8. Kecewa

"Darimana saja kamu?" tanya Dafa saat Dilara baru menginjakkan kakinya di ruang tamu. Tatapan pria itu nampak tajam seperti seekor serigala yang tengah kelaparan, volume suaranya meninggi. Ingin sekali dia mencabik-cabik tubuh Dilara dan memakannya mentah-mentah tanpa sisa.

Dilara menghentikan langkahnya sejenak, menatap malas pada Dafa lalu melanjutkan langkahnya kembali. Dia memasuki kamar dan lekas bersiap-siap untuk mandi.

Peduli apa dia sama ucapan Dafa? Toh, Dafa tidak pernah menganggapnya sebagai istri. Lalu untuk apa dia tau darimana Dilara?

Setengah jam berlalu, Dilara keluar dengan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya. Setelah merapikan rambut dan merias wajahnya agar tidak pucat, dia pun meninggalkan kamar dan masuk ke dapur lalu membuatkan kopi untuk Dafa.

Selang beberapa menit, Dilara membawa kopi itu ke ruang tamu dan meletakkannya di atas meja tanpa bicara sepatah katapun.

"Siapa pria tadi?" tanya Dafa yang kali ini sedikit menurunkan nada bicaranya.

Ya, tanpa Dilara sadari ternyata tadi itu Dafa menguntitnya sejak meninggalkan pabrik. Siapa sangka Dafa akan menyaksikan pemandangan yang membuat darahnya tiba-tiba mendidih.

"Apa begitu tingkah seorang istri yang sudah memiliki suami? Makan dengan pria lain di tempat umum dan sesuka hatinya mengumbar kemesraan? Kamu anggap apa aku ini?" sergah Dafa berusaha bicara baik-baik. Dia mencoba mengesampingkan emosinya agar tak lagi menyakiti Dara seperti kemarin.

"Habiskan kopi itu, lalu pulanglah ke rumah Mbak Mega! Sekarang bukan waktu yang tepat untuk berada di sini."

Setelah mengatakan itu, Dilara menjauh dan masuk ke kamar. Dia memilih berbaring di atas kasur tanpa peduli Dafa akan mengusirnya lagi.

Tiba-tiba air mata Dilara berjatuhan mengingat perlakuan kasar Dafa kemarin. Di kasur itulah Dafa menyakitinya, tidak hanya melukai fisiknya tapi juga menghancurkan hatinya.

Rasanya Dilara ingin berteriak dan menghancurkan semua barang yang ada di kamar itu, tapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya.

Apalagi yang bisa dia lakukan selain menangis? Hatinya nyeri, perih dan remuk seperti kaleng minuman yang diinjak. Dia diperlakukan semena-mena tanpa rasa iba sedikitpun.

Lalu kenapa semudah itu Dafa bertanya dia dianggap apa? Dafa sendiri tidak menganggap Dilara siapa-siapa.

"Ceklek..."

Dilara dengan cepat mengusap wajahnya, menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya agar tak terlihat oleh Dafa.

Sesakit apapun, dia akan berusaha tetap tegar. Dia tidak akan menangis lagi di depan pria itu.

"Aku mau pulang ke rumah Mega," ucap Dafa yang kini sudah duduk di sisi ranjang.

"Ya, pergilah!" sahut Dilara tanpa bergerak sedikitpun. Dia tidak sanggup menatap mata suaminya itu.

"Begitu saja?" Dafa mengerutkan kening, berharap Dilara mau mengantarnya sampai depan.

"Hmm..." gumam Dilara tanpa berkata apa-apa.

Sontak Dafa mendengus dan mengusap wajahnya kasar lalu memberanikan diri menyentuh lengan Dilara.

Tiba-tiba air mata Dilara kembali menetes, semakin deras yang membuat bahunya bergetar menahan isak yang menyesakkan dada. Ini pertama kali Dafa menyentuhnya tanpa kekerasan, dia tidak tau harus bahagia atau sedih menerima ini.

Melihat Dilara yang seperti itu, hati Dafa mencelos. Dadanya ikut sesak mengingat perlakuan buruknya pada Dilara. Semarah apapun, tidak seharusnya dia melayangkan tangan pada wanita lemah itu.

"Maafkan aku, aku tidak bermaksud menyakitimu." lirih Dafa mencengkeram pelan lengan Dilara.

"Kamu tidak salah, aku yang salah karena memaksakan keinginan hatiku padamu. Pergilah, aku tidak mau Mbak Mega salah paham pada kita. Aku janji akan mengembalikanmu padanya, kamu tidak akan tersiksa lagi menjadi suamiku."

Setelah mengatakan itu, Dilara meringkuk meremas bantal guling yang dipeluknya. Tangisannya pecah, tapi dia sengaja menggigit bantal agar Dafa tidak mendengar raungannya.

Namun seberapa keras Dilara menyembunyikan rasa sakitnya, Dafa tau dan bisa merasakannya. Melihat Dilara yang seperti ini, kakinya terasa berat untuk di langkahkan.

Mana mungkin dia meninggalkan Dilara dalam keadaan seperti ini. Dafa benar-benar dilema berada di tengah dua istri seperti saat ini. Kenapa dia harus terjebak dalam situasi rumit ini?

Jujur, Dafa lebih nyaman berada di rumahnya bersama Dilara. Meski tidak ada cinta di hatinya untuk istri keduanya itu, tapi Dilara mampu memberinya rasa damai. Dilara melayaninya layaknya seorang suami, berbeda dengan Mega yang tidak menganggapnya sama sekali.

Dengan perasaan canggung, Dafa beringsut dan naik ke kasur. Dia mengusap pucuk kepala Dilara dan membelai rambutnya perlahan.

Bukannya mereda, tangisan Dilara malah semakin menjadi-jadi, sekujur tubuhnya berguncang menahan sesak. Bolehkah dia memeluk Dafa sekali saja? Menjadikannya tempat bersandar untuk mengurangi rasa sakitnya.

Jelas itu tidak mungkin, wanita sepertinya sudah terlanjur dianggap kotor dan egois.

"Sudah, jangan menangis lagi! Aku menyesal menuruti kemarahanku, aku janji tidak akan kasar lagi." ucap Dafa menenangkan Dilara.

"Pergilah, percuma menyesali apa yang sudah terjadi. Aku tidak selemah yang kamu pikirkan, aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan dan aku juga bisa membuang apa yang tidak aku sukai. Bersenang-senanglah dengan istri pertamamu, biarkan aku memikirkan cara untuk mengembalikanmu padanya!" isak Dilara.

Mendengar itu, dada Dafa mendadak ngilu bak teriris sembilu. Memang itu yang dia inginkan, tapi entah kenapa dia rasanya tidak rela melepaskan Dilara. Dia sendiri juga tidak tau kenapa.

"Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Pikirkan dulu baik-baik, jangan sampai kamu menyesal nantinya." ucap Dafa.

"Penyesalan terbesar dalam hidupku adalah menjadikanmu suamiku, menuruti kata hati yang akhirnya menghancurkan diriku sendiri. Persetan dengan cinta, aku akan mengubur rasa itu dalam-dalam tanpa menyisakannya sedikitpun." sahut Dilara.

Setelah tangisannya mereda, Dilara mencoba bangkit. Saat hendak turun dari tempat tidur, Dafa pun dengan sigap menarik pinggangnya. Seketika dada mereka saling menempel, deru nafas keduanya memburu menerpa wajah masing-masing.

Dilara termangu menatap wajah tampan Dafa, jantungnya berdegup kencang merasakan hangatnya hembusan nafas suaminya itu.

Sedangkan Dafa sendiri mulai kehilangan akal menilik mata sembab dan bibir basah Dilara yang begitu menggoda. Deru nafasnya kian memburu dengan irama detak jantung yang tak beraturan. Seperti ada dorongan di hatinya yang menuntunnya untuk menyentuh Dilara.

Ya, sebagai pria normal, tentu saja Dafa menginginkan Dilara untuk menyalurkan hasrat kelakiannya. Namun Dafa tidak mungkin memintanya dalam keadaan seperti ini. Dia sudah menyakiti Dilara sekali, dia tidak ingin menyakitinya lagi.

Dafa mencengkeram pelan tengkuk Dilara dengan satu tangan, sedangkan tangan lain bergerak di pipi Dilara. Dia mengelusnya pelan dan menyentuh permukaan bibir Dilara dengan ujung jarinya. Sorot matanya menyala dibakar gairah yang kian menggelora. Dilara pun memicingkan mata pertanda siap menerima suaminya.

Akan tetapi, Dafa tidak berani menyentuh Dilara. Dia lekas menyingkirkan tangannya dan lantas menjauhkan diri. Hal itu membuat Dilara membuka matanya kembali, dia tersenyum getir menelan kekecewaan yang mendalam.

Mana mungkin Dafa mau menyentuhnya, apa yang dia pikirkan sehingga tanpa malu mengharapkan belaian mesra dari suami yang tidak menginginkannya sama sekali.

Terpopuler

Comments

Koni Dwi N

Koni Dwi N

kasihan banget sih Dila, anak orang kaya menderita karena cinta

2024-10-02

1

MIKU CHANNEL

MIKU CHANNEL

Dilara2 sebenarnya apa sih yg kamu harapakn dr Dafa, laki2 yg tidak mencintaimu dan mengganggap rendah dirimu, apa hebatnya sampai2 kamu rela menjatuhkan harga dirimu hanya ingin mendapatkan cinta seorang Dafa

2023-02-06

3

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!