15. Kehancuran Dilara

Pukul tujuh malam, Dilara tiba di rumah setelah seharian menyibukkan diri di pabrik. Tubuhnya benar-benar lelah dan matanya sangat mengantuk, dia ingin tidur barang sejenak tapi kedatangannya malah disambut dingin oleh Dafa.

Pria yang tengah duduk di sofa itu menyilangkan kakinya, sebelah tangannya terbentang lurus di sandaran sofa sedangkan sebelahnya lagi memegangi gelas berisi minuman. Dilara tidak tau minuman apa itu, tapi yang jelas baunya sama persis dengan mulut Dafa malam itu, saat dia menjemput Dafa di bar.

Apa Dafa mabuk?

Mungkin saja, mata Dafa terlihat memerah, tatapannya nampak nyalang seperti seekor elang yang tengah mengintai mangsa. Sedikit seringai miring yang bergerak di sudut bibirnya membuat Dilara merasa risih, dia pun lekas berlari menuju kamar.

Belum sempat Dilara menutup pintu, tubuh jangkung Dafa tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Pria yang sudah teler itu menahan pintu dengan kakinya, lalu mendorongnya kasar. Tubuh ringkih Dilara seketika terseret dan jatuh di lantai.

"Aww..." Dilara meringis sambil memegangi bokong dan sikunya yang terhempas, lalu mengusapnya perlahan.

"Heh, sakit?" Dafa menyeringai, lalu melangkah masuk seraya mempertontonkan senyuman iblis. Dilara yang melihat itu bergidik ngeri, dia benar-benar takut melihat Dafa yang sudah seperti orang kesurupan.

"M-Mas..." Dilara terbata dan menyeret tubuhnya ke belakang. Dia ingin berdiri dan menjauh, tapi kakinya lekas ditahan oleh Dafa yang kini tengah berjongkok di hadapannya.

Seketika tatapan iblis Dafa berubah dipenuhi kabut, matanya berkaca menahan cairan yang sudah menggenang. Dia pun meraih tengkuk Dilara dan mencengkeramnya dengan kasar.

"Kenapa Dila? Kenapa kamu tega mempermainkan perasaanku? Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku? Aku sedang berusaha memberikan cintaku untukmu, tapi kenapa kamu malah menyakitiku? Kenapa mengkhianati ku?" cerca Dafa mengikis jarak diantara mereka, lalu mengesap bibir Dilara dengan membabi buta.

"Mmm... M-Mas..." pekik Dilara dengan susah payah, tapi Dafa seakan tidak mendengar dan menulikan pendengarannya.

Tidak hanya melu*mat kasar bibir Dilara, Dafa juga membelit lidahnya dengan rakus, Dafa bahkan dengan beringas menghisap dan menyedot liur istrinya itu, lalu menggigitnya seperti orang kesetanan.

Dilara tidak sanggup menahan rasa sakit yang diciptakan Dafa, bahkan untuk melawan saja dia tidak memiliki tenaga. Hanya air mata yang mampu menunjukkan rasa sakitnya.

Tidak berhenti di sana, Dafa kemudian menarik paksa dress yang melekat di tubuh Dilara. Pakaian berbahan katun itu pun robek seketika sehingga mempertontonkan aset pribadi Dilara yang hanya berbalut bra dan segitiga. Dilara berusaha memberontak tapi tubuhnya sudah keburu ditindih oleh Dafa.

"Jangan Mas, aku mohon!" pinta Dilara berderai air mata, bukan seperti ini yang dia inginkan.

"Kenapa jangan? Apa tubuhmu juga sudah dijamah olehnya?" tuding Dafa dengan rahang mengeram. Semakin Dafa mengingatnya, semakin mendidih pula darahnya.

Tanpa mempedulikan tangisan Dilara, Dafa pun dengan cepat menyingkirkan benda yang masih menutupi tubuh Dilara.

"Tidak Mas, jangan lakukan ini padaku! Tolong hentikan!" pinta Dilara memohon saat bibir Dafa sudah tenggelam di dadanya. Bahkan bagian intinya terasa nyeri saat sesuatu hendak memasukinya.

"Aaah... Mas, sakit..." pekik Dilara saat Dafa memaksa masuk dengan kasar. Meski mengalami kesulitan, Dafa tetap memaksakan batangnya menembus inti Dilara.

"Aaah..." lagi-lagi Dilara hanya bisa menjerit menahan rasa sakit yang teramat sangat.

Benda berukuran di atas normal itu menyeruduk sampai pangkal, membuat tulang Dilara terasa patah. Air matanya terus mengalir menikmati kesakitan yang dihadiahkan Dafa untuknya. Tidak hanya fisiknya tapi hatinya ikut hancur saat Dafa tidak memperlakukannya seperti seorang istri.

Dilara hanya bisa menangis dan terus menangis saat Dafa tengah berjibaku mengejar puncak kenikmatan yang sudah satu Minggu lebih dia tahan. Bahkan tangisan Dilara tidak mampu menghentikan aksinya yang tengah dibakar gairah yang membara.

Setelah hampir satu jam, Dafa akhirnya tumbang di samping Dilara. Matanya langsung terpejam setelah menyalurkan hasrat kelakiannya dan menabur benih di inti Dilara.

Dilara rasanya ingin mati detik ini juga, sekujur tubuhnya sakit dan ngilu seperti baru saja dihantam reruntuhan bangunan. Jangankan untuk berdiri, bergerak saja rasanya begitu sulit akibat tekanan Dafa dan kerasnya lantai keramik yang menopang tubuhnya.

...****************...

Dua jam kemudian, Dilara berusaha keras untuk berdiri. Langkahnya tergopoh-gopoh saat memasuki kamar mandi. Setelah menyalakan shower, dia pun membiarkan tubuh ringkihnya diguyur air. Dingin memang, tapi tak sedingin hati Dilara yang kini sudah membeku.

Dia mengusap tubuhnya dengan kasar sehingga menimbulkan baret di setiap permukaan kulitnya. Biarkan saja, untuk apa mempertahankan kulit indah itu jika suaminya saja tidak menghargainya dan malah memperlakukan dia seperti seekor binatang.

Miris bukan?

Seorang suami memperkosa istrinya sendiri tanpa belas kasih sedikitpun. Penyatuan yang seharusnya meninggalkan kesan istimewa, malah berakhir menjadi sebuah luka yang tidak akan bisa Dilara lupakan seumur hidupnya.

Usai membersihkan tubuh dan jejak yang ditinggalkan Dafa di dalam dirinya, Dilara bergegas mengenakan pakaian lalu mengambil sehelai kertas dan mencoretnya dengan tinta.

Tidak ada lagi yang tersisa, Dilara tidak sanggup bertahan dalam neraka pernikahan ini. Seharusnya dari awal dia tidak perlu merendahkan diri hanya untuk mendapatkan cinta dari pria yang sangat dia cintai itu.

Inikah balasan dari cinta tulus yang dia berikan? Bahkan pengorbanannya sama sekali tidak berharga di mata Dafa.

Dengan langkah berat, Dilara bergegas mengemasi pakaian. Setelah menaruh kertas tadi di atas kasur, dia pun melangkah pergi sembari menyeret koper miliknya, meninggalkan semua luka dan kepahitan yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Kini penyesalan itu datang setelah asa yang dia pendam sirna begitu saja. Ego menghancurkan dirinya, cinta membutakan mata hatinya sehingga terseret ke tepi jurang yang begitu dalam.

Tidak ada lagi yang dia harapkan dari pernikahan ini.

Setelah menaruh koper di atas motor, Dilara langsung pergi tanpa menoleh ke belakang.

Sekitar pukul dua belas malam, Dafa terbangun dan menekan dahi yang masih menyisakan rasa pusing. Perlahan dia duduk dan mengucek mata sambil mengumpulkan nyawanya kembali.

"Deg..."

Tiba-tiba mata Dafa terbelalak menyaksikan tubuhnya yang sudah polos tanpa berbalut apa-apa, bahkan jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan noda merah yang sudah membeku di batang miliknya.

"Apa yang sudah aku lakukan?" gumam Dafa menggeleng-gelengkan kepala. Dugaannya semakin kuat saat menemukan bercak darah yang sudah mengering di dasar lantai.

"Tidak mungkin, apa ini?" Dafa memutar leher menyisir setiap sudut kamar yang terasa sunyi dan mencekam.

Apa yang terjadi dengannya? Apa yang sudah dia lakukan pada Dilara?

"Apa aku melakukannya? Apa aku memaksanya?" gumam Dafa, dia tidak bisa mengingat apa yang sudah dia lakukan sebelumnya.

Dengan wajah panik, Dafa berhamburan meraih celana yang tergeletak di lantai lalu memakainya terburu-buru. Saat ingin mencari Dilara ke ruang tamu, sudut matanya tak sengaja melihat sehelai kertas yang terletak di atas kasur. Segera Dafa menyambarnya dan mematut tulisan yang tertera di sana.

"Dalam hidup, aku pernah mencintai tiga orang laki-laki tampan di waktu yang berbeda. Dari kecil aku dibesarkan oleh Papa dengan penuh kasih sayang dan perhatian lebih. Beliau selalu menuruti apapun yang aku inginkan. Ya, dialah cinta pertamaku, laki-laki yang sangat aku sayangi seumur hidupku. Dia bahkan tidak menolak saat aku menginginkan seorang pria yang sudah memiliki istri. Kenapa? Karena Papa ingin melihatku bahagia dengan orang yang aku cintai setengah mati, aku bahkan hampir gila karena selalu memikirkannya."

"Lalu saat aku masih duduk di bangku kelas satu SD, dengan bodohnya aku menyukai seorang remaja SMA yang pernah membantuku ketika terjebak badai petir di sebuah warung kecil. Saking takutnya, aku reflek memeluknya. Dia pun membalas pelukanku dan mencoba menenangkanku. Aku merasa nyaman berada di pelukannya, ketakutanku tiba-tiba hilang karena kehangatan tubuhnya. Namun saking bodohnya, aku bahkan tidak sempat menanyakan siapa namanya. Aku pernah beberapa kali menunggunya di warung itu, tapi kami tidak pernah lagi bertemu. Perlahan, aku pun mencoba melupakannya. Aku rasa, kami tidak akan pernah mungkin bertemu kembali."

"Lalu sekarang, aku mencintai seorang pria yang sudah beristri. Aku sadar ini salah, perasaan itu datang saat aku belum tau kalau dia sudah menikah. Awalnya aku pikir dia masih bujangan sehingga rasa itu semakin tumbuh dan bersemi di hati ini. Aku sudah mencoba untuk melupakannya, tapi tiba-tiba aku merasa memiliki kesempatan setelah tau bahwa rumah tangganya tidak baik-baik saja. Beberapa kali aku menguntit dan selalu mendengar pertengkaran hanya karena masalah ekonomi. Sebab itulah aku mendatangi istrinya sehingga terjadilah kesepakatan diantara kami berdua."

"Aku tidak pernah berniat membelinya, aku juga tidak pernah menganggapnya seperti barang dagangan. Aku melakukan ini karena rasa cintaku yang begitu besar padanya. Aku bahkan rela meninggalkan kemewahan yang aku miliki dan memilih hidup sederhana bersamanya. Aku sangat menghargainya, aku rela melakukan apa saja untuk mendapat sedikit saja perhatian darinya."

"Akan tetapi, sekarang impianku hancur seiring rasa sakit yang dia goreskan di hatiku. Dia tidak menginginkan wanita murahan sepertiku, dia membalas cintaku dengan kebencian yang hakiki. Tidak hanya menghancurkan hatiku, dia bahkan tega menyakiti fisikku. Apa lagi yang tersisa? Semua sudah berakhir saat dia memaksaku melayani nafsu bejatnya. Sakit... Andai dia memintanya dengan kelembutan, aku tidak akan mungkin menolaknya. Itu haknya dan aku juga menginginkannya. Sayang semua sudah terjadi, biarkan aku pergi membawa sisa-sisa kenangan pamit yang telah terekam di dalam memoriku, biarkan cinta ini hilang seiring berjalannya waktu. Aku sendiri tidak tau bagaimana hidupku tanpa dia. Mungkin aku akan mati secara perlahan membawa sedikit kenangan manis yang tidak sengaja tercipta diantara kami berdua."

"Bruuk..."

"Craang..."

Sebuah hantaman keras melayang di cermin meja rias, darah segar pun mengalir seiring serpihan-serpihan beling kecil yang berjatuhan di dasar lantai.

"Dila...." teriak Dafa histeris berderai air mata. Tubuhnya merosot di lantai bertemankan beling kaca yang sudah hancur tak berbentuk. Begitu juga yang dirasakan Dafa saat ini, hatinya hancur menyesali perbuatan bejat yang baru saja dia lakukan.

Kenapa dia harus minum? Tidak bisakah dia bersabar dan bicara baik-baik? Andai saja Dafa tidak terbakar api cemburu, tentu Dilara tidak akan mengalami kejadian seperti ini.

Terpopuler

Comments

Syamir Abdullah

Syamir Abdullah

s dila jg knp hrs merendahkan kn harga dri krn cinta

2023-06-04

1

MIKU CHANNEL

MIKU CHANNEL

nikmati penyesalan mu Dafa, mungkin ini adalah puncak dari buah kesabaran Dilara atas perlakuan kasarmu, sok nangis ngeraung raung percuma Dilara udah pergi jauh,

2023-02-09

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!