Sheraz kian memeluk istrinya, merapikan selimut agar menutup sempurna tubuh Sajani. Malam itu, tiada mimpi buruk yang datang dalam benak sang CEO buruk rupa. Dia sangat nyaman dan lelap.
Menjelang subuh.
Sajani terbiasa bangun sebelum subuh, berusaha mendapatkan waktu mustajab untuk dua rokaat fajar atau qobliyah. Pagi itu kelopak matanya sangat berat terbuka sebab rasa nyaman yang tengah ia rasa.
"Bentar lagi subuh, ayo bangun Nares, jangan malas. Jika kamu tahu pahala salat itu lebih baik dari dunia dan seisinya niscaya kau akan mendatangi mimbar meski merangkak," gumam Jani, menyemangati diri sendiri.
Kalimat lirihnya di dengar oleh Sheraz yang sama telah terjaga. "Apa maksudnya?" jawab lelaki ini, masih memeluk Sajani.
"Kata Ibu dalam bulughul maram, bab tatthawwu mengartikan bahwa melaksanakan qobliyah subuh lebih baik daripada harta, keluarga, anak, bahkan perhiasan langka di dunia. Seandainya manusia memiliki semua itu tetap saja masih kalah bila dibandingkan keutamaan shalat sunnah Fajar. Bahagia di akhirat nan kekal lebih utama daripada dunia fana," gumam Sajani, masih belum sepenuhnya sadar dengan siapa dia bicara.
"Aku benar kan, Bu? kata Ibu, Nares harus memegang teguh waktu subuh sebab ketika melakukan ibadah subuh, maka dijaga oleh malaikat," kata Sajani, kian menduselkan kepalanya dibawah dagu Sheraz.
"Dijaga gimana?"
"Ibu lupa ya? laksanakanlah salat sejak matahari tergelincir sampai gelapnya malam dan kerjakan pula salat Subuh. Sungguh, salat itu disaksikan oleh malaikat. Tuh Bu, tertuang dalam al-quran surat al isra," lirih Sajani lagi.
Sheraz hanya mengulum senyum. Bisa-bisanya tidur tapi menyahuti segala pertanyaan yang dia ajukan. Saat melihat kelopak mata Jani masih memejam, dia berusaha mengusik tidur gadis itu.
"Sudah jam empat, katanya mau salat sebelum subuh," bisik Sheraz mengecup pucuk kepalanya.
"Hmmm, bentar lagi. Lima menit lagi, Bu."
"Kata guruku dulu seandainya gak salah ingat, beliau menjelaskan begini, waktu Subuh itu malaikat penjaga malam bertemu dengan malaikat penjaga siang untuk pergantian tugas, keduanya melaporkan kepada Allah bahwa hamba tersebut sedang melakukan salat ketika mereka ditinggalkan," sambung Sheraz kemudian.
"Hm, itu, benar," ucap Jani lagi, masih memejam.
Helaan nafas Sheraz, ternyata membuat Sajani tersadar. Kelopak monolid-eye itu membuka perlahan, mengerjap berat hingga beberapa kali netra cantik itu terbuka.
"Selamat pagi, Nares. Itu panggilan Ibu untukmu ya? bukan Sajani?" bisik Sheraz masih membelai rambutnya.
Degh. Sajani membeku. Dia rikuh, sadar tengah memeluk siapa.
"Gih bangun, nanti waktumu habis," sambung sang suami, menarik lengan yang dijadikan tumpuan bagi kepala Sajani. Sheraz memunggunginya.
Nareswari Sajani justru menarik selimut hingga menutupi wajah. Dia malu, mulut berkata enggan namun perilaku fisik sebaliknya.
"Anggap saja gak terjadi apa-apa."
Sajani mengintip, Sheraz diam di sana. Dia lalu memberanikan diri turun dari ranjang menuju bathroom untuk bersiap.
Saat azan menggema.
Nareswari melihat Sheraz masih tertidur pulas, tapi keinginan membangunkan pria itu untuk salat lebih besar dari ketakutannya.
"Mas, Mas!" Sajani memanggil dari ujung ranjang, masih mengenakan mukena.
"Mas!"
"Ehm, aku masih ngantuk."
"Gak salat?" lirih Jani bertanya.
"Enggak."
"Hah?... hmm, apa jangan-jangan aku nikah dengan pria tak seiman ya?" gumam Jani, ucapan halusnya terdengar Sheraz.
"Suamimu ini sepertimu."
"Kok gak salat?" Jani duduk di tepi, seraya menunggu iqamah.
"Lupa caranya."
"Kok bisa?" kekeh Jani.
"Ish, tak bisakah kamu dengar tadi aku bilang masih ngantuk? pekerjaanku sangat menguras tenaga, kau tahu?" sentak Sheraz marah, hingga membuat Sajani terhenyak.
"A-aku cu--"
"Diam!" Sheraz menyibak selimut, lalu pergi keluar kamar seraya membanting pintu.
Sajani heran. Barusan dia memeluk siapa? pria yang mana? dan tadi, itu siapa? gadis ayu tak habis pikir akan perubahan signifikan sikap sang suami. Kebingungannya sukses membuat wajah ayu itu melongo.
Setelah salam, pintu kamar kembali terbuka. Sajani hendak memulai dzikir pagi.
"Nares, ajari aku salat. Lupa gerakan juga bacaannya," ucap Sheraz, duduk di hadapan Sajani.
"Aku contohkan dulu atau mau langsung ikut praktek? nanti Mas lanjutkan sendiri. Dimulai dengan takbir atau dari niat?" tanya Jani, tak berani menatap wajah sang suami.
"Nares bacakan dulu, Mas dengarkan," lirih Sheraz memandang lekat wajah dalam balutan mukena yang menunduk.
"Hm, bismillah." Sajani memulai membacakan pelan semua tata cara salat mulai dari niat, takbiratul ihram hingga salam.
"Masih ada waktu ngejar subuh. Silakan, Mas kalau mau salat di sini," ujar Sajani menarik diri dari atas mimbar sajadahnya.
"Bismillah. Temani aku dan nanti dengarkan barangkali ada bacaan yang salah."
Tuan muda memilih melakukan salat di kamar Sajani demi agar istrinya dapat melihat kesalahan dalam gerakan ibadah yang tengah dilakukan.
Setelah salam, Sheraz menoleh ke arah istrinya yang masih setia duduk dibelakang seraya membaca lirih mushaf dalam genggaman tangannya.
"Nares," panggil Sheraz.
"Ya?"
"Aku breakfast di sini, boleh?" tanyanya tak menatap muka.
"Hm, boleh saja," jawab Jani, lalu melanjutkan kembali bacaannya.
"Tadi apakah ada yang salah? boleh pinjam tasbihnya," pinta Sheraz kemudian.
"Ini. Tidak, semua sesuai tetapi masih kurang tuma'ninah saja. Jangan tergesa, sebab gerakan salat pun bagai terapi stretching bagi semua organ vital tubuh."
Sajani menyodorkan benda yang di minta Sheraz tanpa menyentuh telapak tangan sang suami. Dia masih ingin murajaah bacaannya. Kecanggungan hadir kala Tini mengetuk pintu dan masuk ke dalam kamar Sajani dengan membawa hidangan untuk sarapan pagi.
"Silakan Den, Non, sarapannya," ucap Tini saat dia telah selesai menata hidangan di meja.
"A-aku shaum. Maaf belum izin, Mas," ujar Jani makin menundukkan kepalanya.
"Shaum?"
"Puasa sunnah, jika boleh diteruskan, akan aku lanjutkan. Apabila tidak, maka aku gugurkan," ujar Jani kembali.
"Boleh, lanjutkan saja. Tetapi, aku boleh kan makan di sini?" tanya Sheraz sekali lagi.
"Boleh, Mas. Masa gak boleh, rumah ini kan punya Mas, bukan aku," balas Jani malu-malu.
Pagi berbeda di rasakan oleh keduanya. Sebab hanya ada mereka berdua dalam ruangan, Jani mulai menemani suaminya sarapan masih dengan wajah menunduk.
"Kau takut padaku?"
Sajani menggeleng, tetapi kemudian menggangguk samar. "Hmm sedikit," lirihnya.
"Nares, aku boleh memanggilmu begitu? atau harus Sajani?"
"Apa saja, asal jangan Om," seloroh Sajani, dia kelepasan hingga giginya terlihat saat tersenyum.
Sheraz yang melihat Jani pertama kali ramah terhadapnya, ikut tertawa kecil mendengar celotehan putri Surawijaya.
"Oke, Nares saja. Seperti Ibu, kan?"
Sajani mendongak, darimana Sheraz tahu itu panggilan dari ibunya. "Ta-hu darimana?" lirih Sajani kemudian.
"Tadi kamu yang bilang saat masih tidur, kamu membicarakan tentang ibu. Kau bahkan menjelaskan suatu keutamaan salat, menyebut beliau," ucap Sheraz lagi.
"Gitu ya," kata Sajani.
Sesi sarapan yang biasanya tak mengundang mood, kini di jalani Sheraz dengan happy. Bekal bagi tuan muda melalui hari berat.
"Aku di rumah sepanjang hari, kau boleh melakukan apapun yang kamu suka, thanks, Nares," ujar Sheraz seraya bangkit meninggalkan kamar Sajani dengan senyum tak surut dari wajahnya.
.
.
...__________________...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Wiwin Wintarsih
nunggu part romantis bucin abis, Thor!
2023-02-18
2
𝐀⃝🥀𝐑𝐚𝐧 ℘ṧ㊍㊍👏
Wah awal yg bagus, semngat Mas Sheraz, Nares ud mulai bisa menerima kamu sepertinya, 😌
2023-02-18
2
🍊🍾⃝ᴄʜͩᴀᷞɪͧʀᷠᴀͣ ғᴀᴊɪʀᴀ🅠🅛
emmmmmhh sosweet bnget sih mommm,,, pagi" d suguhkan yang romantis😘😘😘
mangats momm ,,, lanjut
2023-02-18
1