"Makasih, Sayang." Sheraz menyibak selimut lalu menuju bathroom, meninggalkan istrinya di sana.
Sementara Jani, dia menarik selimut hingga menutupi semua bagian tubuhnya. Malu, itu yang dia rasakan meski Sheraz sangat bersikap lembut padanya selama aktivitas halal mereka.
Tak berapa lama.
"Aku pergi sebentar dengan Rico. Makan malam di rumah, kamu yang siapkan ya," bisik Sheraz mendekati sisi ranjang, mengusap kepala Sajani dan mengecup beberapa kali meski pemilik raga masih setia menutup diri rapat dengan selimut.
Terdengar langkah kaki menjauh juga suara khas lelaki itu kala berbicara dengan Tini agar tak mengganggunya di kamar.
"Nares masih tidur, jangan ganggu dia ya, Bu. Aku makan malam di bawah dengannya nanti," titah Sheraz, jelas didengar Jani.
"Oke. Sudah baikan, Den?" goda Tini seraya menutup kembali pintu kamar Jani.
"Sudah, berkat Nares. Aku pergi, Bu," balasnya seraya menyunggingkan senyuman penuh arti.
Setelah yakin pria itu pergi, Sajani membuka tabir lalu perlahan turun dari ranjang menuju bathroom. Lama dirinya menekuri nasib di bawah guyuran shower. Selintas air matanya ikut luruh. "Beginikah jalan hidupku?"
"Ingin keluar rumah melihat Mama dan Nalini, bagaimana kabar mereka? apa Mama mendapatkan pengobatan yang tepat untuk sakitnya itu?" gumam Sajani, teringat Neera.
"Aku bodoh? tapi wasiat ayah terngiang begitu jelas. Ingin membenci mereka sebagaimana perlakuan terhadapku. Namun, keadaanku baik saja," imbuhnya. Dia mematut diri di depan cermin, melihat pantulan tubuh polosnya di sana.
"Jejak lagi. Semakin sulit lepas dari nya." Netra cantik Jani memejam, sepenggal rasa hati gamang memilih menerima dan ikhlas atau apatis, membekukan hati dan sekedar menjalankan kewajiban seperti para istri lainnya.
Merasa hati gundah, Sajani keluar kamar setelah berjibaku dengan bisikan nurani. Dia menyusuri tangga lalu menuju teras samping.
"Taman bunga mawar, dia tahu aku suka ini." Jani melepas kaus kakinya, menjejakkan telapak tanpa alas menapaki butiran kerikil juga tanah basah. "Adem," senyumnya muncul. Lama dia berdiam di sana hingga menjelang maghrib, menikmati sajian hamparan bunga rose seraya berayun di kursi malas.
"Dia tahu cara membujukku," batin Jani, tak surut senyum menghiasi wajah.
Tepat setelah isya.
Sesuai keinginan Sheraz, Jani menyiapkan makan malam baginya. Dia lalu meninggalkan hidangan yang telah tertata rapi di atas meja, menunggu di dalam kamarnya. "Lama sekali, aku lapar."
Hingga hampir jam sembilan malam, tak jua kunjung hadir lelaki itu di dalam rumah. Sajani kian kesal. Dirinya menahan lapar demi Sheraz yang meminta makan malam dengannya tetapi semua cuma palsu.
"Aku makan sendiri saja lah." Jani melangkah keluar kamar. Namun dia dikejutkan oleh seseorang yang berdiri di depan pintu.
"Nungguin aku ya?" goda Sheraz melihat wajah istrinya terkejut.
"Si-siapa juga," elak Sajani, meninggalkan lelaki yang masih berdiri di sana.
Tak dia pedulikan kala Sheraz masuk ke kamarnya, Jani melanjutkan tujuannya menuju meja makan. Namun, dia melihat tiada satupun tersisa di sana.
"Ayo, kita keluar. Kamu belum makan bukan?" ujar Sheraz, menyampaikan jaket di bahu Sajani lalu meraih telapak tangan dan menariknya lembut.
"Ta-tadi, kan banyak. A-aku," ucap Jani terbata, bingung siapa yang menghabiskan semua itu.
"Aku makan tanpa nasi, jadi hanya lauk dan semuanya ku habiskan, nih," jawab Sheraz, menarik kemari Jani menyentuh perutnya yang kekenyangan.
"Se-semua?"
"Iya. Gimana ya, enak sih. Lagian kamu pasti bikin semua itu dengan cinta, ya kan?" goda Sheraz kala mereka telah di depan mobil. Rico hendak membukakan pintu bagi sang Nyonya tetapi di cegah Sheraz.
"Hah?"
"Biar aku. Gak perlu kawalan jarak dekat, aku dan Jani hanya akan keluar sebentar," pinta tuan muda pada Rico, seraya memegangi bagian atas kap agar kepala Jani tak terbentur.
"Baik, Tuan. Selamat malam, Nyonya," balas Rico, seraya membungkuk memberi salam pada Jani.
"Kamu mau kemana?" tanya putra Sein Qadri saat Honda Civic merah keluar kediaman.
"Hm, gak tahu. Mana saja," kata Jani melayangkan pandang ke jalanan yang masih ramai.
Saat menunggu rambu lalu lintas kembali hijau.
"Boleh ke sana?" tunjuk Jani pada alun-alun kota.
"Air mancur? ke sisi utaranya saja ya, pusat kuliner," saran Sheraz, tak lama mobil kembali bergerak dan memutar arah.
Jani keluar lebih dulu tepat saat mobil telah terparkir. Dia menyusuri banyak tenda yang menjajakan makanan.
"Ayo, aku tahu tempat enak dan suasana nyaman," ujar sang pria, menuntun langkah menuju satu tenda besar berwarna hijau.
"Den, seperti biasa?" tanya pemilik warung.
"Hem, aku enggak. Menu untuk istriku, tolong Mang," pintanya kemudian sambil lalu keluar tenda menuju halaman belakang.
"Eh, ini istrinya? oh, siap siap, bentar, Den. Silakan tunggu dulu," balas sang penjaja makanan.
"Nah, ini tempatku, lebih private," bisik Sheraz, menggeser posisinya ke belakang tubuh Jani.
"Air mancur nya lebih jelas terlihat di sini ya, dibanding tempat lain," kata Jani, takjub atas pilihan tempat sang suami.
"Suka?"
"Hmm, suka."
"Semoga kalau ke sini lagi sudah bertiga, ada dia di sini," bisik Sheraz memeluk Jani, menelusupkan telapak tangannya ke balik jaket, mengusap perut rata sang istri.
Blush. Wajah putri tiri Neera merona.
"Den, silakan."
Sheraz masih di posisinya. "Kamu pilih menu, atau jika tak cocok, kita pindah tempat," bisiknya mengecup pipi Jani yang mematung.
Lelaki itu lalu melepaskan dekapan, berlalu masuk ke dalam tenda sementara Jani memilih menu.
Tak lama, sang suami buruk rupa kembali datang dengan membawa seniman jalanan.
"Mas!"
"Mainkan sesuatu yang manis, untuk istriku," pinta Sheraz pada violist yang dia bawa. Jani menundukkan kepala saat alunan instrumen mulai menguar. Lagu ini, dia tahu. "Apakah itu isi hatimu, Sheraz Qadri?" batin Jani.
"Tujh mein rab dikhta hai."
Lelaki itu duduk menggeser posisinya lebih menjorok di bandingkan Jani. Mengusap kepalanya sayang, dari belakang. Meski dia sangat minder berada di keramaian namun demi Sajani agar tak bosan, Sheraz menepis rasa malunya.
"Syukron, Mas," lirih Jani seiring makanan datang ke meja mereka.
"Afwan, Sayang."
Malam berangsur-angsur sepi, keduanya masih setia menyusuri deretan pedagang di sana.
"Boleh beli itu?"
"Ikan?" tanya Sheraz memastikan.
"Bukan, cicak," cebik Jani kesal, sudah tahu wujud hewan yang di tunjuk adalah ikan tapi malah balik bertanya.
Sheraz tertawa renyah. "Semua, Pak. Berapa? tolong kemas yang baik juga sekalian makanannya," pinta Sheraz mengeluarkan dompet lalu membayar semua ikan dalam akuarium mini penjual.
"Kok semua?" heran Jani, dia hanya suka jenis ikan Sumatra yang giras dan lincah.
"Biar istriku ada teman. Maklum saja, dia masih nyaman berteman dengan mahluk hidup yang tak banyak bicara," kekeh Sheraz, menyindir sikap malu Sajani.
Sorot mata putri Surawaijaya berbinar kala apa yang dia mau, diloloskan Sheraz tanpa berdebat. Namun, Jani sungguh tak menduga bahwa lelaki itu meminta imbalan padanya lebih banyak malam ini.
Beberapa saat kemudian.
"Mas, kok di sini?" Jani terkejut kala Sheraz masuk ke kamarnya. Dia sudah menarik selimut.
"Kenapa? ini rumahku, bebas donk mau tidur dimana saja," kata Sheraz acuh, dia lalu bersiap naik ke ranjang.
Sajani mengerjapkan kedua mata bulatnya. "Mak-sudnya, semua yang tadi itu imbalan?"
Sheraz hanya tersenyum, menempelkan diri pada Jani. "Mau tidur atau terjaga bareng?" bisiknya.
"A-ku tidur." Sajani membelakangi Sheraz.
Tawa renyah itu kembali terdengar. "Selamat malam, Nares Sayang."
Sheraz baru menyadari segala obat untuk dirinya, tak lain adalah menempel ketat pada Sajani apabila malam tiba. Mimpi buruk itu perlahan menjauh.
.
.
...________________...
...Awas ya, awas pokoknya. ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Ersa
terapi malamnyaa Jani aja ya Raz
2023-05-13
1
🍊🍾⃝ᴄʜͩᴀᷞɪͧʀᷠᴀͣ ғᴀᴊɪʀᴀ🅠🅛
wowwww makin uwuuu ajja tuhh pengantin 🤣🤣🤣
wahhh mommy kasih peringatan nihh ada apa yaaaa🤔🤔🤔🤔
2023-02-24
1
AlAzRa
awas ada tikungan, trus emak2 berdaster sign kiri tapi belok kanan juga 😂😂😂
2023-02-23
1