"Dia apa?" sentak Mimo lagi agar Neera segera melakukan tugasnya.
Sementara Mimo memendar pandangan ke seluruh penjuru ruang megah, netra tuanya telah terbiasa memburu dalam temaram hingga penglihatan pun terkunci pada Nalini yang tengah di goda seseorang.
Mimo memberikan smirk mengejek atas sikap gadis itu. Sangat berbeda dengan Sajani, pantas tuan muda sama sekali tak bergeming ketika disuguhkan putri kandung Neera.
Awalnya Sheraz menolak ketika diberikan tebusan seorang gadis. Namun kala Neera mengatakan bahwa sang anak tiri masih bersegel serta mengenakan hijab, pendapat itu pun berubah.
"Meskipun aku urakan tapi tetap saja menginginkan seorang istri dari kalangan baik. Karena dia akan menjadi ibu untuk anak-anak kelak, maka rahimnya harus terjaga." Mimo masih ingat jelas pernyataan Sheraz kala beliau menyatakan mengapa tidak pernah menyentuh para wanita yang bekerja di tempatnya.
Saat itu Sheraz tak banyak bicara. Dia hanya mengatakan, "Kau urus semua assetku, aku hanya ingin tahu laporan harian saja," ujar sang tuan muda.
Maka disinilah Mimo berada setiap malam. Club yang penuh dan ramai akan dia sambangi satu persatu guna memantau keamanan sekaligus mengemban mandat sang pimpinan.
Malam kian larut, Neera terlihat kelelahan sementara sang putri asik hura-hura dikerubuti lelaki bak lalat. Serangan itu pun mulai datang, ibu tiri Sajani tergesa mencari Mimo.
Wanita gempal itu ditemukan Neera tengah berada di balik meja dekat bar. Dia tergopoh menghampiri sang manager.
"Mimo, beri aku itu sebagai bayaran hari ini. Tubuhku mulai kaku beberapa hari tak mencicipinya," pinta Neera dengan bibir sedikit bergetar.
"Baru juga kerja," acuh sang manager.
"Tolonglah, kan anakku juga kerja itu, membuat mereka banyak mengeluarkan uang membeli minum dan booking private," ujar Neera lagi, menunjuk dimana posisi sang anak berada.
"Itu tidak termasuk, Nalini kan menolak bekerja denganku. Sudah bagus dia tak ku usir dari sini bukan? mengacau saja," sergah sang penguasa.
"Jangan gitu, Mimo. Uangku sudah banyak membuat majikanmu itu kaya, lagipula aku ini mertuanya, masa Sheraz tega? mana Jani, aku ingin ketemu," Neera justru membual.
"Kau, ngaku ibunya Jani? cuh, mana ada Ibu menjual anaknya? parah, pergi sana," kesal sang manager seraya melempar sesuatu ke udara.
"Kalau Sajani tahu Ibunya mengemis, mungkin dia akan bahagia," tawa Mimo menggema di antara musik berdentum yang memekakkan telinga.
Sementara sang mantan istri Surawijaya, terlihat berbinar kala mendapatkan bayaran yang dia mau. Bubuk haram telah menggantikan nikmatnya menyantap nasi dengan jargon empat sehat lima sempurna. Lain hal bagi Neera, benda ditangannya itu adalah surga.
...***...
Tengah malam, Mansion Qadri.
Nareswari Sajani merasa sangat haus. Air dalam pitcher telah habis dia teguk hingga bajunya ikut basah. Merasa masih sangat dahaga, gadis itu terpaksa menurunkan kakinya menjangkau meja makanan yang di sediakan Tini pada sudut ruang.
"Malah hanya ada jus dingin. Perutku bisa sakit, aku butuh air putih hangat, dimana letak dapur?" gumam sang gadis.
Langkah kaki jenjang dibalut alas kaki sandal bulu berwarna coklat, Sajani perlahan membuka kamarnya.
Entah mungkin Tini lupa mengunci pintu atau para maid yang kelelahan berdiri didepan kamar Sajani seperti biasanya. Malam ini semua nampak lengang. Langkah kaki pun berlanjut menuruni banyak anak tangga menuju lantai dasar, dia kesulitan mencari letak dapur hingga salah satu maid menegurnya.
"Nona, cari apa? nanti Tuan marah. Malam ini kami diberikan istirahat sebab Nona juga sedang bersedih bukan? maka di atas sana tiada yang berjaga," ujar sang maid.
"Kalau aku kabur lagi gimana?"
"Jika Nona ingin kami hanya tinggal nama, maka lakukan. Area lantai dua hanya di huni oleh Tini, Anda juga Tuan Muda," sahut gadis dengan rambut dikuncir dua.
Glek. Sajani menelan ludah.
"Malam ini tugasku berjaga, Nona butuh apa? biar aku ambilkan?" imbuhnya lagi.
"Hanya air hangat ... hmm, benarkah dia akan membunuh kalian jika aku pergi?" tanya Jani ragu.
"Benar. Rico yang mengatakan semua aturan baru setelah tragedi itu. Silakan Nona naik, aku akan membawakan kebutuhan Anda ke kamar," pinta sang maid.
"Gak usah, biar aku saja. Hanya butuh satu atau dua teguk, aku sudah terlalu banyak minum," kata Jani seraya duduk di kursi pantry sementara sang maid masih setia berdiri.
"Aku gak akan kabur Mbak, mungkin akan mulai menerima nasib hidup di sini. Sepertinya tidak buruk bukan? bagai kisah dongeng anak yang terkenal. Beauty and the beast, not bad lah," seloroh Sajani seraya menyesap perlahan air hangat dalam tumbler.
"Dah ya Mbak, aku naik lagi. Selamat istirahat," ucap Sajani meninggalkan maid Sheraz yang diam mematung seribu bahasa.
Nareswari Sajani kembali menuju kamarnya, perlahan menapaki undakan anak tangga satu persatu hingga ketika saat akan mencapai pijakan akhir, dia mendengar sebuah suara yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Hah, siapa? dimana?" kepalanya sontak celingukan ke sana sini, seraya merapatkan outernya.
Hening.
Sunyi kembali.
Baru saja kaki melanjutkan langkah, kembali terdengar suara seperti tadi namun kali ini lebih tegas.
"Dari sini? kamar siapa? dia?" kata Sajani, seraya menempelkan salah satu cuping telinga pada daun pintu.
Erangan itu kian kuat. Kesakitan, pilu juga merana. Sajani penasaran, dia membuka handle pintu megah berwarna keemasan perlahan.
"Gelap sekali. Aku gak bisa lihat," lirih Sajani berjalan mengendap berusaha mencari saklar lampu.
"Siapa?" suara berat nan serak itu mengagetkan gadis ayu hingga menyenggol sesuatu dan benda itu pecah di sana.
Sajani ketakutan, dia bergegas menghindar mencari pintu keluar, namun cekalan kuat di lengannya membuat badan ringkih itu jatuh dalam pelukan seseorang.
Grep. Sheraz mendekap Sajani dari belakang.
"Merindukanku, Sayang?" bisik Sheraz mesra di telinga sang istri
"Hmm le-lepas, aku kira Anda sakit. A-aku tadi haus dan ambil minum ke bawah, lalu gak sengaja dengar rintihan," ujarnya membela diri.
"Alasan, bilang jika kau ingin berbakti padaku, ayo," kekeh Sheraz seraya menghirup wangi, dalam ceruk leher Sajani.
Hembusan hangat nafas Sheraz seketika membuat bulu halus meremang, Sajani membeku. Otaknya mengimpuls melawan namun respon tubuh sebaliknya.
Lelaki itu membimbing pelan sang gadis menuju sebuah tempat ternyaman bagi mereka menghabiskan malam ini. Dalam gelap, Sajani berontak, dia masih sangat enggan. Namun kilatan mata Sheraz membuat putri Surawijaya itu menyadari sesuatu.
"Aku istrinya."
Meski terisak antara ikhlas dan sebaliknya, Sajani lagi-lagi terpaksa melakukan apa yang menjadi kewajibannya.
"Maafkan aku ya Allah."
Rintih pilu dalam hati Sajani menyertai aktivitas ibadah halal yang Sheraz inginkan. Meski memulai perlahan namun tetap saja, lawan sang pria diliputi keengganan terlebih saat Sheraz mengatakan, "Lihat aku."
Dalam cahaya temaram bulan yang masuk lewat celah vitrase, Sajani melihat sisi wajah sang suami yang sesungguhnya.
.
.
...___________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
@Ani Nur Meilan
Jangan bikin takut Jani terus dong Than Sheraz...
2023-02-13
1
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
Akhirnya bneran kan ini Mom bukan cumn mimpi Sheraz aj,,, 🤭😅
Ditunggu Double up nya Mom, 🤭🥰✌
2023-02-12
1
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
nah bner tuan Sheraz nih, 🤭
2023-02-12
1