Sekitar pukul delapan malam, motor yang dikendarai Dilara tiba di depan kediaman Dafa. Setelah mematikan mesin, Dilara memasuki rumah tanpa mempedulikan Dafa yang tengah menunggu di teras.
Hampir satu jam Dafa duduk di luar sana menanti kepulangan Dilara, namun saat tiba di rumah, Dilara bahkan tidak menatapnya sama sekali. Dafa pun tersenyum getir melihat sikap dingin Dilara yang semakin menjadi-jadi.
Kini dia mengerti bagaimana rasanya jadi Dilara, beginilah tersiksanya saat seseorang yang ditunggu malah menganggap dirinya seperti patung.
Dafa pun mengusap wajah seiring hembusan nafas yang terdengar sangat berat.
"Dari mana saja?" tanya Dafa yang sudah tiba di kamar menyusul Dilara. Dia bertanya selembut mungkin agar tidak menimbulkan perdebatan diantara mereka.
"Jalan-jalan," jawab Dilara dingin dengan ekspresi datar seperti papan tulis.
"Jalan-jalan kemana?" tanya Dafa lagi, dia belum puas dengan jawaban Dilara barusan.
"Mencari kesenangan yang tidak bisa aku dapatkan di rumah ini." sahut Dilara santai tanpa ragu, dia berbicara tanpa melihat Dafa.
"Apa kamu senang?" Dafa bertanya lagi. Meski sebenarnya ingin marah, tapi dia mencoba meredamnya. Lebih baik belajar membenahi diri daripada menurutkan emosi.
"Sangat," jawab Dilara menyeringai, lalu mengambil bantal dan membawanya ke ruang tamu. Matanya sangat mengantuk, dia ingin tidur saja karena malas meladeni Dafa.
"Dila, tunggu!" sorak Dafa, sayang Dilara sama sekali tidak peduli.
Setelah membaringkan diri di sofa, Dilara termangu untuk beberapa saat. Entah kemana biduk rumah tangga ini akan dia bawa?
Rasanya Dilara ingin pergi saja sejauh mungkin, tapi sebelum itu dia ingin status mereka diakhiri secara jelas. Dilara tidak mau membawa beban dalam hatinya, jika dia pergi berarti dia harus moveon dari Dafa. Dia tidak ingin terikat dalam kepalsuan ini terlalu lama.
Lama bercakak dalam pemikirannya sendiri, Dilara pun akhirnya tertidur. Dafa yang baru keluar dari kamar menatapnya dengan pandangan mengabut.
Dafa tidak tau bagaimana cara meyakinkan Dilara bahwa dia benar-benar ingin memperbaiki rumah tangga mereka.
Dafa tidak ingin bercerai, dia akan berusaha mempertahankan rumah tangga mereka sekuat yang dia bisa.
Lalu Dafa menekuk kakinya di lantai dan melipat kedua tangan di sisi sofa. Dia tak hentinya menatap wajah polos Dilara yang berjarak beberapa senti saja dengan mukanya.
Seketika hatinya mencelos, dia terenyuh menatap pipi mulus Dilara yang pernah merasakan tamparan keras darinya. Suami seperti apa dia? Tega-teganya dia melukai raga wanita yang sudah berkorban banyak untuk mendapatkan cintanya.
Dafa tau tidak ada yang salah dengan cinta itu. Siapa yang tau kemana hati seseorang akan berlabuh, hanya saja Dilara datang dalam keadaan yang tidak tepat.
Andai Dilara masuk di hidupnya lebih awal, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini.
...****************...
Pagi menjelang seiring kokok ayam yang mulai berdendang di luaran sana. Dilara terbangun dan tersentak melihat wajah Dafa yang begitu dekat dengan dirinya.
Perlahan Dilara bangkit dari pembaringan, lalu mengucek mata dan bergeming mematut wajah lelap Dafa yang tidur dalam posisi duduk.
Dilara menyipitkan mata, kepalanya geleng-geleng, tak percaya Dafa akan tidur dalam keadaan seperti ini.
Tapi ya sudahlah, untuk apa dia memikirkan pria itu? Mau tidur dengan posisi menyungging sekalipun, Dilara tidak akan peduli. Persetan dengan suami kasarnya itu.
Lalu Dilara meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamar mandi, dia pun mencuci muka dan menggosok gigi terlebih dahulu. Setelah itu memasuki dapur dan menyeduh teh untuk dirinya sendiri.
Setelah tehnya jadi, Dilara duduk di meja makan menyeruput pelan teh itu sambil menikmati sepotong roti tawar yang dioles selai coklat. Mulai hari ini dia tidak akan menunjukkan kelemahannya di depan Dafa, dia pun tidak ingin ambil pusing tentang hubungan mereka.
Setelah dirasa cukup mengganjal perut, Dilara pun memilih mandi dan bersiap-siap untuk ke pabrik. Hari ini penampilannya sedikit berbeda, Dilara yang biasanya suka sekali mengenakan kaos dan jeans, kini beralih dengan mode sedikit feminim. Dia mengenakan dress selutut dengan belahan dada yang sedikit menonjol, lalu melapisinya dengan cardigan dan mengenakan sepatu pansus.
Selepas kepergian Dilara, Dafa terjaga dari tidurnya. Matanya membulat sempurna ketika tak menemukan Dilara di sofa. Dia pun bangkit terburu-buru dan memasuki kamar mencari keberadaan Dilara, sayang dia tidak bisa menemukan batang hidung istrinya.
"Dila..." sorak Dafa menyisir kamar mandi, lalu berlanjut ke dapur. Tetap saja dia tidak bisa menemukan Dilara di mana-mana.
"Apa dia sudah ke pabrik? Sepagi ini?" batin Dafa menatap jam yang menggantung di dinding, jarum jam itu baru menunjukkan pukul tujuh pagi.
Tak ingin berburuk sangka, Dafa pun dengan cepat memasuki kamar mandi. Dia membersihkan diri secepat kilat dan lekas mengenakan seragam kerja.
Tanpa mengisi perut, Dafa bergegas meninggalkan rumah dan menyalakan sepeda motor. Dia langsung tancap gas menuju pabrik yang berjarak lima belas menit saja dari rumah.
"Bagaimana? Apa kamu sudah memutuskan?" tanya seorang pria yang sudah duduk di hadapan Dilara. Tangan keduanya saling menggenggam di atas meja sebuah warung sarapan pagi.
"Entahlah," Dilara menggelengkan kepala dengan tatapan lirih. Dia belum bisa mengambil keputusan karena Dafa sendiri belum menjatuhkan talak padanya.
Ya, rencananya Dilara ingin ikut bersama Fandi ke Singapura. Sepupunya itu merupakan seorang dokter yang sudah bertugas kurang lebih dua tahun lamanya.
Lusa Fandi sudah harus tiba di Singapura, cutinya akan segera berakhir dalam waktu tiga hari. Hal itu menimbulkan kebimbangan di hati Dilara, dia ingin ikut dengan Fandi tapi hatinya masih ingin bersama Dafa.
Seberapa keras Dilara berusaha menghindari Dafa, tetap saja hatinya belum siap untuk berpisah. Kenapa dia harus terjebak dalam perasaan sedalam ini? Sulit membencinya meski perlakuan Dafa tak bisa lagi ditolerir.
"Ya sudah, tidak usah dipaksakan. Ikuti saja kata hatimu, jangan sampai menyesal setelah perpisahan itu terjadi!" ucap Fandi meyakinkan Dilara, dia kemudian mencubit pipi Dilara gemas dan mengacak rambutnya asal.
Tidak ada yang sadar ternyata pertemuan mereka itu dipergoki oleh Dafa.
Saat menuju pabrik tadi, mata Dafa tak sengaja menangkap keberadaan sepeda motor Dilara yang tengah terparkir di depan sebuah warung.
Penasaran, Dafa pun menghentikan laju motornya tidak jauh dari warung itu. Dia turun dan berjalan memasuki warung.
Meski tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi Dafa bisa melihat jelas bagaimana perlakuan pria itu pada Dilara. Menggenggam tangan, mencubit pipi dan mengacak rambut, pemandangan itu benar-benar membuat Dafa murka dengan tangan mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih. Mata Dafa memerah dibakar api kecemburuan yang menyala.
"Dasar wanita munafik! Apa begini caramu mencintaiku, hah? Berkata cinta padaku tapi bermesraan dengan pria lain."
Ingin sekali Dafa mendekati keduanya dan mengatakan itu pada Dilara, tapi ucapan itu hanya bergumam di dalam hatinya saja. Dia tidak mungkin menjatuhkan harga diri Dilara di tempat umum yang tengah dipadati pengunjung seperti ini. Dia juga tidak mungkin mempermalukan dirinya sendiri.
Akhirnya Dafa berbalik badan dan lekas meninggalkan tempat itu. Dia kembali pulang dan mengurungkan niatnya untuk datang ke pabrik. Semangat hidup Dafa hilang seiring kekecewaan yang bersarang di hatinya. Dia tidak menyangka Dilara akan bertingkah sejauh ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 54 Episodes
Comments
MIKU CHANNEL
perempuan itu hati lembut Dafa, dia bisa hilang akal kalau berhadapan dengan yg namanya cinta, segala cara akan dia lakukan untuk menarik perhatian org yg dia cintai bahkan bisa memberikan seluruh hidupnya, tapi seorang wanita juga akan menjadi lebih keras dan kasar kalau dia merasa tidak dihargai bahkan diacuhkan oleh org yang dia cintai bahkan disakiti dan apalagi diperlakukan kasar bencinya bisa sampai kedasar hati yg paling dalam dan itu yg dirasakan Dilara, dia seperti org gila kalau berhadapan dengan Kamu
2023-02-09
0