11. Jangan Pergi

Malam hari Mega mendapat telepon dari seseorang yang tidak dia kenal, pria itu menghubunginya melalui telepon genggam milik Dafa. Karena di sana tertera nama yang bertuliskan istriku, maka pria itu spontan menghubungi Mega.

Dia mengatakan pada Mega bahwa Dafa tengah berada di sebuah bar. Dafa mabuk berat dan sangat sulit dikendalikan. Dia meracau tidak jelas sambil sesekali menangis, setelah itu tertawa seperti orang gila lalu mengamuk seperti orang kesurupan. Pria itu pun meminta Mega untuk menjemput suaminya itu.

Setelah sambungan telepon itu diputus, Mega lekas menghubungi Dilara. Dia meminta Dilara untuk menjemput Dafa ke tempat itu, dia tengah sibuk dengan teman-temannya dan tidak memiliki waktu untuk mengurusi hal sepele seperti itu.

Selepas Dilara menyetujui permintaannya, Mega pun mengakhiri panggilan itu tanpa basa basi.

...****************...

"Permisi, tadi ada yang menelepon saya, katanya suami saya membuat ulah di tempat ini. Apa itu benar?" tanya Dilara kepada seorang pelayan setelah memasuki bar.

"Oh, apa Anda yang bernama Mega?" tanya pelayan itu memperhatikan penampilan Dilara yang cukup sederhana.

"Iya," angguk Dilara, mau tidak mau dia terpaksa mengaku bahwa dia adalah Mega. Dia hanya ingin mengeluarkan Dafa dari tempat itu secepatnya, dia tidak suka berada di sana terlalu lama.

"Ayo, sini ikut saya!" ajak pelayan itu, lalu membawa Dilara menemui Dafa yang tengah terbaring di sebuah sofa. "Itu suami Anda," pelayan itu menunjuk sofa yang ditiduri Dafa.

"Sebelumnya saya minta maaf atas kelakuan suami saya." Dilara menangkup tangan di depan dada sambil membungkukkan punggungnya. "Apa tempat ini mengalami kerugian atas ulah suami saya?" imbuh Dilara, siapa tau Dafa sudah menimbulkan kekacauan yang membuat bar itu mengalami kerugian.

"Tidak, cuma memecahkan satu gelas dan itu tidak masalah." jawab pelayan itu.

"Baiklah, sekali lagi terima kasih atas bantuannya."

Setelah mengatakan itu Dilara dengan cepat menghampiri Dafa. "Mas, bangun, kita pulang sekarang ya!" ajak Dilara sambil menepuk pipi Dafa. Pria itu membuka matanya perlahan dan tersenyum melihat kedatangan Dilara.

"Aku tidak mau pulang, biarkan saja aku di sini." jawab Dafa dengan suara serak dan mata terlihat sembab.

"Mas, ini tempat umum. Kalau mau tidur di rumah saja, aku akan mengantar Mas pulang ke rumah Mbak Mega." sambung Dilara membujuk.

Mendengar nama itu, Dafa tiba-tiba tersenyum getir. Kenapa dia harus pulang ke rumah istri pertamanya itu? Dia tidak diharapkan di sana, dia lebih suka pulang ke rumahnya yang ditempati Dilara.

"Tidak mau," geleng Dafa menghembuskan nafas berat.

"Lalu Mas maunya apa? Jangan mempermalukan diri sendiri, di sini banyak orang." Dilara mulai bingung bagaimana cara membujuk suaminya itu.

"Pulang ke rumah kita saja," lirih Dafa dengan suara melemah dan tatapan mengabur.

"Tapi malam ini masih jatah Mbak Mega Mas, jangan menyulitkan aku. Aku tidak ingin Mbak Mega salah paham padaku," terang Dilara mengingatkan.

"Ya sudah, aku di sini saja." ucap Dafa yang kembali memejamkan mata.

"Iya, iya, kita pulang ya. Sini, biar aku bantu!" terpaksa Dilara menurut dan lekas membungkukkan punggungnya, dia pun memapah Dafa meninggal bar itu.

Kemudian mereka berdua menaiki taksi online yang sengaja Dilara pesan saat di rumah tadi. Dia tau tidak mungkin membawa Dafa pulang menggunakan motor, itu akan sangat membahayakan untuk keselamatan mereka berdua.

"Kembali ke rumah tadi ya, Pak!" pinta Dilara pada sang sopir sesaat setelah dia dan Dafa duduk di bangku belakang.

"Baik Non," setelah menjawab, sopir itu langsung melajukan mobilnya menyisir jalan raya.

Sepanjang perjalanan Dilara hanya diam mematut jalanan, jantungnya berdegup kencang saat wajah Dafa tenggelam di dadanya. Tapi Dilara tidak bisa melakukan apa-apa, Dafa memeluknya erat seakan tak ingin melepaskan.

Setengah jam kemudian, mobil itu berhenti di halaman rumah, keduanya turun dibantu sopir yang sudah lebih dulu menginjak tanah.

"Makasih ya, Pak." ucap Dilara, lalu menyodorkan uang untuk membayar ongkos taksi itu kemudian memapah Dafa memasuki rumah dan langsung menuju kamar.

Dilara membaringkan Dafa di kasur dan meluruskan kakinya, lalu mengambil kain dan membasahi dengan air untuk mengelap keringat Dafa.

Pelan-pelan Dilara duduk di tepi ranjang, dia menyeka wajah Dafa dan turun ke lehernya, lalu mengelap telapak tangan dan kaki suaminya itu dengan rasa iba.

Mata Dilara tiba-tiba berkaca, hatinya mencelos menyaksikan wajah lelap Dafa yang masih setia menutup mata. Dia benar-benar dilema, dia sebenarnya tidak ingin berpisah tapi hanya itu satu satunya cara agar Dafa terlepas dari penderitaan ini.

"Hiks..." Dilara menyapu wajahnya dengan cepat dan bangkit dari sisi ranjang.

"Jangan pergi!" gumam Dafa seraya menahan tangan Dilara lalu menariknya untuk mendekat. Dafa takut Dilara benar-benar pergi setelah melihat sebuah koper di ruang tamu tadi.

Ya, sebelum Mega menelepon tadi, Dilara sudah hendak keluar dari rumah itu tapi dia terpaksa mengurungkan niatnya karena khawatir dengan keadaan Dafa.

"Mas, tolong lepaskan aku! Ini sudah berakhir," lirih Dilara menarik tangannya dari genggaman Dafa, namun Dafa malah menyentaknya kuat sehingga tubuh Dilara jatuh membanting dadanya.

"Jangan lakukan ini padaku, tolong jangan campakkan aku seperti ini!" Dafa mencengkeram tengkuk Dilara dan menariknya hingga kepala Dilara jatuh di atas wajahnya.

"Mas, kamu mabuk. Kamu tidak sadar, cepat lepaskan aku!" pinta Dilara memohon dengan pandangan mengabur menahan air mata yang hendak jatuh.

"Tidak Dila, aku tidak mabuk. Aku sadar dengan apa yang aku katakan." Dafa memutar badannya dengan cepat, kini posisinya berada di atas tubuh Dilara.

"Mas... Mmphh..."

Dilara sontak terdiam saat bibir Dafa melekat di bibirnya. Dafa melu*matnya lembut sambil menggenggam sepuluh jari Dilara dengan erat. Deru nafasnya kian memburu saat merasakan betapa manisnya bibir istri keduanya itu. Dafa bahkan dengan entengnya memasukkan lidahnya ke mulut Dilara dan mengobrak-abrik isi yang ada di dalamnya.

"M-Mas..." gumam Dilara dengan susah payah tapi Dafa sama sekali tidak peduli. Dia terus saja mengesap bibir Dilara dan membelitkan lidahnya.

Saat merasa sesak, Dafa pun menghentikan aksinya sejenak dan menyatukan hidung mereka berdua.

"Tolong jangan pergi!" pinta Dafa untuk kesekian kalinya memohon agar Dilara tidak pergi meninggalkannya. Dia kemudian menjatuhkan diri di samping Dilara dan memeluknya erat lalu membelit tubuh Dilara agar tidak menjauh darinya.

Kedua tangan Dafa melingkar di perut Dilara sedangkan kakinya menyilang di paha istrinya itu. Perlahan matanya mulai terpejam, sedikit dengkuran kecil lolos dari mulutnya.

Dilara hanya bisa diam seperti patung karena pergerakannya sudah dibatasi. Hatinya terenyuh melihat wajah lelap Dafa yang menyedihkan.

Bagaimana ini? Apa yang harus Dilara lakukan setelah ini? Pergi membawa luka hatinya atau bertahan dan terus saling menyakiti? Dilara tidak tau bagaimana caranya mengakhiri kemelut rumah tangganya ini.

Terpopuler

Comments

Oktaliska

Oktaliska

jgn langsung pergi dilara kasihan dafa dia dah mulai ada rasa

2023-12-07

2

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!