Setelah memastikan Sajani betul terlelap, Sheraz perlahan melepaskan pelukannya. Dia menyelimuti rapat tubuh calon ibu, lalu keluar kamar menuju lantai dasar.
Langkah pincang itu begitu kentara sebab dia terlalu cepat bergerak, rasa tak sabar ingin meneriakkan sesuatu pada Neera.
"Mimo, mana Neera?" tanya tuan muda kala sudah di ruang tamu.
"Aku suruh mandi juga ganti pakaian. Dia selama ini bekerja di club, Bos. Maaf aku menyembunyikan dari Anda," ucap Mimo menjelaskan perkara mengapa Neera bisa menyelinap kemari.
"Jadi?" desak Sheraz, masih merasa heran. Kediamannya hanya di ketahui oleh para petinggi.
"Dia menyelinap dengan menggunakan taksi, mengikuti aku ke sini dan begitulah...." Mimo menunduk, takut akan tatapan tajam mata majikannya.
"Lagi-lagi kamu teledor, Mimo. Kenapa juga memberi pekerjaan padanya? bukankah aku lebih dari cukup mengirimkan sejumlah uang juga kebutuhan mereka. Aku tahu, dia sakit. Pangil Neera, lekas!" perintah sang atasan.
"Maaf, Bos." Mimo pun tergopoh menuju kamar tamu, mengetuk keras beberapa kali di depan pintu.
"Neera! Neera!" seru sang asisten.
Tak lama, pintu itu terbuka. Menampilkan pemandangan yang lebih baik dari sosok wanita cantik namun tak terawat itu. "Kamu dipanggil Tuan Muda, ayo," ucap Mimo menarik lengan Neera.
"Sheraz!" panggil sang ibu tiri kala melihat menantunya.
"Tuan muda Sheraz, panggil dengan benar, dasar Neera!" sentak Mimo lagi, dia tak menghormati tuannya.
"Dia kan menantuku, wajar bila hanya panggil nama," elak ibu tiri Sajani.
"Apa maumu, Neera?" tanya Sheraz mengabaikan perdebatan kecil mereka berdua.
"Aku ibu Jani, panggil Mama ... sudah ku bilang, ingin tinggal dengan Jani di sini," ulangnya lagi.
"Ck, Ibu, Ibu macam apa? ... Aku tidak mengizinkan itu. Yang lain saja," jawab Sheraz cepat. Sungguh dia hanya ingin menjaga keselamatan istri dan calon anaknya.
"Kamu tahu kebutuhanku, jangan banyak tanya lagi. Apa susahnya untuk seorang yang punya kuasa macam Anda, Tuan muda?" cibir Neera, tak ingin banyak berkata manis didepan Sheraz.
"Heh, sopan sedikit kalau bicara. Sudah minta gratis, maksa pula. Dasar gak tahu diri," hardik Mimo, tak habis pikir akan sikap buruk mantan nyonya besar Surawijaya.
Sheraz mendengarkan permintaan Neera seksama, menimbang sikap Sajani di masa depan seandainya dia meloloskan ini. "Itu saja?"
"Iya. Satu lagi, Nalini bagaimana?" tanya Neera.
"Itu urusanmu. Bukankah Nalini anak kandungmu? atau anak siapa? aku menaruh curiga pada Surawijaya, mengapa hanya berdiam diri ketika satu persatu harta di keruk habis oleh kalian. Apa dosa yang pernah dia perbuat? tak mungkin hanya sekedar cinta, bukan?" cecar Sheraz lagi.
Glek. Neera terlihat pucat.
"Jawab!" bentak Mimo melihat Neera hanya diam membisu justru kini malah menunduk.
"Jangan kuatir, Nares tak akan pernah tahu keburukanmu yang lain. Semoga istriku bukan anak biologis yang kau tinggalkan," sindir Sheraz lagi.
Neera mendongakkan kepala menatap wajah buruk menantunya itu. "Putriku hanya Nalini. Hanya Nalini," tegas Neera lagi, mengulang kalimat.
"Alhamdulillah. Ingat baik-baik, bakti Nares untukmu. Bila perlu catat, agar kau tak lupa. Semua hutang budi di masa lalu, lunas aku bayar. Camkan itu, Neera!" tandas Sheraz seraya berlalu.
"Rico!" panggil tuan muda saat akan menuju ruang kerja.
"Mimo, bawa pergi dia. Jangan sampai Nares-ku stres memikirkan kondisi keluarga bobroknya itu," titah sang tuan muda pada Mimo.
"Ya, Bos."
"Ke ruangan ku, ada yang harus kau kerjakan," ujar pemilik lisensi distributor obat-obatan itu.
Kedua pria berada di dalam ruangan tertutup hampir menjelang sore. Banyak tugas yang diberikan untuk Rico, aspri Sheraz untuk mengerjakan sesuatu.
"Aku ke rumah sakit dulu. Kau kerjakan ini, top secret," pinta sang tuan muda, keluar dari ruang kerja lalu menuju kamar Sajani.
Pria dengan kekurangan fisik, menatap wanita ayu yang tengah terlelap. Dia tak mungkin menikahinya hanya sebab perkara pelunasan hutang.
"Aku jatuh cinta, karena itulah alasan mengapa aku menikahimu, selain pesan paman juga sesuatu yang ku temukan. Aku yakin kamu tak tahu menahu soal ini," gumam Sheraz duduk di sisi pembaringan.
"Jangan kecewa ya Nares, jangan membenci," ucapnya penuh harap.
Malam nanti, dia akan kembali menjalani terapi rehabilitasi untuk menghilangkan residu tak baik dalam darahnya. Ingin rasa mengatakan kebenaran namun Sheraz rasa ini belum saatnya.
"Semoga, anak kita sehat. Tidak terkontaminasi olehku," imbuh Sheraz.
Lama dirinya memandang wajah lembut dengan bulu mata lentik. Sangat bersyukur bertemu dengannya di saat tepat.
"Sayang. Nares, sudah menjelang Ashar. Siap-siap ke rumah sakit yuk," kata Sheraz, menepuk lengannya lembut.
Monolid-eyes itu perlahan terbuka. Sajani melihat wajah Sheraz, menyelami ke dalam manik mata sang suami.
"Jangan melihatku seperti itu. Aku-" Sheraz rikuh. Tidak percaya diri sebab sebagian wajahnya rusak.
"Lalu aku harus begini?" Sajani menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Keduanya pun tertawa. "Ya gak gitu juga?" balas Sheraz.
Sajani memiringkan tubuhnya, masih menatap sang suami yang kian rikuh. Sheraz ingin menghindar tapi Jani menahan Lengannya.
"Nares."
"Jangan malu padaku, Mas."
"Tidak, hanya sesekali saja jika kau melihatku seperti ini. Hmm, ayo bersiap," ujarnya melepas cekalan Jani dan melangkah keluar kamar.
"Bu, bantu Nares ya. Kita akan pergi," pinta Sheraz saat melihat pengasuh itu berjalan ke arahnya.
"Iya, Papa Sheraz. Ini mau bantu siapin Mama muda," goda Tini, sumringah.
"Papa ya, Bu." Sheraz berhenti, melukis senyum di wajahnya untuk sang Bibi.
"Iya donk, kan calon Papa. Semangat sehat ya, Den," timpal Tini, meneruskan langkah masuk ke dalam kamar Jani.
Satu jam kemudian.
Pasangan Qadri, tengah berada di ruangan dokter obgyn. Sorot mata Sheraz kian berbinar kala dokter mengatakan dugaan rekan sejawatnya terbukti.
"Nyonya, mengandung menjelang tiga minggu. Masih sangat riskan, tolong di jaga dengan baik dan ikuti anjuran saya. Jika ada keluhan berlebih, sampaikan," pesan dokter Irawati pada Sheraz.
Lelaki itu mengangguk semangat, dia antusias menanyakan segala sesuatu untuk menunjang perkembangan janin juga asupan ibu hamil. Awalnya Sajani enggan menerima berita kehamilan ini, tetapi melihat respon Sheraz nan begitu bahagia, dia ikut merasakan hal yang sama.
Saat perjalanan pulang ke Mansion.
"Nares, are you happy?" bisik Sheraz tak ingin didengar oleh Rico yang mengantar keduanya.
"Hmm." Sajani hanya menjawab dengan gumaman, menoleh sekilas ke arah suaminya.
Sheraz tengah bahagia, dia mengabaikan sikap setengah hati Sajani. "Ngidam nempel Papa ya, Sayang," kata Sheraz gemas, mengusap lembut perut rata istrinya.
Rico yang baru pertama kali melihat tuannya berlaku konyol hanya menggelengkan kepala. Sementara Jani, memutar bola mata jengah. Dia pun mulai tak mengerti, seakan tubuh mengingkari isi hati dan otaknya.
"Apakah ini yang namanya syndrome ibu hamil? aku masih gak percaya, hamil karena dia? dia? dia?"
"Apapun itu, aku harus menjaganya. Amanah, oke Nak, bantu Ibu khatam tiga kali dalam sebulan ya." batin Sajani.
.
.
...___________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Arra
iya si jani gausah mikirin bu tiri lagi kenapa si 🙄
2023-07-12
1
Arra
Hadehhh enak banget kau ya mau tinggal disitu buuuuuu
2023-07-12
1
Ersa
kayak lagu aja ya Jan.....🎶 hanya dia....dia...dia...😁
2023-05-13
1