Sajani mendengar samar percakapan antara dokter dan Sheraz. Entah apa yang dia rasakan kini dalam hati, ketika membuka mata dirinya melihat Sheraz tengah menciumi telapak tangannya dan menundukkan kepala di sana.
"Mas," panggil Jani lirih.
Sheraz menengadah. "Ya? kamu mau apa? minum? atau bangun? masih pusing?" tanya lelaki itu beruntun.
"Mama?" Membuka mata nyatanya kian membuat Jani tak tega melihat Sheraz. Lelaki itu nampak sumringah.
"Di bawah, nanti aku temui. Kamu mau nitip pesan untuknya?" tanyanya lembut, masih menggenggam erat jemari Jani.
"Mama sakit, mungkin sudah parah tapi aku gak tahu apa penyakitnya. Mana mungkin uang sebanyak itu dia gunakan hanya untuk membeli barang haram kan?" lirih Jani, memijit pangkal alis, kepalanya mulai berdenyut.
"Mana yang sakit?" kata Sheraz tak memedulikan kalimat istrinya. Dia hanya fokus pada kesehatan Jani.
"Hanya pusing. Aku kenapa?" rasa mual kembali mendera.
"Nanti sore kita ke rumah sakit. Istirahat dulu ya, aku ke bawah ingin mendengarkan keinginan Neera," ucap Sheraz bangkit, namun jemarinya kini justru di genggam Sajani.
"Nares," gumam tuan muda, melihat ke arah tautan jemari mereka.
"Bisa gak, nanyain Mama dari sini? jangan pergi," kata Jani. Sesungguhnya dia tak ingin lelaki itu berdiam lama di kamarnya tetapi lisan berkata lain. Putri Surawijaya terheran akan diri sendiri.
"Bisa. Kau mau aku tinggal di sini?" tanya Sheraz memastikan keinginan Sajani.
Tak ada sahutan, Sajani hanya menggeser posisinya berbaring. Sheraz tersenyum samar, dia lalu perlahan naik ke atas pembaringan, berjaga bila istrinya menolak akan tetapi Sajani hanya diam.
"Call dari sini?" tanya Jani seraya mendekat, dia menyentuh lengan Sheraz beberapa kali dengan ujung telunjuk.
"Iya," jawab Sheraz, dia membuka lengan kirinya. Masih meraba apakah ini memang keinginan Sajani.
Putri tiri Neera, masuk ke pelukan lelakinya kala lengan kiri Sheraz terangkat. "Hm, aku dengarkan," bisiknya. Kepala Jani mencoba mencari tempat ternyaman untuk berbaring.
"Gak salah nih?" batin Sheraz melihat perubahan sikap yang tak biasa.
"Ayo, Mas," rengekan manjanya terdengar.
Sheraz berdehem, beberapa kali. Entah mengapa dia gugup siang itu mendapat perlakuan manis istrinya. "I-iya, Sayang.
Tuut. Tuut. Dering panggilan untuk Mimo.
"Ya, Bos." Suara Mimo.
"Ubah ke video call, Mimo. Nares ingin melihat Neera," pinta Sheraz pada asistennya.
"Eh, ada Nyonya. Baik, sebentar, Tuan," kata Mimo lagi, lalu mode tampilan video memperlihatkan Neera yang masih duduk di lantai memegangi dadanya.
"Mama, kesakitan," lirih Jani melihat ibu tirinya sangat kuyu.
"Apa yang dia inginkan?" tanya Sheraz langsung.
Mimo lalu menyenggol paha Neera agar wanita itu bicara. "Heh! tujuanmu ke sini mau apa dari Nyonya Jani? cepat bilang," sentak Mimo tak sabar.
"Jangan dibentak, Mama sedang sakit," kata Jani, memukul dada suaminya.
"Awh. Sakit, Nares. Aku gak nyuruh Mimo begitu," elak sang tuan muda. Tangan kirinya mengusap kepala Jani.
"Mimo, sopan sedikit. Bagaimanapun dia adalah mertua tiriku," kekeh Sheraz membubuhkan kata tiri pada kalimatnya.
"Oh, maaf Tuan muda," sahut Mimo, meralat sikapnya.
"Lekas, bilang. Lama-lama aku ikutan mual," sergah sang asisten lagi.
"Aku dan putriku ingin tinggal di sini dengan Jani," pintanya menatap penuh harap.
"Gak bisa. Kan dia masih punya rumah atas penjualan asset terkahir ayah Nares. Lagipula aku yang membiayai kebutuhan mereka selama ini di sana setelah melarikan diri dari pekerjaan lama sebagai penjaga warung nasi itu," ungkap Sheraz membuat Sajani membola.
"Dia melakukan itu? untuk Mama?"
"Aku melakukan itu untuk kamu, Nares. Bukan dia," bisik Sheraz mengecup dahi Jani.
Terdengar penjelasan Mimo atas kalimat Sheraz untuk Neera bahwa majikannya keberatan terhadap permintaan itu.
"Selain tinggal dengan Nares, dia mau apa?" desak Sheraz, semata dia lakukan agar Sajani bahagia.
"Dengar tidak pertanyaan Tuan Muda, kau mau apa?" kali ini Mimo berjongkok di dekat Neera.
"Aku minta dijamin pasokan untuk itu, tanpa bekerja juga untuk pengobatan aku," ucapan Neera kemudian.
"Pasokan apa? Mama, bukan itu obat yang dibutuhkan, Mama sakit apa?" ucap Jani kali ini, tak sabar.
"Kau gak perlu tahu, Jani. Penuhi saja keinginanku dan aku tak akan mengusikmu lagi," jawab Neera mendengar suara putrinya.
"Seenaknya saja, kau pikir Nyonya punya belas kasih untukmu? gak inget, dulu kamu kan yang menjual putrimu itu? tidak tahu malu, dasar!" maki Mimo atas keteguhan Neera meminta bantuan.
Sajani menengadah, menatap wajah suaminya. Sheraz lalu menutup panggilan yang berlangsung.
"Mas! kok di tutup, Mama bagaimana?" protes Jani, memukul dada Sheraz lagi.
Tangan kanan sang tuan muda, menahan pemberontakan atas sikapnya tadi. Dia menggenggam kepalan tangan kiri Sajani. "Denger Mas bicara dulu," pinta Sheraz lembut.
"Neera gak boleh di manja, Sayang. Aku akan melihat kondisi kesehatannya setelah Mimo membawanya ke rumah sakit. Mor-pin itu dilarang digunakan sembarangan tanpa dosis sesuai petunjuk dokter. Neera harus tetap bekerja, terutama Nalini," tegasnya kali ini.
"Mama sakit! sakit! kasihani Mama sekali ini," mohon Jani untuk Neera.
"Iya, dia sakit. Tapi jika aku memberikan semua yang dia mau, pasti akan terus menerus ketergantungan padamu nanti. Kamu kapan sadar sih, Neera selalu memanfaatkan kondisimu?" kesal Sheraz, istrinya bebal. Antara bodoh dan polos memang sangat tipis perbedaannya.
"Terus gimana?"
"Neera pecandu kronis, dia akan sulit jika terus menerus seperti ini. Akan aku pikirkan, kamu gak boleh stres. Ingat dia ya, ingat aku," bisik Sheraz memeluk erat wanita dalam dekapannya.
"Aku kenapa?"
"Nanti sore kamu tahu. Tidur dulu," bisik Sheraz, mengusap lembut kepala Sajani yang masih mengenakan hijab.
"Kenapa?" desak Sajani tak sabar.
"Kata dokter, kamu hamil. Tapi harus dipastikan dahulu, makanya nanti sore kita ke rumah sakit," ungkap Sheraz.
"Ha-hamil? aku?" Sajani menengadah kembali, melihat wajah suaminya.
"Iya, anak kita. Kau tahu, aku sangat bahagia," Sheraz kian memeluk erat, mengusap punggung Sajani lembut.
"Hamil, anaknya? sedangkan dia kan masih make...."
"Apa kau juga happy?" tanya Sheraz lagi, mencoba memancing reaksi Sajani.
Sajani memilih memejam, tak menjawab pertanyaan Sheraz. Dia bingung, akan menjawab apa, kiranya ekspresi wajah saat ini dapat melukiskan kondisi hati Sajani. Mungkin tersirat jawaban di sana. Namun, tuan muda Qadri tak dapat melihat itu semua.
"Nares?" panggilnya lembut.
"Tidur ya? cepet amat, tadi masih ngoceh. Semua wanita gitu kali ya, apalagi bumil. Tenang Sayang, aku akan sabar dan belajar menghadapi mood kamu nanti," celoteh Sheraz tak mendapat respon Sajani meski wanita itu mendengar.
"Mimpi apa ya aku. Ada kamu di sini. Kamu tahu gak, Sayang. Aku sudah menaruh suka pada Nareswari Sajani sejak pertama kali melihatmu saat menolong Neera. Calon istriku di sakiti akan tetapi dia masih bersikap sangat baik. Apakah sebegitu besar baktimu pada dia? ataukah ada hal lainnya?" gumam Sheraz, mencoba jujur akan isi hati, entah Jani mendengar atau tidak.
"Ada, Mas. Al jannatu takhta aqdamil ummahati, meski Neera jauh bertolak belakang dari arti kata Ibu."
.
.
...___________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
fa_zhra
sheras,nares,neera...hampir sama nama2 nya,
2023-12-23
1
Ersa
gawan bayi kuwi Raz
2023-05-13
1
Devvi Natalia
menunggu update... ada apakah knapa papa nya sampai kasih amanh harus jga... mungkin ada jasa yg harus di bls?😊😊
2023-02-25
1