Pukul tujuh malam Dafa sudah tiba di kediaman Mega, rumah mewah yang sejak kemarin sudah menjadi tempat persinggahan untuknya.
Dengan raut wajah lesu dia duduk di meja makan dan menuang air putih ke dalam gelas.
"Glug..."
Setelah rasa dahaganya terobati, Dafa langsung berjalan menaiki anak tangga menuju kamar. Dia pikir ada Mega di kamar itu tapi tidak sama sekali. Dafa pun memilih masuk ke kamar mandi dan lekas membersihkan diri.
Usai mandi dan mengganti pakaian, Dafa turun lagi ke bawah. Kebetulan dia berpapasan dengan Nini saat hendak memasuki dapur mencari makan malam.
"Bapak sudah pulang?" tanya pelayan itu.
"Ya, istri saya mana ya?" Dafa balik bertanya karena tak kunjung melihat Mega dimana-mana.
"Ibu keluar sejak tadi siang, sampai saat ini belum pulang juga." jawab Nini jujur, dia tidak bisa berbohong meski Mega sudah menekankan padanya untuk membuat alasan.
"Bapak mau makan sekarang?" imbuh Nini, dia hendak menyiapkan makanan tapi Dafa dengan cepat mencegahnya. Selera makannya tiba-tiba hilang setelah mendengar ucapan Nini barusan. Dia pun meninggalkan dapur dan kembali ke kamarnya.
Dafa membaringkan diri di atas kasur dengan kedua tangan yang terlipat di bawah kepala. Otaknya mulai tidak tenang memikirkan kelakuan Mega yang semakin hari semakin menjadi-jadi.
Entah apa yang harus dia lakukan di rumah besar itu tanpa sosok istrinya yang mulai suka keluyuran tidak jelas di malam hari. Istri seperti apa dia?
Harta membuatnya lupa pada kodratnya sebagai seorang istri. Dia tidak pernah lagi melayani Dafa seperti yang dilakukan Dilara padanya.
Disaat-saat seperti ini, entah kenapa dia jadi teringat dengan Dilara. Meski membagi waktu dengan pabrik, tapi Dilara tidak pernah melalaikan tanggung jawabnya sebagai seorang istri.
Seketika hembusan nafas Dafa terdengar berat.
Puas bergelut dalam pemikirannya sendiri, Dafa pun akhirnya tertidur dengan perut kosong tanpa sempat mengisinya.
...****************...
Pagi hari Dafa sudah rapi mengenakan seragam kerja dan bersiap-siap untuk berangkat ke pabrik. Tanpa peduli Mega sudah pulang atau belum, dia pun meninggalkan rumah tanpa sarapan terlebih dahulu.
Entah angin apa yang menuntun jalannya pagi ini? Motor yang dikendarainya tiba-tiba berhenti tepat di depan rumahnya bukan di pabrik. Karena sudah terlanjur tiba di sana, Dafa pun mematikan mesin motor dan berjalan memasuki rumah.
Tepat saat kakinya menginjak ruang tamu, sudut matanya menangkap keberadaan Dilara yang tengah menikmati sarapan sendirian. Pagi ini setelah membersihkan rumah dan mengepel lantai, dia membuat nasi goreng dengan bahan seadanya.
Melihat pipi Dilara menggembung saat mengunyah makanan, Dafa sontak tersenyum dengan sendirinya. Entah apa yang tengah dia pikirkan saat ini.
Tanpa pikir panjang, Dafa pun berjalan mendekati meja makan. Dia menarik kursi dan duduk bersebelahan dengan Dilara. Tentu saja kedatangannya yang tiba-tiba membuat Dilara tersentak kaget, untung dia tidak jantungan.
Dan tanpa rasa malu, Dafa pun menyambar nasi goreng yang ada di sendok Dilara. "Aam..." gumamnya mengunyah makanan itu dengan lahap.
Kali ini Dilara tidak hanya kaget tapi mematung dengan alis bertautan. "Kamu-"
"Lagi dong, enak." potong Dafa membuka mulut lebar-lebar.
Dilara menilik Dafa dengan tatapan yang sulit dimengerti. Apa suaminya sakit? Hilang ingatan atau kesambet setan hantu belau. Bisa-bisanya dia makan dari sendok bekas mulut Dilara. Atau apakah Dilara yang tengah bermimpi sepagi ini?
"Ayo, suapi lagi!" pinta Dafa dengan mulut yang masih menganga.
"Makan sendiri saja," ucap Dilara, lalu mengambil piring dan mengisinya dengan nasi goreng. "Ini, makanlah!" imbuh Dilara dingin seraya menyodorkan piring itu di depan Dafa.
"Terima kasih," ucap Dafa mengulas senyum, lalu merampas sendok yang ada di tangan Dilara dan mulai menyantap makanannya. Dia memang sangat lapar karena sejak semalam belum makan. "Boleh nambah lagi?" tanya Dafa setelah menghabiskan satu piring penuh nasi goreng itu dengan cepat.
"Ehm... Silahkan!" sahut Dilara mengernyit. Dia agak heran dengan porsi makan Dafa yang terlalu berlebihan, jauh lebih rakus dari biasanya.
"Kenapa diam saja? Tolong ambilkan dong!" pinta Dafa sambil menyodorkan piringnya ke hadapan Dilara.
Suka tidak suka, Dilara pun terpaksa menuruti permintaan Dafa. Dia sadar statusnya masih istri pria itu, lalu mengisi piringnya lagi dengan nasi goreng dan telur dadar.
Setelah menaruh piring itu di hadapan Dafa, Dilara meninggalkan meja makan lebih dulu dan masuk ke kamar untuk bersiap-siap. Dia harus segera ke kantor karena sudah ada janji dengan seseorang.
Saat Dilara tengah merapikan rambutnya, Dafa masuk ke kamar dan berdiri di belakangnya. Pria itu mematutnya melalui pantulan cermin, dari ujung rambut sampai ujung kaki Dilara tak luput dari tatapan nyalang Dafa.
Dilara yang merasa risih kemudian menjauh dan keluar dari kamar, dia kembali ke meja makan dan merapikan meja lalu mencuci piring kotor. Dafa pun mengikutinya keluar seperti orang bodoh yang mengekori pergerakan Dilara.
Setelah tugas rumahnya selesai, Dilara lekas mengenakan sneaker, dia suka menggunakan itu agar pergerakannya bisa lebih bebas saat di pabrik.
"Bareng ya?" tawar Dafa saat Dilara hendak berjalan menuju pintu.
"Tidak usah, aku bisa sendiri. Aku tidak ingin orang-orang pabrik curiga dengan pernikahan kita, lagian hubungan ini akan segera berakhir. Biar saja mereka tau bahwa kita berdua hanya sebatas rekan kerja semata."
Setelah mengatakan hal itu dengan dingin dan raut muka datar seperti tembok, Dilara meninggalkan rumah terburu-buru.
Ya, ini sudah sesuai dengan perjanjian mereka berdua sebelum menikah. Dafa yang melarang Dilara mempublikasikan status pernikahan ini pada orang lain, Dilara hanya menepati janji.
Setelah menyalakan mesin motor, Dilara langsung tancap gas meninggalkan Dafa yang masih mematung di depan pintu rumah.
Ya, Dilara benar. Dafa sendiri yang mengajukan syarat itu karena tidak mau orang-orang menganggapnya terlalu rakus memiliki dua istri sekaligus, apalagi dia sendiri tidak menginginkan pernikahan ini.
Ini terjadi karena desakan Mega, jika Dafa tidak mau dia akan meminta cerai.
Lalu kenapa sekarang Dafa memendam penyesalan atas apa yang sudah mereka sepakati? Bukankah seharusnya Dafa senang?
Lama termangu dalam pemikirannya sendiri, Dafa pun lekas mengunci pintu rumah dan menyusul Dilara dengan sepeda motor miliknya.
Setibanya di pabrik, Dilara langsung dikejutkan saat menangkap penampakan Fandi, sudah hampir setengah jam pria itu menunggu di parkiran sesuai janji mereka sore kemarin.
"Kamu sudah datang? Maaf terlambat, tadi ada urusan sedikit." sapa Dilara sambil melangkah mendekati Fandi.
"Tidak apa-apa, baru juga setengah jam." ucap Fandi mengulas senyum tipis. Ada sedikit hal yang harus mereka diskusikan, sebab itulah Dilara menyuruhnya datang ke pabrik.
Setelah bertegur sapa, Fandi mengacak rambut Dilara lalu keduanya melangkah masuk ke dalam pabrik dan langsung menuju ruangan Dilara.
Dafa yang melihat pemandangan itu lantas terdiam di parkiran tanpa turun dari motor. Perasaan hatinya menjadi tidak karuan melihat senyum Dilara yang begitu lepas terhadap pria lain. Senyum yang sudah tidak tampak lagi sejak Dafa memperlakukan Dilara dengan buruk hari itu.
Menyesal? Mungkin saja.
Harusnya waktu itu dia lebih bisa mengendalikan diri tanpa mendahulukan ego di hatinya. Sekarang sikap Dilara jauh berubah, dia tidak seperti pertama kali memasuki rumah Dafa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
MIKU CHANNEL
nikmati saja hidupmu dan Nasibmu sok pergi kerumah istri tuamu yg matre itu, emang enak dianggurin sm Dilara mana Mega ngak jelas pergaulannya, menikmati hidup mewah dr hasil menjual suami
2023-02-06
2