Malam kian larut, Sheraz mulai merasa pencernaannya sangat tidak nyaman bahkan hingga lewat tengah malam, dia belum dapat menemukan posisi yang enak untuk memejam.
Mungkin ikatan batin perlahan tercipta di antara mereka berdua. Sajani pun tidak dapat memejamkan mata, dia berguling gelisah ke sana sini di atas pembaringan.
Tungkai tak terbalut kaos kaki itu turun dari ranjang, memakai sandal bulu juga meraih outer. Dia akan keluar kamar mencari sesuatu yang dingin guna meredam gejolak rasa tanpa sebab.
Saat akan menuruni tangga. Lamat terdengar suara rintihan menahan sakit dari kamar Sheraz. Sajani ragu, apakah dirinya masuk atau tidak.
"Jika masuk, nanti kayak waktu itu gak ya?" gumam Jani di depan pintu, teringat malam panas mereka.
Namun suara itu kian memilukan, keluhan kesakitan hingga membuat Sheraz menyebut sang Nyonya besar. Sajani tak tega, dia memberanikan diri memutar handle kamar pemilik mansion itu.
Karena beberapa kali berada dalam kamar ini, Jani mulai terbiasa dengan situasi gelap yang tercipta.
"Bu, sakit sekali. Maaaa, perutku nyeri," lirih tuan muda, bergelung dalam selimut.
Jani membiaskan netranya dengan cahaya gelap, dia lalu berjalan pelan menghampiri sisi ranjang.
Tangannya terulur tanpa ragu menyentuh dahi Sheraz. "Demam. Mas, aku kompres ya," lirih Jani, merasa iba.
Putra Sein Qadri terkejut, suara lembut yang dia inginkan terasa sangat dekat. Sheraz membuka mata, beringsut menjauh tak ingin Jani khawatir.
"Na-res? jangan mendekat, pergi. Aku tak apa," usirnya dengan suara lemah.
"Kamu demam," Sajani naik ke atas dipan, menahan tubuh lemah itu agar tak menjauh.
"Pergi, tidurlah kembali. Aku tak apa," bantah Sheraz lagi.
Jani menghela nafas. Dia meninggalkan Sheraz keluar kamar.
Brak. Suara pintu besar di tutup kasar oleh sang Nyonya.
Nareswari Sajani tergesa menuruni anak tangga menuju dapur. Mencari air-bag compres untuk di isi air hangat yang akan dia gunakan guna meredam demam atau nyeri pada tubuh suaminya.
"Cari apa Nyonya?" tanya maid yang masih terjaga.
"Kantong air panas, punya gak ya?" jawab Jani seraya memeragakan gerakan tangan membentuk kotak.
"Ada, untuk siapa?" imbuh maid, seraya mengeluarkan dua kantong dari rak penyimpanan.
"Suamiku," balas Jani cepat. Tak menyadari ucapannya telah membuat sebaris senyum di bibir maid.
"Saya siapkan dahulu. Mohon tunggu sebentar ya, Nyonya," pinta sang maid.
Beberapa menit kemudian. Nyonya muda sudah menaiki tangga kembali. Bahkan kali ini, dia meminta disiapkan handuk basah dan air hangat untuk menyeka tubuh suaminya yang berkeringat.
"Siapa?" lirih Sheraz kala mendengar pintu kamarnya kembali dibuka.
"Aku."
"Mbak, tolong simpan di sana ya. Terima kasih," balas Sajani pada dua orang maid yang ikut dengannya.
"Nares, ku bilang tidurlah. Jangan membantah!" kesal Sheraz, kali ini dia memaksakan diri bangkit.
Tanpa banyak cakap, Sajani naik ke pembaringan. Mendekati Sheraz. "Sini Mas, aku seka keringatnya. Lalu pakai ini, mungkin bisa meredakan nyeri," pintanya lembut, menunjukkan kantong
Sheraz sejenak terpana akan kalimat Sajani, dia tertegun. "Maksudnya?"
"Sini, sama aku. Aku bukan mengasihani, hanya menunaikan kewajiban sebab suamiku sakit," cicitnya malu seraya menunduk, meski sejatinya wajah Jani yang merona tak begitu kentara akibat gelap.
Sheraz tersenyum atas kata manis yang di sematkan Sajani, meski sambil menahan nyeri ulu hati. Dia pun mendekat.
"Demam tinggi, mana yang sakit?"
"Semua sendiku sakit. Rasanya mau lepas," keluh Sheraz.
Sajani menopang kepala sang tuan muda dengan bantal agak tinggi, lalu meletakkan handuk hangat di dahinya. Jemari lentik itu mengusap perut rata Sheraz, tahu bahwa di sanalah sumber sakit sebab kedua tangan pria itu tak lepas menekan tempat yang sama.
"Maaf ya, Mas. Aku izin taro kantong air hangat di sini," lirih Jani malu-malu saat akan membuka baju tidur Sheraz.
Tak ada sahutan dari pemilik raga sehingga Jani melanjutkan apa yang dia bisa lakukan sebagai pertolongan pertama.
Pijatan lembut di lengan, kaki hingga kepala ternyata membuat tubuh Sheraz rileks. Tak ada rintihan keluar dari mulut sang tuan muda. Bahkan helaan nafasnya melembut dan teratur.
"Alhamdulillah," lirih Jani saat melihat perubahan signifikan.
Wanita ayu terjaga hingga pagi menjelang. Dia bahkan melakukan rutinitas sebelum subuhnya di kamar Sheraz. Hingga Tini datang bertepatan dengan Azan subuh menggantikan sementara Sajani sebab dia ingin mandi.
"Bu, tolong temani Mas dulu ya. Aku mau mandi, tadi belum sempat," pinta Sajani sambil lalu meninggalkan kamar.
Tini tersenyum atas kedekatan mereka yang kian intens. Dia lalu melihat banyak perlengkapan bekas mengompres tergeletak di atas meja samping ranjang.
"Den, Non Jani di sini semalaman?" tanya Tini mengguncang tubuh Sheraz.
"Den!"
"Hmm, apa Bu?"
"Non Jani, di sini semalaman?" ulang Tini dengan kalimat yang sama.
"Iya, menemaniku. Sudah subuh ya?" lirih Sheraz melepas kantung air hangat yang masih menempel di atas dadanya.
"Barusan azan. Mau salat? Ibu bantu," ujar sang pengasuh.
Setelah subuh, kamar Sheraz kembali sunyi. Sajani membawa mushaf ke dalam kamar suaminya. Melihat tuan muda masih terbaring, Jani kembali naik ke sisi ranjang yang kosong.
"Bismillahirrahmanirrahim...." suara lembutnya mengalun, membacakan surat al waqi'ah juga yaasin, dua surat yang menjadi pembuka rutinitas pagi.
"Bismillahirrahmanirrahim," Sajani mengulangi hingga tiga kali. Lalu beringsut menyentuh punggung suaminya yang membelakangi, menarik usapan hingga ke pinggang.
"A'udzu billahi wa qudrotihi min syarri maa ajidu wa uhaadzir," lirihnya lembut, mengusap hingga tujuh kali, dari ujung pangkal leher hingga pinggang.
"Allahumma Rabban nas, adzhibil ba’sa isyfi anta asy-syafi la syifa’a illa syifauka syifaan la yughadiru saqman, lekas sehat ya, Mas," lirih Sajani bersiap turun dari ranjang kembali ke kamar.
Sejak dirinya masuk, sesungguhnya Sheraz tak tertidur. Dia ingin merasakan kasih sayang tulus Sajani kala dia tidak dalam kondisi sadar. Firasatnya benar, wanita ayu itu bisa bersikap lembut padanya tanpa di minta.
"Neras. Makasih, Sayang," gumam Sheraz. Kali ini dia mencoba tertidur kembali.
Menjelang Asar.
Sajani tertidur pulas setelah menyiapkan segala kebutuhan Sheraz. Namun, betapa terkejutnya dia kala hendak bangkit, lelaki itu sudah berada di kamarnya dengan posisi memeluk dari belakang.
"Mas?"
"Gak bisa tidur, gak ada bau kamu di sana," lirih Sheraz masih memejam.
"Bentar lagi ashar, aku mandi dulu," sahut Sajani berusaha melepaskan dekapan.
"Nanti saja."
"Mas!"
"Boleh?"
Sajani bergeming. Sesuatu yang akan dia duga, akan kembali terjadi. Rasa enggan hadir akan tetapi lagi-lagi putri Surawijaya tak dapat mengelak pada kenyataan bahwa lelaki ini adalah suaminya. Istri Sheraz Qadri perlahan menerima garis nasib yang sedang dia jalani.
"Ikhlas Jani, Ikhlas."
.
.
...___________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Ersa
pelan-pelan ya Raz, hati Jani pasti menuju mu
2023-05-13
1
Neneng Hernawati
syukaaa bgt sama sosok Sajani yg begitu menerima nasibnya....apa ya kalau bahasa jawanya legowo gitu kali ya
2023-03-24
1
AlAzRa
ikhlas itu sabar tingkat dewa Nares
2023-02-23
1