Tidak terasa malam telah pergi begitu cepat. Pagi hari Dilara tersentak saat merasakan sesuatu yang menyentuh bibirnya, dingin dan basah seperti ditempeli air.
Saat membuka mata, Dilara terperanjat mendapati Dafa yang tengah asik memagut bibirnya. Seketika matanya membulat seiring detak jantung yang berdegup tak menentu.
"M-Mas..." Dilara spontan mendorong kepala Dafa dan menjauh secepat kilat.
"Dila..." lirih Dafa dengan tatapan sendu dan sulit dimengerti, deru nafasnya kian memburu.
Tanpa menyahut, Dilara langsung berlari meninggalkan kamar. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Dilara tidak boleh luluh hanya dengan sentuhan bibir yang dilayangkan Dafa. Ini tidak benar, ini hanya nafsu sesaat, Dafa tidak menginginkannya.
Dilara sudah mengambil keputusan dan tidak mungkin merubahnya. Tekadnya sudah bulat meski Dafa berusaha keras menahannya.
"Mana Dafa?" Dilara yang tengah berjalan menuju dapur tiba-tiba dikejutkan dengan kedatangan Mega, tatapan wanita itu sangat tajam mematut Dilara.
"Mbak, silahkan duduk!" tawar Dilara dengan sopan.
"Tidak perlu berbasa-basi, dasar munafik." umpat Mega dengan tatapan tajam menakutkan.
"Apa maksud Mbak? Siapa yang munafik?" Dilara menautkan alis bingung, dia benar-benar tidak mengerti kemana arah pembicaraan Mega sebenarnya. Siapa yang dia katakan munafik?
"Siapa lagi kalau bukan kamu? Semalam aku memang menyuruhmu menjemput Dafa, tapi bukan berarti kamu bisa seenaknya membawa Dafa kemari. Semalam itu masih jatahku," bentak Mega meninggikan volume suaranya.
"Ma-maaf Mbak, aku sudah-"
"Tidak usah membela diri. Ingat, aku lebih berhak atas Dafa. Aku istri pertamanya, jangan sok berkuasa mentang-mentang sudah menjadi istri kedua. Kau itu sama saja seperti pelakor, merebut hak orang lain sesuka hatimu." potong Mega dengan sindiran pedas yang menghancurkan hati Dilara.
"Ya, Mbak benar, anggaplah aku ini pelakor, lalu Mbak sendiri apa? Mbak tega menjual suami Mbak hanya demi uang, lalu apa bedanya kita?" Dilara tentu saja tidak mau direndahkan, dia dan Mega sama-sama bertanggung jawab atas ini. Jadi jika ada yang harus disalahkan, maka mereka berdua lah yang bersalah.
"Diam kamu!" Mega menggerakkan tangannya, dia hendak melayangkannya ke pipi Dilara, beruntung Dafa dengan cepat menahan tangan istri pertamanya itu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" bentak Dafa, lalu berdiri di hadapan Dilara agar Mega tidak menyakitinya.
"Dafa, jangan menahan ku! Pelakor ini pantas menerima tamparan dariku, berani sekali dia mencuri jatahku." sergah Mega yang tidak terima jatahnya direbut Dilara.
"Tidak ada yang merebut jatahmu, aku sendiri yang ingin pulang ke rumah ini." jelas Dafa.
"Berani kamu membela pelakor itu daripada istrimu sendiri? Kamu-"
"Dilara bukan pelakor, dia juga istriku. Jadi aku berhak pulang kemanapun yang aku suka. Lagian untuk apa mencari ku? Bersenang-senang saja dengan temanmu di luar sana, apa peduli mu padaku?" tukas Dafa menatap penuh amarah pada Mega. Sadar juga wanita itu bahwa dia masih punya suami, sebelumnya kemana saja? "Lebih baik kamu pulang, tiga hari ke depan aku akan tetap di sini. Tunggu saja aku di rumahmu, tidak perlu mendatangiku kemari!" imbuh Dafa dingin.
"Ya sudah, aku pulang." Mega mendengus kesal seraya menghentakkan kakinya. "Heh, sekarang sudah tanggal sepuluh, kirim uang bulananku!" imbuh Mega menatap malas pada Dilara yang hanya diam mendengarkan perdebatan mereka.
"Iya, aku transfer sekarang." angguk Dilara. Dia pun berlari ke dalam kamar dan lekas mengambil ponsel lalu kembali ke luar.
Setelah membuka platform resmi sebuah bank, uang seratus juta langsung masuk ke rekening Mega. "Sudah Mbak," Dilara memperlihatkan bukti transaksi yang baru saja dia lakukan.
"Hmm... Ingat, lain kali jangan mengambil jatahku lagi!" tegas Mega menekankan.
"Tidak akan, aku bahkan sudah berniat mengembalikan milik Mbak. Mbak tenang saja," Dilara kembali masuk ke kamar setelah mengatakan itu. Hatinya terasa patah setelah mendapat perlakuan kasar dari Dafa dan penghinaan menyakitkan dari Mega. Segitu rendah kah dia di mata mereka?
Setelah Dilara menghilang, Mega meninggalkan rumah itu sembari tersenyum sumringah. Tentu saja dia sangat senang setelah mendapat transferan dengan jumlah yang sangat besar.
"Huft..." Dafa menghembuskan nafas kasar setelah Mega pergi meninggalkan rumah, dia pun menyusul Dilara ke kamar.
Dilara terduduk lesu di kaki ranjang dengan lutut yang menempel dengan dagu, dia memeluk tulang keringnya erat dengan air mata yang terus jatuh berderai.
"Dila..." panggil Dafa seraya berjalan mendekati istrinya itu.
"Kamu dengar sendiri kan? Aku ini hanya seorang pelakor, merebut suami orang dengan cara yang salah. Kenapa Mas? Kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa aku harus mencintaimu sedalam ini? Kenapa? Aku rasanya ingin mati, kenapa aku tidak mati saja? Aku tidak sanggup menahan perasaan dan rasa sakit ini, aku lelah Mas. Kenapa kita harus bertemu? Kenapa rasa itu tumbuh di hatiku? Aku juga tidak ingin seperti ini, aku-"
Tangis Dilara pecah kala Dafa membawa istrinya itu ke dalam pelukannya. "Apa yang salah denganku? Kenapa aku harus mencintaimu sampai seperti ini? Hiks..."
"Sssttt... Tidak ada yang salah denganmu," Dafa mendekap Dilara erat sambil mengusap kepalanya. Entah kenapa hatinya terasa sakit mendengar ucapan Dilara itu.
"Ceraikan saja aku Mas, aku mohon!" pinta Dilara terisak sesenggukan, dia mencengkeram lengan Dafa sekuat tenaga. Ini lebih baik daripada terus bersama.
"Tidak, aku tidak akan pernah menceraikanmu." tegas Dafa menggelengkan kepala. Meski awalnya dia ingin, tapi entah kenapa dia tidak bisa melakukannya.
"Kalau begitu bunuh saja aku!" pinta Dilara yang mulai kehilangan akal sehat.
"Tidak, aku juga tidak akan melakukan itu." jawab Dafa mempererat pelukannya. Dia tidak akan menceraikan Dilara apalagi membunuhnya. Perlakuan kasarnya tempo hari saja sudah membuatnya merasa sangat bersalah, dia tidak akan sanggup menyakiti Dilara lebih dalam lagi.
"Mas..." Dilara mendongakkan kepala, tatapan keduanya sontak bertemu.
"Dila, kamu mencintaiku kan?" lirih Dafa dengan mata berbinar menahan cairan yang ingin tumpah di sudut matanya.
Dilara hanya mengangguk tanpa memberikan jawaban apa-apa.
"Kalau begitu, beri aku kesempatan untuk membalas rasa itu. Biarkan hubungan ini berjalan sebagaimana mestinya!" ucap Dafa mencoba meyakinkan dirinya. Dia akan berusaha membalas perasaan Dilara meski membutuhkan waktu yang Dafa sendiri tidak tau entah berapa lama.
"Hmm..." Dilara hanya bergumam sambil menggelengkan kepalanya.
Melihat Dilara menggeleng, Dafa pun tersenyum getir. Dia kemudian membopong Dilara dan membaringkannya di kasur, lalu mengunci Dilara di bawah kungkungannya.
Matanya menilik tajam memperhatikan kantung mata Dilara yang sudah bengkak, kemudian turun mematut bibir basah Dilara yang sangat menggoda.
Dengan deru nafas yang kian memburu dan jantung berdebar-debar tak karuan, Dafa meneguk ludah dengan susah payah. Begitu mudahnya gairah di dirinya muncul melihat bibir merekah Dilara yang terasa manis di lidahnya.
Ya, meski tidak ada cinta di hatinya, tapi dia tidak bisa membohongi dirinya sendiri. Dia menginginkan Dilara, dia ingin sekali membawa Dilara melayang bersamanya menggapai surga dunia.
Baru saja Dafa menjatuhkan wajahnya, Dilara sudah menahan bibir suaminya itu agar tidak melekat di bibirnya. Dilara tidak ingin melakukan ini dengan pria yang sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya.
Lalu Dilara mendorong dada Dafa dan melompat turun dari ranjang. Dia tidak bisa melakukannya, dia tidak ingin menyesal untuk yang kedua kalinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
MIKU CHANNEL
kamu gila Dafa, kamu bilang tidak mencintai Dilara tapi kamu tidak mau menceraikannya dan sekarang kamu mau meminta hakmu, urusin dulu bini luh si Mega yang mata duitan itu, yg tega menjual suaminya sendiri dan bodohnya Dilara dia sampai cinta mati sama kamu dan rela menjatuhkan harga dirinya seperti tidak Ada laki-laki lain lagi didunia ini, udahlah Dilara kamu sadar ngak semakin lama kamu bersama Dafa semakin Mega memerasmu dengan dalih Berbagi suami
2023-02-07
2