Aku Takut

Aku terpaku.

Tanganku yang sedang memegang sendok saja masih melayang di udara. Tepatnya di depan mulutku.

Itu tadi apa? Aku mimpi? Halusinasi? Hayalan tingkat tinggi? Atau apa? Aku melirik si Reiki itu. Dia sedang berdiri dengan bersandar di dinding yang ada sebagai pembatas ruang makan dan dapur bersih. Tangannya yang sebelah masuk ke dalam saku celananya, sedangkan tangan yang sebelah lagi memegang minuman kaleng. Pose keren lah. Tadi setelah 'merebut' makananku, dia langsung berjalan menuju kulkas tanpa dosa.

Sekarang kenapa dia malah seakan sedang menontonku? Menatapku dengan intens hingga membuat aku mengalihkan pandanganku. Aku menunduk. Tanganku mencoba memotong fu yung hai lagi dengan sendok. Sebenarnya aku sudah kehilangan minat pada makanan itu. Aku hanya sedang menormalkan kembali kewarasanku setelah kejadian tadi.

"Lho, kamu belum berangkat, Rei?" tanya Tante Wid sambil membawa seporsi fu yung hai lagi. Dia meletakkannya di meja makan tak jauh dari piringku. Lalu dia duduk pada kursi sampingku.

"Sebentar lagi."

"Kalian sudah kenalan dengan baik, 'kan?!"

Tante Wid menoleh ke arahku. Oke, cukup sudah keterkejutanku atas kejadian tadi. Sekarang waktunya kembali ke bumi dan membuang semua perasaan tidak nyaman barusan.

Santai saja, zura.

It's nothing!

Tapi satu yang pasti. Aku harus waspada terhadap pria itu. Pria dingin yang berbahaya rupanya. Mana bisa dia melakukan hal itu pada aku yang bahkan belum berkenalan dengannya. Aku yang seorang mahasiswi lugu sedangkan dia adalah pria matang dan dewasa. Itu artinya dia mengganggapku terlalu "mudah" untuk di permainkan.

Aku tersenyum santai menanggapi Tante Wid. "Ehm, Mas Rei sudah punya anak berapa, Tan?" tanyaku dibuat sewajar mungkin.

Tante Wid hampir tersedak sekarang. Senyumku barusan hilang. Pasti aku mengatakan yang salah lagi. Haduh.

Aku dengan berani melirik pada Reiki yang ternyata sedang menatapku. Oh dia menarik sudut bibirnya sedikit saat mata kami bertemu. Buru-buru ku alihkan pandanganku kepada tante Wid lagi.

"Tuh, Rei ... kamu tuh sudah cocok punya anak," kata tante Wid pada anaknya. Kemudian dia menoleh padaku. "Emangnya Rei keliatan tua banget ya, Ra? Umurnya baru tiga puluh satu loh. Single. Tapi memang sudah waktunya dia mencari jodoh, 'kan?!"

Jadi si Reiki itu dilangkah oleh adiknya yang berbeda sepuluh tahun dengannya. Berarti aku dengannya pun berjarak sepuluh tahun. Jadi wajar dong kalau aku panggil dia 'Om'. Tapi, gimana mungkin aku memanggilnya sama seperti ketika aku memanggil Om Mandala. Mereka, 'kan anak dan ayah. Dan panggilan 'Mas' aku rasa sudah yang paling tepat.

Sudah, aku tidak mau mengomentari Tante Wid lagi. Aku takut salah berkata lagi.

Aku kembali menyuap fu yung hai milikku saja sembari tersenyum. Tidak usah menjawab perihal pria itu lagi, Zura ... bahaya.

"Enak, Tante!" ujarku sambil mengunyah.

"Seriusan, Ra?"

"Iya, Tan. Aku doyan kok." Aku tidak berbohong saat mengatakan itu. Untung saja masakan Tante Wid itu memang terasa enak di lidahku.

"Iiihh... makasih, ya. Tante jadi senang deh. Kita pergi belanja yuk!"

"Ya?"

"Ayo kamu ganti baju, kita ke mall yuk! Jalan-jalan, cuci mata, shopping."

Orang kaya emang gitu kali ya? Kalau senang tuh bawaannya jadi pengen shopping, jadi pengen buang-buang uang.

Hmm ...

...----------------...

Tiba di dalam kamarku waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Ya ampun, hobi belanja Tante Wid rupanya agak mengerikan untukku. Seperti tidak puas-puasnya wanita itu pergi dari satu toko ke toko lainnya. Selain itu, toko yang dikunjunginya pun bukan sembarangan. Semua merupakan brand besar yang belum pernah aku sanggup kunjungi selama ini.

Seru juga sih, di sana kami sempat video call dengan mamaku yang berada di Jepang. Mama bilang, aku dititipkan kepada orang yang tepat.

Kelelahan membuatku berjalan pelan menuju ranjangku, setelah ku letakkan belajaanku di sudut meja. Saat ini di dalam otakku hanyalah satu, yaitu tidur.

Aku tidak bakat ternyata menjadi orang kaya. Serius, jiwa shopping mania Tante Wid itu luar biasa. Aku tidak berani untuk melirik harga-harga pada barang yang dia pilih. Bahkan pada baju-baju yang dia pilihkan juga untukku. Bila aku melihat harganya, maka aku rela mengembalikan baju-baju itu ke butik langganan Tante Wid. Lebih baik aku ambil mentahnya, lalu aku kumpulkan uangnya untuk membeli mobil. Sebenarnya papa sudah seringkali berniat untuk membelikanku mobil, hanya saja aku ingin membeli dengan hasil usahaku sendiri. Walaupun entah kapan. Ya nggak perlu dibikin susahkan, sekarang banyak taksi online, ojeg online. Bagi-bagi rezeki gitu.

Setelah duduk sebentar, aku memaksa tubuhku untuk bersih-bersih sebentar saja di kamar mandi. Tidak baik tidur menggunakan pakaian yang habis digunakan jalan-jalan di luar.

Tak memakan waktu lama ritual bersih-bersihku sebelum tidur. Aku keluar dari kamar mandi dengan piyama tanpa lengan dan celananya yang hanya sebatas paha saja. Jujur aku amat suka pakaian minim untuk tidur, agar aku tidak kegerahan. Walau di kamar menggunakan pendingin ruangan, tetap saja aku tidak betah dengan pakaian yang panjang.

"Astaga!"

Aku terkejut bukan main ketika pintu kamar mandi ku tutup kembali, aku malah mendapati si Reiki berada di dalam kamarku. Bagaimana bisa?

Pria itu sedang berbaring di kasurku dengan tidak sopan. Aku ingin marah, tapi aku cukup tahu diri sebagai orang yang menumpang di rumah ini. Maka aku menekan rasa tak terima ini dan membuat suara yang sudah aku kendalikan agar terdengar tetap 'tahu diri'.

"Umm, Mas Rei? Ada yang bisa aku bantu? Atau Mas Rei salah kamar–" ya kali dia salah kamar.

Pria itu bangkit dari posisinya dan melangkah ke arahku. Aku waspada. Ada apakah sampai dia berada di kamarku? Aku juga lupa apa aku sudah mengunci pintu kamarku tadi atau belum.

"Hai!" ucap Reiki ramah saat tiba didepanku. "Manis."

Senyumnya penuh misteri. Begitu pun dengan tatapannya. Oh aku tak sanggup mengartikan tatapannya itu. Hanya saja aku jadi ... merinding.

Manis?

Apa? Kenapa?

Belum sempat aku mengeluarkan kata-kata, pria itu sudah menangkup kedua pipiku lalu mencium bibirku tiba-tiba.

Kurang ajar sekali!

Aku terkejut. Amat sangat. Tapi saat aku sadar dan hendak melepaskan diri, tubuhnya yang besar itu malah semakin merapatkan diri mengurungku, mengunciku dalam pelukannya dan juga bibirnya. Jangan lupakan kedua tanganku yang tak berdaya dibuatnya.

Aku menolak, meronta, dan sebisa mungkin menghindari bibirnya, akan tetapi dia adalah si pemaksa yang kuat. Jangankan untuk berteriak minta tolong, untuk sekedar bernapas saja rasanya sulit. Sumpah, aku kalah.

Dia terus saja mempermainkan bibirku tanpa ampun. Agak kasar dan bernafsu aku rasa. Saat aku merasa benar-benar butuh udara, rupanya barulah dia melepaskan ciumannya. Hanya bibir yang dia lepas. Tubuhku masih terjepit di dalam kungkungannya. Dan jarak wajahnya denganku hanya setipis kertas.

Nafasku tersengal. Dan posisi ini membuatku belum mampu mengeluarkan kata-kata karena syok. Aku takut sekali.

"Wangimu enak, Sayang. Aku suka. Dan aku sudah tidak penasaran lagi dengan rasa bibirmu sejak sentuhan singkat tadi sore. Tapi sekarang, nyatanya aku malah jadi ketagihan ...."

Ucapan pria itu membuatku marah. "Mas apa-apaan ini? Tanteeee ..." aku mencoba berteriak. Barangkali ada seseorang di luar kamar yang dapat menolongku.

Reiki menyeringai. "Teriakanmu tidak akan mampu sampai ke kamar Mamaku. Bahkan keluar dari kamarmu ini pun tidak, Sayang."

"LEPASIN!"

Dia menggeleng lemah. Binar matanya masih menunjukkan kilat gairah. Dan aku merasa keadaanku dalam bahaya. Oh Tuhan apa yang harus ku lakukan? Ini menakutkan.

"Aku pasti bakal bilang ke Tante tentang kelakuan kamu ini," ucapku lemah dan bergetar. Aku menahan tangis walau aku merasa kalau kesucianku sedang terancam.

"Bilang saja, pasti kita bakal langsung dinikahkan."

Apa? Menikah?

Aku benar-benar tidak akan pernah mau menikah dengan penjahat kelamin begini. Trus aku harus bagaimana?

Tanpa dapat ku cegah lagi, akhirnya air mataku meleleh begitu saja.

"Ssttt, don't cry, baby," ucapnya sembari menghapus air mata di pipiku. "Aku tidak akan memaksamu hari ini, kita akan pelan-pelan, Sayang,"

Tidak memaksa gimana? Emang yang tadi itu apaan? Aku yang nyosor duluan gitu?

"Maksud Mas apa sih? Kenapa melakukan ini padaku?" aku masih terisak dalam dekapannya, dalam kendali tatapan juga tubuhnya. "Apa salahku? Kenapa jahat sama aku?"

Dia terlihat sedikit mengerutkan keningnya seakan mencari kata-kata yang tepat. "Aku mengingkanmu, Sayang. Aku bukan jahat. Karena kamu terlalu menarik di mataku. Magnetmu amat kuat. Dan aku benar-benar menginginkanmu."

Buat apa?

Buat jadi mainan?

Dasar orang kaya!

"Tapi aku tidak," tukasku.

"'Kan sudah aku bilang kalau kita akan pelan-pelan mulai sekarang."

"Pelan-pelan buat apa?"

"Membuatmu jatuh cinta padaku, dan menginginkanku dengan sangat."

TIDAK AKAN PERNAH!

...----------------...

Aku bangun dengan kepala yang terasa agak pening. Teringat kembali kejadian gila semalam. Ada predator di rumah ini. Penjahat kelamin. Argghh ... aku masih berharap kalau semalam itu hanya mimpi. Tapi rasa bibirnya di bibirku bukanlah mimpi. Ish, kenapa jadi ingat ciuman panasnya?

Kenapa aku bisa sesial ini?

Kalau ku pikir untuk mengadukan pada tante Widia dan om Mandala, apa mereka akan mempercayaiku? Atau aku malah akan dinikahkan? Seakan aku habis kumpul kebo saja harus dinikahkan segala! Dan membayangkan dinikahkan dengan om-om mesum begitu rasanya aku lebih memilih menjadi perawan tua saja. Dia memang kaya dan tampan. Tapi bukan berarti aku akan terima dengan perlakuannya. Dia pikir aku semurah itu? Dia pikir setiap perempuan pasti akan bertekuk lutut padanya? No! Kecuali aku. Aku memang masih lugu untuk ukuran pria seusianya, namun aku tidak berniat mengambil resiko untuk dibuang setelah pria itu bosan. Lalu aku akan patah hati seumur hidup. Hancur.

Haissshhh

Amit-amit.

Meskipun ciumannya itu– hmm ... apa ya, hebat mungkin. Dan pelukannya ...  hangat.

Tidak, Zura! Tidak boleh berpikir macam-macam!

Uuuhh ... kepalaku semakin pusing. Masih ada urusan di kampus nanti siang. Jadi aku masih memiliki waktu untuk tidur sebentar lagi.

Tiba-tiba pintu kamarku ada yang mengetuk. Aku harap itu bukan dia. Si Om-Om mesum yang tidak punya sopan santun. Dengan enggan aku bangkit juga dan turun dari ranjangku.

Ada seorang pelayan sedang berdiri di depan kamarku saat ku buka pintu.

"Non Azzura, ditunggu sarapan sama Tuan dan Nyonya."

"Tolong bilangin ya, Mbak. Zura sarapannya nanti aja. Sedikit pusing kepalaku. Aku mau istirahat sebentar lagi."

"Baik, Non."

Baru saja aku menutup pintu begitu pelayan itu pergi, tapi pintu kamarku diketuk lagi. Mau apa lagi sih pelayan itu?

Namun kenyataan bukan pelayan tadi yang mengetuk, kini aku merasa takut lagi tatkala mendapatkan orang yang tidak ingin ku temui malah sedang berdiri di hadapanku lagi.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Terpopuler

Comments

Gechabella

Gechabella

ngeri2 sedap

2021-07-05

0

Hafiz Ghany

Hafiz Ghany

dr awal q mampir,, suka Thor semangat KK 💪💪

2021-03-29

1

erna sutiyana

erna sutiyana

sukaa

2021-01-14

1

lihat semua
Episodes
1 blurb
2 Rumah Teman Mama.
3 Reiki
4 Aku Takut
5 Curhat
6 Seperti Sanchai
7 Duniaku
8 seven
9 Eight
10 Nine
11 Ten
12 eleven
13 Twelve
14 thirteen.
15 fourteen
16 Fiveteen
17 sixteen
18 seventeen
19 eighteen
20 Nineteen
21 Twenty.
22 Twenty one
23 Twenty two
24 Twenty Three
25 Twenty Four
26 Twenty Five
27 Twenty Six
28 Twenty Seven
29 Twenty Eight
30 Tweenty Nine
31 Thirty
32 Thirty One
33 Thirty Two
34 Thirty Three
35 Thirty Four
36 Thirty Five
37 Thirty Seven
38 Thirty Eight
39 Thirty Nine
40 Fourty
41 Fourty one
42 Fourty two
43 #Fourty three
44 #Fourty four
45 #Fourty Five
46 Fourty Six
47 #Fourty Seven
48 #Fourty Eight
49 Fourty Nine
50 Fifty
51 Fifty One
52 Fifty Two
53 Fifty three
54 Fifty Four
55 Fifty Five
56 Fifty Six
57 Fifty Seven
58 Fifty Eight
59 Fifty Nine
60 Sixty
61 Sixty One
62 Sixty Two
63 Sixty Three
64 Sixty Four
65 Sixty Five
66 sixty six
67 Sixty Seven
68 Sixty Eight
69 Sixty Nine
70 Seventy
71 Seventy One
72 Seventy two
73 Seventy three
74 Seventy Four
75 Seventy Five
76 Seventy six
77 Seventy Seven
78 Seventy Eight
79 Seventy Nine
80 Eighty
81 Eighty One
82 Eighty Two
83 Eighty Three
84 Eighty Four
85 Eighty Five
86 Eighty Six
87 Eighty Seven
88 Eighty Eight
89 Eighty Nine
90 Ninety
91 Ninety One
92 Ninety Two
93 Ninety Three
94 Epilog
Episodes

Updated 94 Episodes

1
blurb
2
Rumah Teman Mama.
3
Reiki
4
Aku Takut
5
Curhat
6
Seperti Sanchai
7
Duniaku
8
seven
9
Eight
10
Nine
11
Ten
12
eleven
13
Twelve
14
thirteen.
15
fourteen
16
Fiveteen
17
sixteen
18
seventeen
19
eighteen
20
Nineteen
21
Twenty.
22
Twenty one
23
Twenty two
24
Twenty Three
25
Twenty Four
26
Twenty Five
27
Twenty Six
28
Twenty Seven
29
Twenty Eight
30
Tweenty Nine
31
Thirty
32
Thirty One
33
Thirty Two
34
Thirty Three
35
Thirty Four
36
Thirty Five
37
Thirty Seven
38
Thirty Eight
39
Thirty Nine
40
Fourty
41
Fourty one
42
Fourty two
43
#Fourty three
44
#Fourty four
45
#Fourty Five
46
Fourty Six
47
#Fourty Seven
48
#Fourty Eight
49
Fourty Nine
50
Fifty
51
Fifty One
52
Fifty Two
53
Fifty three
54
Fifty Four
55
Fifty Five
56
Fifty Six
57
Fifty Seven
58
Fifty Eight
59
Fifty Nine
60
Sixty
61
Sixty One
62
Sixty Two
63
Sixty Three
64
Sixty Four
65
Sixty Five
66
sixty six
67
Sixty Seven
68
Sixty Eight
69
Sixty Nine
70
Seventy
71
Seventy One
72
Seventy two
73
Seventy three
74
Seventy Four
75
Seventy Five
76
Seventy six
77
Seventy Seven
78
Seventy Eight
79
Seventy Nine
80
Eighty
81
Eighty One
82
Eighty Two
83
Eighty Three
84
Eighty Four
85
Eighty Five
86
Eighty Six
87
Eighty Seven
88
Eighty Eight
89
Eighty Nine
90
Ninety
91
Ninety One
92
Ninety Two
93
Ninety Three
94
Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!