dirgantara spontan mendaratkan bogem mentahnya ke wajah Dafa. Tubuh pria itu termundur ke belakang saat mendapati serangan tiba-tiba yang tidak sempat dia elakkan.
"Pa..." lirih Dafa dengan mata berkaca, dia menatap sendu pada Dirgantara sambil menekan bibirnya yang mengeluarkan sedikit darah.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu!" bentak Dirgantara, kemudian menghampiri Dafa dan mencengkeram lehernya. Dafa seketika tergagap karena kesulitan mengambil nafas.
"Pa..." gumam Dafa dengan susah payah.
"Bug..."
Kembali Dirgantara melayangkan bogem mentahnya ke sisi wajah Dafa yang lain.
"Apa yang sudah kamu lakukan pada putriku, hah? Apa begini caramu memperlakukan istrimu sendiri?" cerca Dirgantara menatap Dafa dengan penuh kebencian, setetes cairan bening tiba-tiba jatuh di sudut matanya.
Dirgantara memang tidak tau hal buruk apa yang sudah Dafa perbuat pada Dilara, akan tetapi batinnya bisa merasakan kalau Dafa sudah menghancurkan hati Dilara. Putrinya tidak akan seperti ini jika Dafa memperlakukannya dengan baik.
"Pa-"
"Apa yang salah dengan putriku? Kenapa begitu tega kamu menyakitinya?" lirih Dirgantara menyayangkan kelakuan Dafa. "Aku saja tidak pernah mencuil kulitnya sedikitpun, apalagi mengasarinya." tiba-tiba suara Dirgantara terdengar bergetar.
"Bukankah sudah aku tekankan padamu untuk tidak menyakitinya? Tapi kenapa kamu malah menghancurkannya sampai seperti ini?" semakin Dirgantara berbicara, semakin berderai pula air mata membasahi pipinya.
"Dua hari Dilara mengurung diri di kamar, selama itu pula dia tidak pernah makan dan minum. Apa aku harus kehilangan putriku karena perbuatanmu?"
"Bug..."
Tubuh Dafa tiba-tiba terpental di kaki meja sesaat setelah Dirgantara memukulnya kembali, dia sengaja tidak melawan karena sadar akan kesalahannya.
"Ceraikan Dilara! Masih banyak pria lain di luar sana yang lebih baik darimu. Persetan dengan cinta, aku tidak akan membiarkan putriku kembali pada bajingan sepertimu."sergah Dirgantara.
"Tidak Pa, aku tidak akan menceraikan Dilara." sahut Dafa yakin.
"Terserah, aku yang akan memastikan bahwa kalian berdua akan bercerai secepatnya." tekan Dirgantara.
Setelah mengatakan itu, Dirgantara berbalik dan pergi tanpa pamit. Dia benar-benar muak melihat wajah menantunya yang tidak punya hati itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
MIKU CHANNEL
bagaimana rasanya dipukul sakit ngak? sakit pasti ngak mungkin engak, dan itu yang Dila rasakan waktu kamu menyakitinya, orang tua mana yang rela dan menerima anaknya disakiti oleh orang lain terlebih ini adalah suaminya sendiri, yang sejatinya tempat dia mencurahkan kasih sayang tempat dia berkeluh-kesah tempat dia bernaung tp tega menyakiti Istrinya, kamu belum merasakan menjadi seorang Ayah bagaimana dia membesarkan Anaknya apalagi tanpa seorang istri disampingnya, hancur hatinya sudah pasti, Anak yang dia rawat dengan segenap jiwanya tidak rela putrinya terkena masalah apapun bentuknya, seorang ayah akan menjadi sangat egois apalagi berkaitan dengan putrinya 😭😭😭😭
2023-02-10
2