"Benarkan begitu? jika menyenangkan hati orang lain, maka sudah jadi sunnatullah-Nya bahwa Allah yang akan membahagiakan hati kita. Berbuat baik pada orang lain seakan kebaikan itu pasti berbalik. Kata ayah, in ahsantum ahsantum wa in aksaktum falaha," lirih Sajani masih memandang langit yang mulai meredup kehilangan semburat merah di ujung sana.
Menjelang maghrib Sajani bersiap. Dia ingin menuntaskan hafalan juz dua puluh delapan yang masih tertunda. Saat ucapannya berhenti di surat at-taghobun, Sajani mulai terisak.
"Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah, dan barangsiapa beriman kepada-Nya niscaya akan diberi petunjuk pada kalbu. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
"Allahu la ilaha illa huw, wa‘alallahi falyatawakkalil mu'minụn. Ampun ya Allah, iya aku salah, semua ini bukan kebetulan. Pasti ada rencana-Mu yang indah untukku," tangis Jani pecah.
Kerinduan nan menumpuk pada kedua orang tua, jua mengingat perilaku urakan sang Ibu tiri, menjadi sumber nestapa Jani petang itu. Semua kilasan ingatan, kembali datang bersaut dengan suara azan yang menggema.
Mansion megah itu entah begitu dingin dan sepi, padahal hanya Sheraz yang tidak ada di tempat dua hari ini. Tini bilang, kepulangan sang tuan muda mungkin akan mundur.
...***...
Di kota lain, pantura.
Tuan muda tak banyak cakap, dia memerintahkan Mimo untuk gerak cepat membereskan semua kekisruhan di wilayah yang masih menjadi jangkauannya.
Sheraz juga bertemu beberapa pebisnis lokal serupa yang meminta upeti darinya sebab orang luar justru menguasai kawasan. Namun sang pimpinan tak gentar, dia justru menarik semua club mereka untuk menjadi bagian dari organisasi miliknya. Taktik cerdik muncul semata hanya karena dia ingin ketika kekuasaan yang digenggam saat ini dapat menjadi power atau tameng kala menghadapi sesuatu ancaman besar dikemudian hari.
Dalam perjalanan kembali pulang.
Sheraz terngiang umpatan Jabir yang mengatakan dirinya monster. Salah sang ayah, sangat percaya padanya kala itu. Pimpinan Raz Corp itu terlihat merenung sembari memejamkan mata, kepalanya bersandar pada head restrain.
Suatu saat, belasan tahun silam.
Terjadi ketegangan di ruang kerja sang ayah siang itu. Lelaki dengan tatanan rambut selalu klimis dan setelan jas mahal terdengar mengamuk dengan menggebrak meja. Penjelasan Jabir kala itu timpang, membuat Sein Qadri murka, kehilangan banyak uang bahkan menderita kerugian tak sedikit.
Bisnis keluarga dengan mengandalkan reputasi baik nyaris musnah di tangan Jabir. Namun nampaknya Jabir tak terima disalahkan. Dia merasa tersudut.
Pemecatan dirinya sebagai asisten pribadi Sein Qadri mungkin adalah pemantik rasa sakit hati sang ajudan. Tanpa sengaja siang itu Sheraz mendengar sebuah rencana terselubung seseorang untuk mengeksekusi sesuatu yang dirinya tak pahami kala itu.
Saat dia masuk ke dalam mansion, ibu langsung menarik lengan putra mahkota Qadri. Bisikan tertahan dengan suara serak menandakan bahwa memang situasi tengah genting.
"Raz, nanti pergi dengan Bu Tini ya. Patuhi segala ucapan Ibu agar Raz selamat. Gunakan bekal yang Mama berikan ini sebagai modal untuk kalian hidup dan bangkit. Hati-hati memilih orang kepercayaan, jangan percaya siapapun kecuali Ibu. Pesan Mama, bersembunyi sampai keadaan aman, kau ingat?" tegas sang Mama kala itu.
Sheraz yang tak paham, hanya mengangguki segala ucapan ibu nan ayu itu.
Hingga jelang tengah malam.
Dirinya dibangunkan paksa oleh Tini, tubuh remajanya diseret keluar kamar, jaket, selimut langsung di balut pada tubuh sang tuan muda untuk menghalau panasnya api.
"Ibu."
"Den ayo, pelan-pelan keluar, semua sudah terbakar. Mama dan Papa Aden, juga sedang menyelamatkan diri," ajak Tini seraya memeluknya.
Ketika pintu kamar terbuka.
Wuussshhh. Angin panas menerpa wajah Sheraz. "Aah, Ibu."
Tini menghalau dengan apa yang dia bisa, selimut pun terbakar terkena jilatan api dari kusen.
Wanita dewasa itu lalu menuju bathroom, membasahi handuk juga jaket miliknya lalu kembali ke tempat dimana Sheraz berdiri. Kenekatan keduanya membuahkan hasil, mereka lolos dari lalapan api yang menyerang kamar.
Rintangan selanjutnya menghadang, semua telah terbakar, udara pengap sebab asap tebal dalam ruangan menjadi kesulitan berat untuk dilalui. Nafas mereka sesak. Tini lalu membekap wajah sang tuan muda dengan handuk basah dan perlahan menuruni anak tangga.
"Ibu, panas. Kakiku," lantai tak dapat dilewati. Tini panik, dia menangis.
Sheraz lalu mencari jalan keluar. Dia melihat jendela dengan gorden belum sepenuhnya habis terbakar. Lelaki itu meraih kursi lalu melemparkan ke arah celah kaca yang sebagian telah pecah.
Prang.
"Ibu. Ibu. Ayo, lompat. Ini bagian belakang bukan? masih aman meski tinggi," ucap Sheraz muda.
"Kaki Aden kan sakit nanti," cegah sang pengasuh.
"Yang penting kita selamat dulu. Bu, ayo. Kakiku memang sudah cacat sejak lahir," balas Sheraz menarik lengan Tini.
"Bu, awaaaasss!"
Sheraz menarik tubuh Tini menjauh agar tidak tertimpa lampu kristal yang akan jatuh. Sayang, sebab kaki kiri Sheraz yang tak sempurna, dia terlambat menghindar. Wajahnya terkena pecahan kaca kristal yang panas.
"Deeeenn!" Tini histeris. Dia menarik tubuh majikan mudanya sekuat tenaga.
"Bu. Aku gak apa," kata Sheraz, mengabaikan sakit.
"Tapi, itu," Tini tak tega, wajah tuan mudanya terlihat melepuh.
"Aku harus hidup, Bu."
Tini mengangguk cepat, dia membersihkan serpihan kaca yang berserakan dibawah jendela. Lalu mulai memapah Sheraz menuju celah yang masih aman dari jilatan api.
Bruk.
Bunyi bedebum dua jiwa dari lantai dua rumah megah tersamarkan akibat kilatan api yang kian besar. Lamat-lamat bunyi sirine mobil pemadam kebakaran mulai terdengar. Dua anggota Qadri memilih menepi, biarlah identitas mereka disamarkan sejenak.
Tini terus membawa sang majikan muda melewati gerbang belakang. Dia bertemu dengan salah satu orang kepercayaan Nyonya Qadri yang membantu pelarian malam itu.
Dua hari berikutnya.
Surat kabar menyatakan bahwa pasangan Qadri tewas terbakar di dalam Mansion mewah mereka dalam keadaan tergeletak di lantai dengan posisi berdekatan.
Sheraz baru saja selesai menjalani operasi sementara atas luka bakar yang diderita saat kabar duka itu mengemuka ke ruang publik. Dia menerima perasaan nestapa berlipat kali lebih sakit kala melihat kondisi wajahnya saat perban putih itu mulai terbuka.
Wajah tampannya hilang. Rambut hitam legam itu pun musnah. Kini, menyisakan parut mengerikan dari dagu hingga ke pangkal dahi. Bahkan kelopak mata kirinya terlihat tertarik ke atas sebab luka bakar yang mengikis lapisan kulit.
"Beast."
Tini hanya mengusap punggung sang majikan lembut kala itu. Dia berusaha tegar untuk tuannya.
"Bu, bantu aku bangkit." Sheraz memeluk sang pengasuh, keluarga satu-satunya yang dia miliki.
Ingatan kelam nan perih itu buyar kala Rico menepuk lengan sang pimpinan. "Bos, sampai di kantor."
"Aku gak turun. Langsung pulang saja, kangen Jani," lirihnya lemah. Dia lelah, butuh seseorang yang dapat menghibur dirinya meski hanya lewat tampilan monitor.
.
.
...______________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
@Ani Nur Meilan
Kasian ya Sheraz.. 😞😞😞😞Semoga Jani bisa ikhlas menerima keadaanmu..
2023-02-16
0
AlAzRa
nunggu kejutan dari mommy wae lah aku.🤭
sehat selalu Makthor sekeluarga 🤲🏼🤗
2023-02-16
0
🍊🍾⃝ᴄʜͩᴀᷞɪͧʀᷠᴀͣ ғᴀᴊɪʀᴀ🅠🅛
wowww semakin menarik ceritanya mom, lanjut
2023-02-16
1