Keesokan harinya, Dafa tiba di pabrik dan tercengang melihat para karyawan yang tengah berkumpul di dekat pintu masuk.
Karena penasaran, dia pun mendekat. Ternyata ada pengumuman yang sengaja ditempel di dinding dan dia pun ikut membaca pengumuman tersebut.
"Deg..."
Seketika mata Dafa terbelalak sempurna, jantungnya berdegup kencang. Dia tidak menyangka bahwa Dirgantara akan memutus kontraknya dengan PT Oke Food Dirgantara Sentosa.
"Dafa, kemarilah!" panggil seorang pria yang merupakan kepala pabrik, dia sengaja ditugaskan untuk menggantikan posisi Dilara yang sampai hari ini masih belum mau mendatangi tempat itu. Tempat yang menjadi awal dari kehancuran hidupnya.
Dafa pun memutar leher ke arah pria itu, lalu mengangguk lemah dan berjalan menghampirinya.
Setelah berbicara panjang lebar, pria itu memberikan sebuah amplop putih tipis ke tangan Dafa kemudian disusul dengan amplop coklat yang cukup tebal.
"Maaf, aku hanya menjalankan perintah dari atasan kita." dengan berat hati pria itu terpaksa melepas salah satu karyawan terbaik seperti Dafa. Dia sebenarnya tidak tega tapi apa lagi yang bisa dia lakukan, dia hanya menjalankan perintah Dirgantara.
Setelah mengatakan itu, Dafa ditinggal sendirian dalam keadaan terpaku dengan tatapan berkabut.
Dia tidak menyangka Dirgantara akan memutus kontrak kerjanya secepat ini. Setelah ditinggal Dilara, kini dia juga harus rela kehilangan mata pencaharian dalam sekejap mata. Inilah buah yang dia petik atas apa yang sudah dia tanam kepada Dilara.
Dengan wajah lesu dan langkah terombang-ambing, Dafa meninggalkan pabrik saat itu juga.
Sejak kepergian Dilara malam itu, hidup Dafa terasa hampa. Perpisahan membuatnya sadar bahwa diam-diam nama Dilara mulai terukir di hatinya. Dia merasa kehilangan hingga semangat hidupnya ikut pergi bersama sang istri.
Kini sesal tak lagi berguna, dia juga tidak tau kemana harus mencari Dilara. Dia pun memilih pulang lebih awal karena tidak tau kemana harus melangkah. Jalannya tiba-tiba buntu seperti sedang tertumbuk di tengah gelap gulita.
...****************...
"Papa sudah memecat suamimu itu, sekarang tinggal menunggu pengacara Papa mengurus perceraian kalian!" ucap Dirgantara pada Dilara. Hari ini dia sengaja membatalkan semua jadwal yang sudah dia susun sebelumnya, dia ingin menemani Dilara di rumah.
Mendengar itu, Dilara sontak terdiam, hening tanpa suara. Dia tidak menyangka sang papa akan melakukan ini pada Dafa, Dilara pun meninggalkan meja makan dan kembali ke kamar tanpa berucap sepatah katapun.
Jujur, Dilara sangat kecewa mendengar penuturan Dirgantara tadi. Dia tidak suka masalah pribadi mereka disangkutpautkan dengan pekerjaan. Jika Dafa tidak bekerja, lalu bagaimana nasibnya setelah ini? Dilara tau jaman sekarang sangat sulit mencari pekerjaan.
Seketika hening menerpa di dalam kamar berukuran seluas lapangan futsal itu. Dilara termangu memikirkan bagaimana keadaan Dafa saat ini.
Meski hatinya dibalut rasa kecewa yang mendalam, tapi dia tidak bisa membenci Dafa. Dia masih berharap Dafa mau mencarinya dan meminta maaf atas semua yang sudah dia lakukan.
Cinta benar-benar membuat Dilara kehilangan akal sehat. Setelah semua yang terjadi, dia masih ingin memberi satu kesempatan lagi untuk Dafa. Dia tidak sanggup menahan rasa rindu yang teramat sangat, dadanya kian sesak saat mengharapkan kedatangan pria yang sangat dicintainya itu.
Akan tetapi, sepertinya Dafa memang sama sekali tidak menginginkannya. Sudah tiga hari Dilara pergi tapi tidak ada tanda-tanda bahwa Dafa akan mencarinya. Dilara larut dalam asa yang dia pendam seorang diri.
"Mas, apa aku benar-benar tidak berarti bagimu?" lirih Dilara menitikkan air mata. Dia meringkuk di atas kasur memeluk dirinya sendiri.
Kenapa cinta ini begitu menyiksa? Kenapa Dilara harus mencintai Dafa sedalam ini? Jujur, perpisahan seperti kematian untuknya, dia tidak sanggup menahan perasaan ini terlalu lama.
"Dila, kamu dimana? Pulanglah!" gumam Dafa dalam kesepian yang tengah membelenggu hatinya.
Keduanya larut dalam pemikiran masing-masing di tempat yang berbeda.
Satu bulan kemudian...
"Pa, Dila mau pergi ke Singapura. Dila ingin tinggal di sana untuk sementara waktu." ungkap Dilara pada Dirgantara saat keduanya baru saja hendak menyantap sarapan pagi. Dilara ingin membebaskan hatinya dari penjara cinta dan luka yang ditabur Dafa untuknya.
"Kenapa? Apa kamu tidak senang tinggal sama Papa?" cerca Dirgantara dengan tatapan mengintimidasi. Dia tau Dilara masih memikirkan Dafa hingga detik ini, tapi untuk apa mengasingkan diri sampai ke negeri orang? Dirgantara tidak ingin jauh-jauh dari putri semata wayangnya itu.
"Pa, Dila... Huwek..." ucapan Dilara terpotong saat perutnya tiba-tiba terasa begah dan mual, padahal dia belum sempat memakan apa-apa. Dilara pun berlari ke toilet dapur untuk membuang isi perutnya.
"Huwek..."
Dilara memuntahkan cairan berwarna kuning yang rasanya sangat pahit seperti sambiloto. Bibirnya mengecut dengan mata memerah dan berair, tenggorokannya terasa penuh.
"Aaaah..." Dilara mengatur nafas setelah membasuh mulutnya dengan air.
"Dila, kamu kenapa sayang?" sorak Dirgantara dari balik pintu yang tertutup rapat.
"Tidak apa-apa Pa, masuk angin doang." sahut Dilara asal, dia tidak ingin membuat Dirgantara khawatir dengan keadaannya.
Setelah merasa sedikit nyaman, Dilara pun keluar setelah merapikan pakaian dan menyeka wajahnya.
"Kamu sakit?" tanya Dirgantara melihat air muka Dilara yang pucat kekurangan darah.
"Tidak Pa, Dila baik-baik saja kok." alibi Dilara, padahal tubuhnya terasa kurang fit dan pegal-pegal.
Apa mungkin karena dia jarang sekali berolahraga? Jadi tubuhnya mendadak kaku dan lemah seperti orang penyakitan.
Ya, satu bulan berlalu, Dilara lebih banyak menyendiri dan diam di kamar. Gairah hidupnya menurun drastis saat tak lagi bersama Dafa. Banyak waktu yang terbuang sia-sia dan banyak asa yang masih bergelut di pikirannya. Sayang, tidak satupun yang mengerti apa yang dia inginkan.
Dilara juga tidak pernah mengutarakan apa-apa pada Dirgantara maupun Darmi. Semua melimpah begitu saja di hatinya sehingga tidak ada tempat lagi untuk menampungnya.
"Dila ke kamar dulu ya, Pa." imbuhnya, lalu meninggalkan Dirgantara dan kembali ke lantai atas. Dia bahkan tidak memiliki selera untuk mengisi perut yang masih kosong.
Sesampainya di kamar, Dilara lekas membuka laci. Beberapa waktu lalu dia sempat ke apotik membeli obat anemia yang dia derita, lalu dia pun membeli alat uji kehamilan untuk berjaga-jaga.
Tanpa pikir panjang, Dilara lekas memasuki kamar mandi lalu menggunakan alat itu sesuai petunjuk yang tertera pada kemasan.
"Deg..."
Tiba-tiba jantung Dilara bergemuruh dengan kencang, matanya melebar dengan mulut sedikit menganga. Badannya mendadak lemas dan merosot di lantai kamar mandi.
"Mas..." lirih Dilara berderai air mata. Dia mengusap perutnya perlahan dan termangu untuk beberapa saat.
Garis dua yang terpampang pada tespek itu menunjukkan bahwa Dilara tengah mengandung anak dari pria yang sangat dia cintai itu.
Bukankah seharusnya Dilara bahagia? Tapi pada akhirnya, kenyataan itu malah semakin menghancurkan hatinya hingga tak bersisa.
Dirgantara sudah mengurus perceraiannya, namun siapa sangka akan ada yang terluka dengan perpisahan itu selain mereka berdua.
Apa dia sanggup mengandung dan melahirkan anak itu tanpa sosok seorang suami? Apa Dilara mampu membesarkannya seorang diri? Tidak, Dilara tidak akan sanggup menjalaninya.
Meski masih ada Dirgantara yang bisa menggantikan peran ayah untuk anaknya, tetap saja itu tidak akan bisa menjadi acuan untuknya.
Dilara membutuhkan Dafa, dia sangat membutuhkannya dalam keadaan seperti ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
MIKU CHANNEL
Dafa Nasibmu sungguh mujur, pernikahan yg sedang diujung tanduk seperti nya akan sedikit terselamatkan oleh janin yg ada diRahim Dilara
2023-02-10
1