Semenjak masih berada di dalam kamar, Sheraz terus memantau pergerakan istri kecil yang dia tinggalkan. Bagaimana cara makan, sholat bahkan tertidur saat dalam posisi duduk, pemuda itu sangat mengamati setiap gesturnya.
Ingatan panas semalam kembali melintas di pelupuk mata saat sang istri melepas mukena hingga rambut hitam legam nan panjang itu terlihat. Sheraz tersenyum manis, lengkung garis itu tak pernah surut dari wajah pemilik puluhan club.
Baru kali ini dia melihat dengan jelas rupa ayu istri moleknya dalam terang. Selama ini Sajani tidak pernah melepaskan hijab bahkan tungkai kaki pun tidak nampak sebab gadis itu selalu menutup aurat rapat bahkan ketika tidur.
"Bos, aku panggil begini ya, kan gak ada Nyonya," usik Mimo melihat Sheraz hanya diam.
Wanita bertubuh gempal itu tak tahu jika sang majikan pria tengah melihat semua apa yang Sajani lakukan dari tampilan tab nan terhubung ke semua CCTV dalam rumah mewah itu.
"Bos," tegur Mimo lagi, mengulang sapaannya.
"Hmm, terserah kamu saja," ujar Sheraz tak melihat pada Mimo.
"Cantik banget ya kalau gak pake hijab, rambutnya itu," lirih sang pimpinan, dia memejamkan mata, mengingat wangi khas bagai mawar di rambut Jani. Sheraz terpesona dengan mahkota hitam legam milik istrinya.
Dia lalu menuliskan satu paragraf pada note handphone, agar dirinya ingat untuk membuat sesuatu agar Sajani betah hidup bersamanya.
"Bos, laporan kunjungan," serah Mimo untuk sang pimpinan namun diabaikan Sheraz.
"Hmm."
Sheraz kian menikmati tampilan di layar tab kala dokter memeriksa sang istri, memberikan suplemen liquid agar tubuh kurus itu sedikit berisi. "Kamu harus cukup kuat saat mengandung anakku, Jani."
"Hah, apa? anak? dengan Jani?" tanya Mimo saat mendengar Sheraz menyebut kata keturunan.
"Iyalah, masa sama kamu? indah Jani kemana-mana," sindir Sheraz tak suka bila Mimo menginterupsi ucapannya.
Glek. "Ya maaf, maksudnya dalam waktu dekat?" ralat Mimo lagi.
"Ck, bisa diam gak?" kesal sang pria lagi. Asisten kepercayaan untuk urusan club pun bungkam, tak lagi banyak bicara.
Semuanya tak luput dari perhatian sang CEO hingga secuil perilaku pun tiada terlewat. "Hm, hobinya memang di dapur ya. Skillnya juga mumpuni, pantas di daulat jadi asisten pastry cook meski baru lulus sekolah. Jani, mau lanjut kuliah? biar gak bosan di rumah dan makin banyak keahlian yang kamu miliki," gumam Sheraz, namun untuk opsi ini dia akan menimbang lebih lanjut. Inginnya memberikan semua yang terbaik jika saja Sajani melunak.
Pewaris Klan Qadri masih menaruh perhatian padanya hingga insiden kecil itu terjadi. "Susah banget nurutnya ya, ada aja yang bikin aku kesal," ucap Sheraz saat melihat Jani keluar dapur membawa tray berisi roti yang baru saja dia buat.
Tab yang dipegang pun melayang hampir mengenai kepala Mimo. "Bos! kepalaku," protes Mimo lagi.
Prak.
"Salahmu, kenapa duduk di situ," sungut Sheraz melampiaskan kekesalan pada Mimo.
"Daritadi aku duduk disini lah, Bos. Kalau duduk disamping Anda kan gak mungkin, takut nanti di sangka istri," kekeh Mimo mencoba mencairkan suasana.
Namun pilihan kalimat yang dia luncurkan sepertinya salah susun. Sheraz kian menatap tajam padanya. Dengan wajah menakutkan itu, Mimo menciut, tubuh gempal itu beringsut ke sisi jendela hingga menciptakan jarak jauh terbentang dalam kabin mobil yang mereka kendarai.
Setelah aksi memaksa Sajani, Sheraz diam. Mulai sibuk mengamati hasil kerja bawahannya. Bahkan menilik pasokan untuk banyak rumah sakit yang dikelola sang pimpinan.
"Stocknya ditambah, lalu untuk packaging diperbaiki sebab banyak ampuls yang pecah. Segel legalitas juga jangan lupa di perpanjang. Satu lagi, draft kerjasama pengajuan rumah sakit yang baru. Aku mau lihat apakah sudah selesai semuanya dan harus ada di mejaku lusa nanti," titah Sheraz Qadri untuk Rico.
"Baik, Bos." Asisten satu ini memang tak banyak bicara, kecuali tentang Sajani. Dirinya lah yang berkomentar agar melonggarkan tata aturan bagi sang gadis apabila Sheraz ada di rumah.
Untuk alasan itu, Rico merasa sangat malu saat Nona muda justru kabur menyelinap dalam mobil servis pendingin udara beberapa waktu lalu.
Dua jam berlalu.
Saat Sheraz datang ke lokasi sengketa, tak dia sangka menemui Jabir di sana. Musuh bebuyutan semenjak ayahnya masih hidup. Sahabat yang menikung dari belakang.
"Om."
"Raz, jadi ini kelakuan kamu?" tuduh sang rentenir.
"Om sudah dapat banyak dari Papa lah, ngapain sih masih rebutan gini. Semua bisnis Papa itukan Om yang dulu mengelola, sudahlah," sindir Sheraz telak.
"Dulu ya dulu, Raz. Kamu kan sekarang sudah bangkit lagi. Kekayaanmu gak akan habis tiga turunan pula, belum Mansion. Kalau mau bisnis, pilih salah satu saja lah. Jangan maruk!" tegas Jabir, kumis tebal nya bergerak naik turun persis tuan Takur.
"Mimo."
Sheraz tak ingin banyak berkomentar. Club diluar kota memang bukan atas namanya, milik sang sahabat Alfred Riedl, dia menitipkan asset padanya untuk di kelola. Alfred tengah kesulitan sebab ada salah satu kasus yang tengah dia tangani dan itu menyerempet hingga dasar hal yang bersifat pribadi.
"Jabir, club ini dibawah naungan Raz Corp lah, jangan usik. Carilah jerat mangsa lain," ujar Mimo lagi.
"Alfred kan punya hutang padaku. Aku meminta pembayaran ditukar dengan saham. Masa gak bisa," tegasnya masih bersikukuh.
"Hutang Alfred lunas. Saham pun utuh, kamu jangan ngaco!" sergah Mimo tak ingin kalah.
"Raz!"
Jabir meminta langsung pada rival bisnisnya. Dia sangat bernafsu memiliki banyak club di kawasan ini sebab letaknya sangat strategis juga jauh dari jangkauan aparat.
"No. Pergilah, Om."
Sheraz melenggang masuk ke dalam kantor, menilik laporan cash flow milik sang sahabat. Meninggalkan kericuhan diluar hingga aksi saling dorong terjadi antara anak buah Sheraz dengan sang rival.
Setelah beberapa saat. "Lihat saja nanti, bocah monster!" maki Jabir sebelum dia pergi.
Sheraz mendengar samar makian sang sahabat ayahnya dulu. Dia memejamkan mata. "Tunggu saja, Jabir. Tunggu saja, pembalasanku," ucapnya lirih.
Bila Sheraz tengah berjibaku dengan kerasnya bisnis bawah yang di kelola, lain hal dengan Sajani. Gadis itu nampak mulai menikmati hidupnya meski kini telah didalam kamar lagi.
"Jangan paksa aku. Jangan paksa," gumamnya seraya menyesap teh camomile hangat dan duduk di kusen jendela.
Monolid-eye cantik memendar angkasa, melihat kumpulan arakan putih bak kapas di atas jumantara, terbias semburat merah, di terpa semilir angin yang jua ikut menggoyangkan ujung pashmina.
"Kata Allah, surga itu tempatnya nikmat melimpah. Di dunia itu harus berbagi nikmat yang sedikit. Aku di sini baik-baik saja. Jangan khawatir ... Mama, Nalini, kalian bagaimana kabarnya? apakah aku harus meminta sesuatu padanya? Allah bilang jika kita berbuat baik maka kebaikan itu akan kembali pada kita, bukan?" lirih Sajani, mengingat nasib keluarga tirinya, apakah senyaman dia saat ini.
.
.
...________________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Arra
Masih mikirin keluarga tirinya 😢
2023-07-12
0
@Ani Nur Meilan
Jabir.. Kamu tuh mau ngalahin
Sheraz.. Jangan Harap...
2023-02-14
1
@Ani Nur Meilan
Alfred Riedl yg aku tahu dulu pernah jadi Pelatih TimNas sepakbola 🤣🤣😂😂
2023-02-14
1