7. Dingin

"Kenapa belum tidur?" tanya Mega saat mendapati Dafa yang masih duduk di ruang tamu. Wajah wanita itu nampak lelah usai bepergian bersama teman-temannya.

Dafa mematut Mega sekilas lalu beralih menatap jam yang menggantung di dinding. "Dari mana saja kamu?" tanya Dafa dingin setelah melihat jarum jam yang menunjukkan pukul satu dinihari.

"Tadi kan sudah dibilangin, aku ada janji sama teman." jawab Mega enteng tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Teman kamu yang mana? Laki-laki apa perempuan?" tanya Dafa lagi dengan tatapan mengintimidasi.

"Apaan sih kamu, orang capek bukannya disambut baik malah ditanya ini itu. Gak jelas banget," ketus Mega dengan tatapan malas, lalu melanjutkan langkahnya menuju lantai atas. Tentu saja hal itu membuat Dafa naik pitam, lalu menyusulnya dengan amarah yang kian memuncak.

Sesampainya di kamar, Dafa meraih pergelangan tangan Mega dan mendorongnya hingga tersandar di dinding. "Jangan menguji kesabaranku, aku ini suamimu bukan anak kecil yang bisa kamu bodohi seenaknya! Beginikah caramu memperlakukan suamimu sendiri?" sergah Dafa dengan tatapan tajam seperti mata elang.

"Apaan sih kamu? Jangan lebay jadi orang, hidup itu harus dinikmati bukannya dianggurin. Kamu pikir aku suka duduk manis di rumah tanpa aktivitas sama sekali? Mikir kamu, ini bukan jaman baholak lagi." jawab Mega kesal, lalu mendorong bahu Dafa dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dafa benar-benar tersulut emosi melihat kelakuan Mega yang semakin menjadi-jadi.

Sekitar sepuluh menit berlalu, Mega keluar dari kamar mandi. Setelah membaluri kulitnya dengan lotion, dia pun langsung tidur tanpa mempedulikan Dafa yang sedang menunggunya di sofa.

Ya, sebagai laki-laki normal Dafa tentu saja menginginkan haknya sebagai seorang suami, tapi Mega malah mengabaikannya begitu saja. Padahal sudah tiga hari mereka berdua tidak bertemu, sedikitpun tidak ada rasa empatinya terhadap Dafa.

Dengan wajah memerah menahan segala rasa yang dia pendam, Dafa menghampiri ranjang dan berbaring di samping Mega. Baru saja dia hendak memeluknya, Mega sudah memunggunginya dan memagut bantal guling. Tentu saja amarah Dafa kian memuncak melihat sikap cuek istrinya itu.

Di rumahnya, dia tidak mungkin meminta itu pada Dilara. Dia tidak menginginkan istri keduanya itu, tapi giliran di sini dia malah diperlakukan seperti orang asing. Mendadak ubun-ubun Dafa mendidih melihat kelakuan Mega yang begitu banyak perubahan.

Meski selama ini keduanya sering bertengkar, tapi Mega tidak pernah menolaknya jika menginginkan hal itu. Sekarang semua sudah berbeda, jangankan melayani permintaan syah*watnya, menatap wajahnya saja Mega nampak enggan.

Dafa hanya bisa mendengus kesal dan menghirup udara sebanyak-banyaknya, lalu memilih tidur.

...****************...

"Pagi Non Dila, sudah baikan?" sapa Sadin menyambut kedatangan Dilara.

"Sudah Pak, kemarin cuma capek. Setelah istirahat yang cukup, sekarang kembali fit. Bapak bisa lihat sendiri kan?" jawab Dilara mengukir senyum manis bak eskrim yang menggugah selera.

"Syukurlah, Bapak ikut senang mendengarnya. Tapi bibir Nona kenapa biru begitu? Perasaan kemarin baik-baik saja," tanya Sadin penasaran dengan kening mengernyit.

"Tidak apa-apa Pak, kemarin tidak sengaja kejedot pintu." bohong Dilara, tidak mungkin dia mengatakan kalau itu ulah suaminya. Lagian tidak seorang pun karyawan pabrik yang mengetahui tentang pernikahannya dengan Dafa. "Kalau begitu aku masuk dulu ya, Pak." imbuh Dilara memohon izin, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruangan.

Baru beberapa langkah berjalan, mata Dilara tiba-tiba tertuju pada seorang pria tampan yang berdiri tak jauh darinya. Mata pria itu mengarah padanya, tatapannya nampak tajam seperti musang jantan.

Sejenak tatapan keduanya bertemu pandang, namun beberapa detik kemudian Dilara memutus kontak matanya dan melanjutkan langkahnya dengan cepat.

Tidak ada gunanya melihat pria yang sama sekali tidak menginginkan dirinya, lagian Dilara sudah menyerah untuk merebut hatinya. Sudah saatnya Dilara sadar bahwa hubungan ini tidak akan berlangsung lama.

Sesampainya di dalam ruangan, Dilara menghempaskan bokongnya di sofa, dia memicingkan mata barang sejenak dan menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Dilara..." sapa Dafa yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya.

Sontak mata Dilara kembali terbuka dan membulat melihat tubuh proporsional suaminya yang berada tepat di hadapannya.

"Maaf, ini masih jam kerja. Kalau mau membahas pekerjaan silahkan duduk, tapi kalau ada masalah lain nanti saja diluar jam kerja." ucap Dilara dingin dengan tatapan datar seperti papan tulis.

"Dilara..." lirih Dafa.

"Silahkan Anda keluar!" selang Dilara menunjuk arah pintu.

Melihat sikap Dilara yang berubah seratus delapan puluh derajat, dada Dafa mendadak terasa ngilu. Harusnya dia senang bukan? Tapi kenyataannya malah sebaliknya, dia merasa sedih kehilangan Dilara yang lembut dan ceria.

Akan tetapi Dafa tidak bisa menyalahkan Dilara sepenuhnya, dia sendiri yang membuat hubungan mereka menjadi semakin rumit. Andai saja Dafa tidak lepas kendali dan seenaknya main tangan, mungkin Dilara masih bisa tersenyum terhadap dirinya.

Dengan raut sendu menahan rasa kecewa, Dafa lekas berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa berucap sepatah katapun.

"Huft..." Dilara menghembuskan nafas kasar sesaat setelah Dafa menghilang dari sorot matanya.

Setelah kepergian Dafa, Dilara beranjak dari sofa dan duduk di depan meja kerjanya. Dia pun menyibukkan diri memeriksa berkas-berkas yang sudah menumpuk di atas meja.

Selepas menyelesaikan semua pekerjaan untuk hari ini, Dilara meninggalkan ruangannya dan pergi mengecek setiap ruang produksi. Sebelum menikah, Dafa lah yang sering menemaninya mengontrol pabrik, tapi kali ini dia lebih memilih mengajak karyawan lain bersamanya.

Hal itu membuat Dafa benar-benar galau dan pusing tujuh keliling. Rencana yang awalnya ingin meminta maaf justru mendapat sambutan yang begitu dingin dari Dilara. Kepalanya serasa ingin pecah melihat sikap kedua istrinya yang sama-sama memperlakukannya seperti orang asing yang tak dikenal.

Usai mengecek kinerja karyawan pabrik satu persatu, Dilara pun meninggalkan gedung untuk mencari makan siang. Tak disangka dia bertemu seseorang saat tiba di sebuah restoran.

"Dila?" seru seorang pria dari jarak beberapa meter saja.

Merasa suara itu tidak asing di telinganya, Dilara pun menoleh cepat ke arah sumber suara. "Fandi?" pekik Dilara spontan tanpa memikirkan pandangan orang-orang yang berada di sekitarnya. Dilara pun berhamburan ke pelukan pria itu.

"Astaga, aku pikir kamu sudah lupa padaku." ucap Fandi, sepupu jauh dari Dilara yang berasal dari keluarga almarhumah ibunya.

"Gila kamu, mana mungkin aku lupa? Cakep banget sekarang," sanjung Dilara mempererat pelukannya.

"Cukup Dila, aku tidak bisa bernafas." keluh Fandi menahan sesak di dadanya.

"Hihihi... Maaf, habisnya ini merupakan kejutan besar untukku." kata Dilara terkekeh. Fandi pun mengacak rambut Dilara gemas.

Setelah puas melepaskan rasa rindu di hati masing-masing, keduanya memilih duduk di meja yang sama dan segera memesan makanan.

Sambil menyantap makanan yang sudah tersaji di atas meja, keduanya asik berbincang membicarakan apa saja yang lewat di pikiran mereka. Sesekali kepala Dilara tersandar di bahu Fandi dan pria itu berulang kali mencubit pipi Dilara gemas dan mengacak rambutnya.

Sekilas keduanya terlihat seperti sepasang kekasih yang tengah dimabuk asmara, tapi pada kenyataannya hubungan mereka hanyalah sebatas keluarga. Mereka berdua sudah seperti kakak adik yang pernah tinggal di bawah satu atap yang sama. Tapi sejak kematian ibu Dilara, keluarga Fandi memutuskan untuk pindah ke luar kota.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!