13. Khawatir

Meski dalam keadaan terguncang, Dilara masih menyempatkan diri memasak untuk sarapan pagi ini. Dia tau sebagai seorang istri dia tidak boleh melalaikan tanggung jawabnya.

Usai memasak, Dilara bergegas membersihkan diri lalu mengenakan pakaian rapi seperti biasanya. Hari ini dia ingin pulang ke kediaman Dirgantara, dia membutuhkan waktu untuk berpikir dan menenangkan diri.

"Aku pergi," pamit Dilara pada Dafa yang sudah duduk di meja makan.

"Sarapan dulu," tawar Dafa, lalu bangkit dari duduknya. Dia meraih tangan Dilara dan menggenggamnya erat.

"Aku tidak lapar." jawab Dilara menatap malas pada Dafa. "Malam ini aku akan pulang sedikit terlambat, atau mungkin tidak pulang sama sekali." imbuh Dilara seraya menarik tangannya dari genggaman Dafa.

"Dila, jangan seperti ini! Aku minta maaf atas semua yang telah terjadi, aku menyesal. Tolong beri aku satu kesempatan untuk memperbaiki diri." ujar Dafa dengan tatapan memohon. Dia tau sudah melakukan kesalahan fatal pada Dilara, tapi bagaimanapun juga dia hanya manusia biasa yang bisa saja lepas kendali saat diterpa badai kemarahan.

"Tidak perlu meminta maaf berulang kali, aku sudah memaafkan mu tapi tidak dengan hatiku. Entah kapan rasa sakit ini akan sembuh, aku sendiri tidak tau. Mungkin saja selamanya luka ini tidak akan pernah mengering," ucap Dilara dengan penuh penekanan, berharap Dafa bisa mencerna ucapannya dengan baik.

"Dila..." lirih Dafa, dia berusaha menyentuh pipi Dilara tapi wanita itu dengan cepat membuang muka. Dia tidak sudi disentuh dengan tangan kotor Dafa yang pernah menamparnya.

"Ingat Mas, Dilara yang mencintaimu sudah mati. Dia ikut terkubur bersama rasa sakit dan luka yang kamu ciptakan sendiri." tekan Dilara dengan seringai miring yang bergerak di sudut bibirnya. Dilara pun mengayunkan kakinya setelah itu, meninggalkan Dafa yang tiba-tiba mematung memikirkan kata demi kata yang dilontarkan Dilara barusan.

"Bruuk..."

Dafa melayangkan tinjunya di atas meja makan sesaat setelah Dilara menjauh dari sorot matanya. Sontak piring dan gelas yang tergeletak di atas meja bergetar menimbulkan suara bising.

"Aakh..."

Dafa berteriak histeris seraya meremas rambut dan menjambaknya kasar. Dia benar-benar kehilangan akal memikirkan bagaimana caranya meluluhkan hati Dilara yang sudah terlanjur membeku. Bahkan es balok saja masih bisa mencair tapi kenapa hati Dilara berubah menjadi keras seperti ini?

Segitu dalam kah luka yang sudah dia torehkan di hati Dilara? Kenapa sulit sekali meyakinkan wanita itu?

...****************...

"Pagi, Mbok." sapa Dilara pada asisten rumah tangga yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri di kediaman Dirgantara. Wanita paruh baya itu tengah asik menyiram tanaman agar tidak layu seperti cinta Dilara.

"Pagi, eh, Non Dila pulang?" sahut Mbok Darmi yang nampak terkejut menangkap kedatangan putri semata wayang majikannya itu. Dia pun menaruh slang di tanah, keduanya berpelukan seperti teletubbies.

Ya, sejak kematian ibu Dilara, Mbok Darmi lah yang berperan penting menjaga dan membesarkan Dilara hingga saat ini. Dia mampu menggantikan sosok seorang ibu dan mencurahkan kasih sayang yang berlimpah untuk Dilara. Apalagi Mbok Darmi tidak memiliki anak satupun, jadi Dilara sudah seperti anak sendiri baginya.

"Hehehe... Bagaimana kabar, Mbok?" tanya Dilara setelah melepaskan Mbok Darmi dari pelukannya.

"Baik, Non. Non Dila sendiri bagaimana? Kenapa sendirian saja? Suami Non mana?" cerca Mbok Darmi. Wanita itu mengerutkan dahi saat tak melihat siapa-siapa bersama Dilara. Dia sebenarnya penasaran ingin melihat sosok Dafa yang membuat Dilara begitu tergila-gila.

"Mas Dafa di pabrik, banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan." jawab Dilara sesuai apa yang terlintas di benaknya, dia tidak mungkin mengatakan apa yang terjadi sebenarnya pada Mbok Darmi.

Meski perasaan cinta Dilara mulai menipis terkikis luka yang dia rasakan, dia tetap tidak mau menjatuhkan harga diri Dafa di hadapan orang lain, dia harus tetap menjaga marwah suaminya.

"Ya sudah, Dila masuk dulu ya. Mbok jangan terlalu kecapean, ingat untuk tetap menjaga kesehatan!" imbuh Dilara, lalu meninggalkan taman dan berjalan memasuki rumah.

Sesampainya di kamar pribadi miliknya, Dilara membuang tas selempangnya ke sofa. Dia kemudian menghempaskan tubuhnya di kasur dan mulai memejamkan mata. Tidur mungkin bisa membantunya melupakan rasa sakit di hatinya barang sejenak.

Dan benar saja, hanya dalam hitungan menit Dilara langsung masuk ke alam mimpinya. Melupakan segala gundah yang yang membelenggu diri dan perasaannya.

Sementara di pabrik sana, mata Dafa berguling liar menyisir setiap sudut parkiran tapi tak melihat motor Dilara di mana-mana. Darahnya tiba-tiba berdesir dengan jantung berdegup kencang memikirkan kemana perginya Dilara.

Dia pikir Dilara pamit untuk datang ke pabrik tapi ternyata dia salah menafsirkan.

Lalu kemana perginya Dilara?

Dengan langkah terburu-buru, Dafa masuk ke dalam pabrik dan langsung mendatangi ruangan Dilara. Dia pun semakin yakin bahwa Dilara tidak ada di pabrik setelah melihat ruangan Dilara yang kosong melompong.

Kemana istrinya itu? Air muka Dafa seketika mengecut, dia mulai khawatir memikirkan Dilara yang tidak mengatakan apa-apa padanya.

Mungkinkah Dilara pulang ke rumah Dirgantara? Tapi entahlah, Dafa sendiri tidak tau jawabannya.

Mengingat jam yang baru menunjukkan pukul sepuluh pagi, Dafa pun terpaksa melupakan Dilara barang sejenak. Dia harus kembali bekerja sebagaimana mestinya.

Meski tangan dan mata Dafa tengah fokus pada mesin yang dia kendalikan, tapi pikiran dan hatinya tengah berada di tempat lain. Konsentrasinya pecah saat tak berhasil menyingkirkan Dilara dari benaknya.

"Kemana kamu, Dila?" batin Dafa yang kembali mengkhawatirkan istri keduanya itu. Sudah siang tapi batang hidung Dilara tak kunjung tampak di pelupuk matanya.

Apa Dilara sengaja menghindar darinya? Mungkin saja, berkali-kali Dilara mengatakan ingin berpisah tapi Dafa tidak mau menurutinya.

Sedangkan di kediaman Dirgantara, Dilara baru saja bangun dan turun untuk makan siang. Perutnya terasa lapar setelah setengah hari berpuasa.

Kebetulan Mbok Darmi baru saja selesai memasak untuknya. Dilara pun tak menyiakan kesempatan itu dan langsung menyantap makanannya.

Untuk sesaat suasana hati Dilara terasa sedikit damai tanpa memikirkan pria yang terang-terangan sudah menancapkan duri di dadanya, menabur benih kebencian yang menghujam jantungnya.

Mungkin memang sebaiknya seperti ini. Untuk apa dia bersusah payah memikirkan suami yang bahkan tidak menginginkan dirinya sama sekali.

"Papa kemana, Mbok? Dari tadi Dila tidak melihat Papa," tanya Dilara pada Mbok Darmi yang ikut makan bersamanya. Keduanya duduk di meja yang sama tanpa membedakan status sosial diantara mereka.

"Papa Non ada urusan ke luar kota, mungkin lusa baru pulang." jawab Mbok Darmi.

"Hmm... Padahal Dila kangen loh sama Papa," ucap Dilara sedikit kecewa. Tapi mau bagaimana lagi, Dirgantara memiliki begitu banyak kesibukan sehingga waktunya di rumah bisa dihitung dengan jari. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di luaran dengan bisnis lain yang dia geluti.

Terpopuler

Comments

MIKU CHANNEL

MIKU CHANNEL

hampa ya Dafa, engak enak bgt rasanya dicuekin, sekarang kamu rasakan bgmn rasanya jd Dilara,

2023-02-08

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!