Menjelang siang.
Nyonya muda Sheraz terbangun sebab Tini mengusik tidurnya. Dia sontak terkejut dengan badan yang masih sangat kesakitan.
"Nona. Nona, bangun. Sudah zuhur dan Anda harus makan siang," ucap sang asisten Sheraz.
"Bu."
"Maaf membangunkan Nona. Dokter juga sudah menunggu Anda. Ayo makan dulu," ajak Tini lagi
"Hah, Dokter? buat siapa? aku gak sakit," ujar Jani terheran melihat seorang dokter wanita tersenyum tak jauh dari posisinya duduk masih diatas sajadah.
"Anu, kata Den Sheraz, hhmm itu, anu. Kesakitan," ucap Tini malu-malu seraya menunjuk pada tubuh Sajani.
Blush. Seketika wajah gadis ayu merah merona.
Kilasan ingatan semalam menyeruak memenuhi otaknya. Kepala mungil berbalut mukena itu menggeleng pelan bermaksud menghalau cuplikan adegan yang menurutnya tak senonoh.
"Kan sama suaminya," kekeh Tini melihat Jani seperti enggan mengingat.
"Kan dipaksa, gak sukarela," cebiknya lucu seraya bangkit.
"Ish."
"Non. Kan, sakit," ujar sang asisten lagi, Tini semakin tertawa kecil melihat sikap majikan mudanya.
Karena malu, Jani menolak halus pertolongan sang wanita paruh baya saat dirinya akan bangkit. Semua tulang rusuk bagai retak, rasanya membutuhkan banyak tenaga hanya untuk menggerakkan lutut sebagai tumpuan kala berdiri.
Dengan usaha susah payah, dia berhasil menegakkan tubuh, berjalan pelan menuju sofa sembari melepaskan mukena. Percuma dia memakai hijab di dalam kamar, toh Sheraz sudah melihatnya, pikir Jani.
Tini dengan sabar meladeni sang majikan muda nya hati-hati. Memberikan banyak nutrisi, buah, jus juga sayuran hijau pada menu makan siang kali ini. Sementara tenaga medis nan ayu itu masih setia berdiri.
"Dokter, sini. Makan sama aku," ajak Jani melihat sekilas pada Tini untuk meminta izin.
"Silakan duduk, Dokter," balas Tini kemudian.
Di sela makan, sang Dokter wanita memperhatikan gestur calon pasiennya. Melihat lebam di ceruk leher sang gadis yang tanpa mengenakan hijab.
"Adaa bagian yang sakit tidak?" tanya sang Dokter perlahan.
"Gak ada, cuma ini aja bekas sedikit," ujar Jani takut, seraya melirik Tini.
Dokter itu meminta izin menyentuh leher sang gadis. Bekas kepalan tangan, seperti cekikan di sana. Lalu dia menunjuk lebam pada ceruk leher sang majikan, menanyakan sesuatu yang membuat dirinya tersipu.
"Jejak itu, Dokter," sambung Tini, menjawab pertanyaan beliau sebab Sajani hanya diam menunduk.
Kegiatan makan siang berakhir. Dokter meminta Jani berbaring di atas ranjang. Sederet rangkaian pemeriksaan dilakukan dan dibantu seorang suster.
Sajani pasrah, entah apa yang di suntikkan pada tubuhnya itu. Dia melawan pun percuma, akan ada kesakitan luar biasa bagi yang menentang keinginan sang tuan muda.
"Ini serum agar tubuh Anda lekas pulih," jelas Dokter seakan mengerti kekhawatiran sang pasien.
"Serum atau obat penyubur kandungan, Dokter? aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi," sinis Jani lagi.
Tini yang melihat kecanggungan sang Dokter akhirnya menjelaskan rinci bahwa itu memang suntikan suplemen agar Jani lekas pulih.
Untuk menghibur sang Nona muda, Tini menyodorkan sebuah surat singkat yang berisi kalimat sakti Sheraz.
"Kau boleh melakukan apapun selama aku pergi, asal tetap di rumah. Mintalah semua kebutuhanmu pada Ibu, jangan membantahnya. Perintah Ibu, bagai titah ku. Kau mengerti?"
Sheraz membubuhkan tulisan tangannya yang di rapi diatas kertas. Barisan kalimat itu tepat seperti dugaan mereka berdua, sorot mata Sajani berbinar. "Bu, aku mau bikin roti," ujarnya riang.
"Ayo."
Sajani bergegas turun dari ranjang, mengabaikan dokter wanita yang masih membereskan segala peralatan medis nan terberai di sisi tempat tidur.
Gadis energik itu lupa akan rasa sakit, meski wajah masih meringis sesekali. Dia segera meraih pashmina panjang juga memakai kaus kaki untuk menutup tungkai mulusnya.
"Bu, sudah. Ayo," ucap Jani. Kedua tangannya merentang menunggu Tini menyambut uluran.
"Non, hati-hati nanti di dapur ya, gak boleh grasak grusuk. Kalau Non nurut, Den Sheraz bakalan ngasih keleluasaan lebih banyak," jujur sang pengasuh, membawa serta nona mudanya menuruni tangga.
Sajani mengangguk antusias, ngilu yang kadang masih terasa di pangkal paha dia abaikan kala kedua kaki terhentak mengikuti alur turun tumpukan anak tangga.
"Masih gak enak badan?" tanya Tini mendengar samar desisan menahan sakit dari mulut mungil majikannya.
"Enggak," ucap Jani, menggamit lengan sang pengasuh.
Kedua wanita lalu menuju dapur. Terlihat beberapa maid di sana langsung menyingkir saat melihat majikan muda nan ayu tiba. Tini lalu menanyakan pada Sajani, bahan apa saja yang dia butuhkan.
"Nona, tulis saja di sini, nanti mereka akan bantu siapkan," ujarnya lagi menyodorkan catatan kecil di atas meja dapur.
Nareswari Sajani amat menyukai croissant dengan lelehan butter didalamnya. Dia pun cekatan menuliskan banyak bahan dan setelah rampung dia serahkan pada maid yang menerima hasil tulisan tangan sang Nona.
"Semua ada di sini, saya siapkan sebentar ya Nona. Anda menunggu saja seraya duduk dahulu," ujar maid lagi.
Sajani enggan, dia malah mengikuti pergerakan dua orang maid dalam menyiapkan bahan. Sajani akan menghafal dimana letak dan tempat perlengkapan dapur di simpan serta menilik persediaan apa saja yang dimiliki rumah megah ini.
"Wow, semua komplit bagai di toko," soraknya riang, Jani nampak bahagia.
Tini membiarkan sang majikan muda, hanya tersenyum simpul melihat gadis itu kembali tersenyum setelah beberapa kejadian yang membuatnya sedikit tertekan, termasuk peristiwa semalam.
"Den, dia happy banget. Kayaknya memang ini cara buat bujuk Non Jani agar mau dekat sama kamu," lirih Tini, menyesap kopi pahit yang baru saja dia seduh dengan asap masih mengepul.
Setelah semua siap. Gadis itu lantas tak banyak membuang waktu. Dia melarang semua maid ikut terlibat. "Hanya aku ya, aku bisa kerjakan ini," pintanya beberapa kali.
Semua tatapan tertuju pada sang gadis, betapa Sajani cekatan tanpa banyak menimbulkan kekacauan di dapur. Pekerjaannya cepat, gesit juga rapi. Terlihat sangat menguasai hal yang tengah dia perbuat.
Satu jam kemudian.
"Matang. Maaf lama, sebab pastry dough itu membutuhkan waktu lama untuk mengistirahatkan adonan juga agar lipatan pastry-margarin, layernya terbentuk sempurna. Ini berasa butter banget, mau coba?" jelas Sajani seraya menjulurkan tray berisi croissant yang masih panas.
"Baunya sangat menggugah selera," ujar Tini mengamati hasil pekerjaan sang Nona.
"Kayaknya gak bakalan beli Roti lagi nih nanti," imbuh maid kala mencoba kudapan yang masih hangat.
Sajani puas, memandang hasil kerjanya hari ini. "Aku happy, rindu mereka," ujarnya memeluk semua peralatan di atas meja dapur bekas pakai.
"Habiskan ya. Ini masih banyak, dibagikan boleh tidak?" tanya Jani kemudian.
"Nona gak makan?"
"Aku sudah kenyang, dari mengolah hingga jadi cantik begini, melihat mereka berjajar rapi sesuai keinginanku saja, hatiku sangat bahagia. Makan tapi gak banyak," imbuh sang Nona.
Tiba-tiba, ponsel Tini berbunyi. Sejenak wanita itu terdiam.
Dia lalu meminta maid meletakkan kembali tray croissant yang akan di bawa pergi untuk para pekerja. "Kata Tuan. Gak boleh dibagikan, simpan untuknya," titah Tini seraya menutup ponselnya.
Maid pun mengikuti perintah sang kepala asisten di rumah ini.
"What! mubazir, bilangin Bu." Sajani protes keras atas permintaan Sheraz.
"Gak berani, Nona. Maaf," jawab Tini, sementara Sajani mendengus kesal. Dia menarik tray dari atas meja, membawanya keluar dapur untuk dibagikan pada para pekerja.
"Nona, Nona. Jangan, nanti Den Sheraz marah lagi," seru Tini, namun tetap diabaikan Jani.
.
.
...___________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
@Ani Nur Meilan
Nanti bikin lg klau Tuan Sheraz datang
2023-02-14
0
AlAzRa
Miss u Nares....❤️❤️❤️
2023-02-14
0
🍊🍾⃝ᴄʜͩᴀᷞɪͧʀᷠᴀͣ ғᴀᴊɪʀᴀ🅠🅛
udah d kasih tambahan masih nawar aja🤦♀️ 😉😉
2023-02-14
0