Pagi-pagi sekali Dilara sudah bangun saat telinganya mendapat gangguan dari kokok ayam yang bersenandung di luar sana. Ternyata tinggal di rumah kecil dan padat penduduk tidak seindah yang dia bayangkan, berbeda dengan di rumahnya yang jika ada keributan tidak akan terdengar ke kamarnya.
Akan tetapi, ini adalah pilihannya. Dia harus berani menanggung konsekuensi atas tindakan yang sudah dia ambil.
Sambil merapikan rambutnya yang sudah acak-acakan, Dilara bergegas bangkit dari pembaringannya. Dia melangkah menuju kamar dan membuka pintu dengan pelan, takut tidur Dafa terusik olehnya.
Sesaat setelah kakinya menginjak kamar berukuran tiga kali empat itu, Dilara diam sejenak mematut wajah lelap suaminya. Tiba-tiba hati Dilara mencelos, wajah polos itu membuat darahnya berdesir.
Jika Dilara bisa memilih, dia tidak mau mengambil tindakan sebodoh ini. Tapi hatinya sudah terlanjur menginginkan Dafa, dia sangat mencintai suaminya itu.
Semua bermula ketika Dilara mengunjungi pabrik, waktu itu dia terlalu ceroboh dan nyaris terjepit mesin pembuat mie yang panasnya minta ampun.
Beruntung ada Dafa yang dengan sigap menarik pergelangan tangannya, pria itu membawa Dilara ke dalam pelukannya.
Disanalah Dilara melihat Dafa untuk pertama kali. Tatapan mata pria itu membuat jantung Dilara berdegup kencang tak menentu, kehangatan tubuhnya menimbulkan reaksi yang berbeda di diri Dilara.
Siapa sangka pandangan pertama itu telah menumbuhkan benih-benih cinta di hati Dilara. Entah dia yang bodoh atau memang takdir yang menuntunnya ke tangan Dafa.
Sejak saat itu, setiap hari Dilara tidak pernah absen mengunjungi pabrik hanya sekedar untuk melihat sang pria idaman. Diam-diam dia selalu mencuri-curi pandang ke arah pria itu. Dimana Dafa berpijak, maka disitu ada Dilara.
Hingga pada suatu hari, Dilara tak sengaja melihat dokumen pribadi milik Dafa yang saat itu sengaja dikumpulkan untuk mendata para karyawan. Disitulah hatinya hancur berkeping-keping, Dilara pikir Dafa masih bujangan tapi ternyata dia sudah menjadi milik orang.
Dilara tidak bisa menerima kenyataan itu, selama seminggu dia tidak pernah lagi mendatangi pabrik dan mengurung diri di rumah. Jangankan untuk bersolek, jalan-jalan, makan saja dia sangat enggan.
Setelah berusaha keras meyakinkan dirinya bahwa Dafa bukanlah jodohnya, Dara kembali bangkit dan mencoba memusnahkan perasaan itu dari hatinya.
Namun apa yang terjadi, dia justru mendapat kabar burung dari seorang karyawan pabrik bahwasanya rumah tangga Dafa tidak semulus yang orang-orang pikirkan.
Karena rasa penasarannya yang begitu besar, Dilara akhirnya memberanikan diri menguntit Dafa sampai ke rumahnya.
Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali Dilara melakukan itu dan selalu mendengar pertengkaran saat Dafa menginjakkan kaki di rumah itu. Jelas masalah ekonomi yang memicu pertengkaran tersebut.
Pada akhirnya, Dilara membuat keputusan untuk mendatangi istri Dafa. Dia sengaja mengunjungi rumah itu saat Dafa masih berada di pabrik.
Disanalah kesepakatan itu terjadi antara Dilara dan Mega. Embel-embel yang dijanjikan Dilara membuat mata Mega melotot tak percaya. Tentu saja wanita itu dengan cepat menyetujuinya, lagian penghasilan Dafa tidak akan pernah bisa mencukupi kebutuhannya.
...****************...
"Mas, ayo bangun! Ini sudah pukul tujuh," ucap Dilara sembari mengguncang lengan Dafa.
Setelah membersihkan diri tadi, Dilara langsung menyiapkan sarapan dan kopi untuk Dafa. Setelah itu barulah dia kembali ke kamar membangunkan suaminya itu.
Meski Dafa belum bisa menerima pernikahan ini, Dilara tidak akan pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Dia sendiri yang akan menyiapkan semua keperluan Dafa mulai detik ini.
"Mas..." kali ini Dilara mengusap pucuk kepala Dafa dengan sayang.
"Apaan sih?" Dafa meninggikan suara dan menyentak tangan Dilara dengan kasar. Sontak gadis itu terperanjat dengan air mata yang tiba-tiba menggenang di kelopak matanya.
Merasa air matanya sudah tidak bisa ditahan lagi, Dilara pun menjauh agar Dafa tidak melihat tangisannya. Dia tidak akan menangis di hadapan suaminya itu. Sesakit dan sejahat apapun perlakuan Dafa, dia akan berusaha kuat sampai batas kesabarannya benar-benar menipis.
Setibanya di luar, barulah air mata Dilara berjatuhan tanpa bisa dibendung. Inilah nikmat pernikahan yang harus dia jalani, entah sampai kapan dia sendiri tidak tau. Bisa jadi ini merupakan karma dari keegoisannya yang ingin memiliki barang kepunyaan orang lain.
"Tidak Dila, jangan menyerah! Ini belum satu hari, yakinlah bahwa suatu saat nanti Mas Dafa akan berbalik mencintaimu." batin Dilara menguatkan dirinya sendiri. Dia lekas menyeka wajahnya dan kembali ke kamar untuk berganti pakaian.
Setelah mengenakan pakaian rapi, Dilara pamit dan mencium punggung tangan Dafa yang masih berbaring di atas kasur. Setelah itu dia meninggalkan rumah dan lekas menuju pabrik.
Sebenarnya tidak ada yang perlu dia lakukan di sana, lagian Dafa juga sudah mendapat cuti selama satu minggu.
Tapi karena keadaannya yang tidak memungkinkan, Dilara lebih baik menghindar dan mencari kesibukan dengan bekerja. Kalau dia tetap di rumah, bukan tidak mungkin Dafa akan mempersulit dirinya seperti tadi.
Di rumah, Dafa baru saja keluar dari kamar mandi. Saat hendak memasuki dapur, matanya menyipit menangkap makanan dan secangkir kopi yang sudah tersedia di atas meja makan.
Dia tidak menyangka anak orang kaya seperti Dilara mampu melakukan pekerjaan rumah seperti ini. Apa ini akal-akalan istrinya itu untuk menarik perhatiannya?
Karena perutnya yang memang sudah sangat lapar, Dafa pun langsung duduk dan menyantap makanan yang masih panas itu. Saat sedang asik mengunyah makanannya, seketika mata Dafa menyipit melihat piring Dilara yang masih dipenuhi makanan, sedikitpun tidak ada bekas sendok yang terlihat.
Tiba-tiba hati Dafa mencelos memikirkan Dilara. Apa dia belum makan? Kenapa? Apa ini ada hubungannya dengan perlakuan kasarnya tadi?
Tapi apa yang bisa Dafa lakukan? Pernikahan ini terlalu mengejutkan dan menyakitkan baginya. Wanita yang dia cintai tega menjual dirinya hanya demi uang dan kemewahan, sedangkan wanita lainnya dengan gampang membelinya seperti sebuah barang. Dimana letak harga diri dan kehormatannya sebagai seorang suami?
Dengan perasaan bimbang serta penuh tanda tanya, Dafa kembali menyantap makanannya hingga tandas dan lanjut meneguk kopi yang dibuatkan Dilara untuknya. Kali ini Dafa tidak bisa berkelit, masakan Dilara benar-benar enak dan kopi buatannya juga pas dengan seleranya.
Dilara sangat berbeda dengan Mega yang lebih sering membeli makanan di luar dari pada memasaknya sendiri. Sekalinya memasak rasanya juga pas-pasan, tidak ada yang istimewa. Begitu juga dengan kopi yang dia buatkan, terkadang terlalu manis dan kadang kepahitan.
Mungkin di sinilah letak perbedaan seorang istri yang melakukan pekerjaan dengan ikhlas atau tidak. Jelas Dilara melakukan semuanya dengan hati yang tulus karena cinta yang dia miliki untuk sang suami.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments