"Lihat aku, Sajani," lirih Sheraz seraya menghapus bulir bening dari mata cantik itu dengan ibu jarinya.
Ruangan yang gelap gulita, hanya mengandalkan semburat cahaya dari celah gorden transparan membuat pahatan wajah sang pria, kian jelas. Sajani lalu memberanikan diri menatap gurat wajah sisi tanpa parut mengerikan itu.
"Apa aku sangat menakutkan bagimu?"
Nareswari Sajani tak menjawab, otaknya sibuk memilah mana pertanyaan yang membutuhkan jawaban diikuti keinginan melawan gempuran rang-sangan yang membuatnya merasakan sesuatu nan melenakan dari bawah sana.
Entah apa yang mendorong Sheraz tak memedulikan pekikan sang wanita. Dia tuntas melaksanakan hajatnya, meninggalkan jejak kepemilikan nan hangat didalam tubuh istri cantik itu.
Tubuh putri tiri Neera tak mendapat asupan nutrisi baik dua hari ini membuat Sajani kian lemas. Dia kesulitan beringsut melepaskan diri kala dekapan sang pria menguasai tubuh dibalik selimut tebal.
Tak lama, dengkur halus terdengar dari balik punggung nan terbuka. Hembusan nafas teratur membuat Sajani diambang gamang, antara melepaskan cekalan paksa atau diam di sana menerima nasib.
Tubuh lelah bercampur keringat serta wangi khas Sheraz menemani tidur sang Nyonya Qadri malam itu.
Keesokan pagi.
Tini yang biasa membangunkan Sheraz untuk bersiap berolah raga sebelum kerja, kali ini merasa terheran sebab kamarnya tidak dikunci. Wanita senja itu pun membuka handle perlahan dan menerobos masuk.
Betapa terkejutnya dia kala sang majikan masih bergelung dalam selimut dengan bagian punggung terbuka, nampak tengah memeluk sesuatu.
Tini melihat pakaian berserakan di lantai, termasuk hijab panjang yang dia kenali bagai milik Nyonya mudanya. Bibir keriput itu tersenyum manis, dia lalu memunguti semuanya dan berlalu keluar kamar.
Tak lama, sang pengasuh kembali masuk. Meletakan satu setel pakaian ganti juga bathrobe untuk sang Nyonya di sisi ranjang. Dia tak melihat Sheraz di sana. Kala ia hendak berbalik untuk menyiapkan pakaian bagi tuan muda, dirinya kembali terkejut.
"Bu." Sheraz memanggil dari balik punggung Tini dan telah berganti pakaian.
"Astaghfirullah, Den, ngagetin ih. Sukses?" goda sang pengasuh.
Lelaki itu tersenyum. "Hmm, gak sengaja dan keterusan," kekehnya, "Jangan ganggu dia seharian ini, biarkan Jani sesukanya. Aku sudah sangat kesiangan," ucapnya sambil berlalu keluar kamar meninggalkan Sajani.
Tini mengikuti langkah di belakang sang tuan muda, namun dia lantas berbalik arah dan masuk ke kamarnya kembali.
Pria muda itu mendekati ranjang king size mewah miliknya, membungkukkan badan dan membubuhkan kecupan kecil di dahi Sajani. "Aku kerja dulu, ya. Baik-baik di rumah."
Sheraz Qadri menghela nafas, memandang wajah ayu yang sebagian tertutup rambut, masih terlelap dalam damai. "Lihat aku ya, Jani. Tanpa belas kasihan," lirihnya sambil lalu.
...***...
Mimo telah jenuh menunggu hampir satu jam lamanya. Ini diluar kebiasaan Sheraz Qadri yang tidak tepat waktu.
"Bos," sapa sang manager seraya berdiri.
"Kita kemana hari ini?" ujar Sheraz merapikan jasnya juga membawa baju ganti yang disiapkan Tini.
"Luar kota, Bos. Ada wilayah yang butuh di legalkan," ujar Mimo menjelaskan jadwal Sheraz dua hari kedepan.
"Den, dimakan ya dan jangan lupa ganti baju sebelum pulang. Non Jani, gak boleh mencium bau aneh dari tubuh suaminya. Dia bukan seperti wanita di luaran sana. Inget pesen Ibu ya," pinta Tini sembari mengusap lengan sang anak asuh.
"Hem, iya Bu. Titip dia ya, aku pergi," ujar sang tuan muda berlalu dari hadapan Tini.
Rombongan itu tak lama meninggalkan pelataran Mansion, lebih tepatnya rumah bergaya Eropa Renaissance.
Satu jam setelah kepergian sang pemilik Mansion, Sajani menggeliat diatas pembaringan.
Dalam samar, dirinya merasa sangat nyaman berada di atas tilam. Kenyamanan dan kehangatan yang telah lama dia rindukan membuatnya seakan bernostalgia. Perlahan kesadaran itu muncul kala dia merasakan nyeri saat berbalik badan.
"Engh, Ibu. Sakit," gumam Sajani bermimpi mengeluh pada Bundanya.
Satu detik. Dua detik.
Monolid-eye membola, tangannya meraba bagian atas wajah dan rambut, lalu dia melihat sekeliling hingga pandangannya berlabuh pada selimut yang menutupi tubuh.
"Aaaaaahhhh!" pekik Sajani, mendapati dirinya tanpa sehelai benang pun dibalik selimut.
Kilasan ingatan semalam pun kembali hadir di pelupuk mata, tangisan lirih mengemuka, namun tak jua mengundang seseorang masuk untuk bertanya padanya. Putri tiri Neera, lalu melihat tumpukan pakaian di ujung ranjang, dia beringsut meraihnya.
Susah payah gadis itu bangkit, tergopoh berjalan merasakan pedih dan sakit disekujur tubuh saat keluar dari ruang megah Sheraz. Tini melihat sang Nona muda yang tertatih membiarkan beliau menuju kamarnya.
Sajani menghabiskan waktu hampir satu jam, dibawah kucuran air. Kini, dirinya telah benar-benar menjadi milik pria itu. "Aku gak bisa lagi pergi, gimana ini," isaknya bercampur derasnya guyuran air dari shower head yang menimpa diri.
"Kalau aku hamil gimana? dia juga pecandu bukan? masa anakku punya ayah begitu?" lagi, racau Sajani.
Kegelisahan gadis itu yang mengoceh berteriak random dari kamar mandi, terdengar oleh Tini dan membuat wanita itu tersenyum geli.
"Den Sheraz, lagi ngajuin terapi, Non. Dia memang make, tapi bukan yang abal-abal sisa redusi. Bisnis satu itu, untuk suplai kebutuhan banyak rumah sakit ternama di seluruh indo. Den Sheraz, mampu menekan harga dibawah pasar, makanya dia jadi pemasok utama. Jangan kuatir, yang Nona makan dan kami makan, berasal dari jalan baik. Tapi entah jika menurut pendapat Non Jani, kata Den Sheraz, Anda paham ilmu," ucap Tini, seraya merapikan ranjang, menyiapkan makanan juga perlengkapan lainnya agar saat sang Nona telah selesai mandi, semua telah siap.
"Non. Kata Den Sheraz, Nona boleh keluar kamar jika jenuh dan bebas melakukan apa saja selama dua hari sebab beliau ke luar kota." Tini meninggalkan pesan di atas meja sofa, disamping deretan makanan untuk Sajani.
Selang beberapa menit.
Setelah puas meluapkan kemarahan dalam bathroom, Sajani keluar dari sana. Tak ia pungkiri, perutnya sangat lapar hingga tubuh menggigil membuat kian parah rasa perih yang mendera.
Netra cantik dengan rambut basah dibalut lilitan handuk itu menghampiri meja sofa perlahan, duduk disana seraya tangannya terulur mengangkat cawan teh hangat.
"Hangatnya. Eh, apa ini?" dia membaca pesan yang di tinggalkan Tini.
"Benarkah? aku ingin membuat sesuatu, kangen bau mentega dan wangi keju panggang, apakah boleh?" Sajani memejam, membayangkan semua yang dia sebutkan tadi. Senyumnya merekah, dia rindu dapur, membuat dan mencium aroma pastry seperti keahliannya sebelum menginjakkan kaki di rumah ini.
Setelah sebagaian makanan berpindah tempat, dia jauh merasa lebih baik. Tubuh ramping itu memilih menuju ranjang, memakai mukena untuk sunnah duha. Selepas salam, dia merebahkan sisa lelah, bersandar di kaki tempat tidur serta berharap nyeri perlahan sirna. Tak lama, Sajani kembali menutup mata.
"Lihat aku, Sajani."
.
.
...______________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
@Ani Nur Meilan
Bukan kasihan.. Tapi Takut...
2023-02-13
1
@Ani Nur Meilan
Udah kecanduan ya.. 🤣🤣😂😂😂
2023-02-13
1
@Ani Nur Meilan
Bilang IYA.. Dan minta Dia Oplas mau ngga 🤗🤗🤗🤗🤗
2023-02-13
1