4. Terjebak di Pabrik

Malam semakin larut, Dafa pun sudah masuk ke kamar untuk istirahat. Mau tidak mau Dilara terpaksa tidur di ruang tamu. Dia meringkuk di atas sofa sembari memeluk dirinya sendiri.

Di luar sana, hujan turun semakin lebat. Air muka Dilara mulai pucat, dia berharap tidak akan ada petir yang datang. Dia takut, dia phobia dengan petir karena masa lalunya yang pernah terjebak badai petir saat pulang sekolah. Beruntung ada seseorang yang menemaninya dan menenangkannya kala itu.

Waktu itu Dilara masih duduk di bangku kelas satu SD. Tiba-tiba datang seorang anak SMA yang ikut berteduh di depan sebuah warung. Saat petir menggelegar, Dilara reflek memeluk remaja itu. Karena kasihan, remaja itu pun mendekap Dilara seperti adiknya sendiri. Dia mencoba menenangkan Dilara sambil mengusap kepalanya.

Saat jemputan datang, Dilara melambaikan tangannya seraya tersenyum. Remaja itu membalas senyumannya dan ikut melambaikan tangan ke arah Dilara yang sudah memasuki mobil. Sayang Dilara tidak mengenalinya dan tidak tau siapa namanya. Dia tidak sempat bertanya apa-apa.

Setelah cukup lama memejamkan mata, Dilara akhirnya tertidur dengan posisi bergelung seperti seekor anak monyet. Tidak ada selimut ataupun kain yang membungkus tubuhnya.

...****************...

Pagi-pagi sekali Dilara sudah bangun dan turun dari sofa. Setelah mengikat rambutnya, dia mulai membereskan rumah dan menyapunya. Setelah itu mengepel lantai hingga kinclong.

Tidak pernah terbersit di pikirannya akan menjadi ibu rumah tangga seperti ini. Jika dia mau, dia bisa saja membawa Dafa tinggal di rumahnya yang luas dan megah. Ada beberapa pembantu yang siap melayani kebutuhannya.

Akan tetapi, Dilara tidak mau bergantung pada kekayaan yang dimiliki ayahnya. Dia ingin hidup mandiri dan menikmati hasil jerih payah suaminya.

Setelah rumah bersih dan rapi, Dilara bergegas ke dapur menyiapkan sarapan. Dia memanfaatkan bahan apa saja yang ada di dalam kulkas.

Satu jam kemudian, Dilara sudah selesai menata masakannya di atas meja makan. Setelah itu dia bergegas mandi dan bersiap-siap untuk ke pabrik. Entah mau apa dia di sana, yang jelas dia harus menyibukkan diri agar kegalauan hatinya sedikit berkurang.

"Makan yang banyak ya, Mas. Aku ke pabrik dulu," tulis Dilara di atas secarik kertas dan menaruhnya di meja makan, lalu Dilara meninggalkan rumah tanpa sarapan dan juga pamit.

Sejak memutuskan menikah dan tinggal bersama Dafa, Dilara benar-benar meninggalkan kemewahannya. Dia datang ke rumah itu hanya dengan satu koper pakaian dan sebuah motor matic. Motor itulah yang menjadi temannya saat pergi dan pulang dari pabrik.

Sesampainya di pabrik, Dilara menyibukkan diri mengecek setiap ruang produksi dan memeriksa berkas-berkas penting mengenai data keuangan, jumlah produksi, barang keluar dan permintaan pasar. Dia sengaja mengambil alih tugas itu sejak pertama melihat Dafa.

Selagi asik memeriksa berkas itu di ruangannya, tiba-tiba sebuah notifikasi pesan masuk di ponselnya. Dilara melirik telepon genggam itu dan mendapati nama Mega pada layar yang menyala.

"Jangan lupa besok hari Senin, antar Dafa ke rumahku!" begitulah isi pesan yang ditulis Mega untuk Dilara.

"Iya Mbak, aku tidak akan lupa." ketik Dilara lalu mengirimnya.

"Bagus, uang bulananku jangan sampai lupa!" tulis Mega lagi.

"Baik Mbak, uang bulanan akan aku kirim setiap tanggal sepuluh. Mbak tunggu saja, aku tidak akan ingkar janji." ketik Dilara lagi dan lekas mengirimnya.

Setelah mengirim pesan itu, Mega tidak membalasnya lagi. Dilara kembali menaruh ponselnya di atas meja dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.

Rasanya pengorbanan Dilara tidak sebanding dengan apa yang dia dapatkan, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi resiko yang harus dia tanggung.

"Permisi Nona," sapa seorang karyawan wanita yang tiba-tiba muncul dari balik pintu.

"Iya, silahkan masuk!" jawab Dilara ramah.

Wanita itu mengangguk pelan dan berjalan menghampiri Dilara. "Sudah jam makan siang, apa Nona mau aku pesankan makanan?" tanyanya menawarkan bantuan.

"Tidak usah, aku belum lapar." jawab Dilara menolak. Sebenarnya bukan belum lapar tapi seleranya yang tidak ada. Pikiran membuat nafsu makannya lenyap seketika, padahal dia belum sempat makan dari pagi.

"Baiklah, kalau begitu aku permisi." ucap wanita itu dan lekas meninggalkan ruangan Dilara.

Dilara hanya tersenyum mematut punggung wanita yang mulai menghilang dari pandangannya itu.

Setelah semua pekerjaannya selesai, Dilara memilih berbaring di atas sofa. Bayangan dinginnya Dafa kembali terlintas di pikirannya. Entah bagaimana cara menaklukkan hati suaminya itu?

Cukup lama larut dalam pemikirannya, Dilara pun akhirnya tertidur tanpa kenal waktu. Sampai jam kerja selesai dia masih terlelap begitu nyenyak.

Di luar sana hari mulai gelap, sementara penjaga sudah mengunci pabrik dan gerbang masuk. Tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa Dilara masih ada di dalam bangunan itu.

Sekitar pukul tujuh malam Dilara terbangun dan bersiap-siap untuk pulang tanpa melihat jam. Sesampainya di luar, dia melongo melihat pabrik yang sudah sepi, tidak ada seorang pun di dalam sana.

"Kemana semua orang?" batin Dilara menatap bingung ke segala arah, lalu dia pun mengeluarkan ponsel dari dalam tas.

"Astaga, sudah jam tujuh." gumam Dilara dengan mata membulat menatap layar ponselnya. Dia pun bergegas menuju pintu keluar, tapi sayang pintu tidak bisa dibuka dari dalam.

"Tolong... Buka pintunya!" teriak Dilara meminta bantuan, dia menggedor-gedor pintu besi itu tapi tak seorang pun bisa mendengarnya. Penjaga pabrik itu sudah kembali ke rumah petak yang ada di belakang sana.

"Siapa saja, tolong bantu aku keluar dari sini!" lirih Dilara menitikkan air mata. Dia terduduk lesu sembari menekuk kedua kakinya dan memeluk lututnya erat. Dia takut, dia sangat takut sendirian. Apalagi suara hujan terdengar jelas melalui genteng metal yang menutupi bagian atas pabrik itu.

"Duarrr..."

"Aaaaah..."

Suara petir tiba-tiba menggelegar memecah gendang telinga Dilara. Teriakannya ikut menggelegar menyusul suara guruh yang tak hentinya menyambar.

"Duarrr..."

"Mas Dafa..." pekik Dilara yang reflek memanggil nama suaminya. Air muka Dilara berubah pucat dengan bibir bergetar, sekujur tubuhnya gemetaran dengan keringat yang mengucur di dahinya.

"Mas, tolong aku! Aku takut," isak Dilara sesenggukan dengan tangan yang masih setia menutupi daun telinganya.

"Tag!"

Lampu tiba-tiba padam sebab hujan yang sangat deras dan angin yang bertiup sangat kencang, sementara suara petir tak hentinya mengalun di telinga Dilara.

Dalam kegelapan yang mencekam, Dilara menyalakan senter lewat ponselnya, dia meringkuk memeluk dirinya sendiri dengan air mata yang terus berderai.

Setelah hampir dua jam, hujan tak kunjung reda dan lampu pun tak jua menyala. Sementara baterai ponsel Dilara hanya tersisa sepuluh persen saja.

"Mas, aku di sini. Tolong aku!" gumam Dilara dengan nafas tercekat di tenggorokan. Dadanya mulai sesak dan kepalanya mendadak terasa pusing. Sesaat setelah senter ponselnya mati, Dilara pun terbaring lemah tak sadarkan diri.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!