Resah jiwaku menanti
Mengingat semua yang terlewati
Saat kau masih ada di sisi
Mendekapku dalam hangatnya cintamu
Lambat sang waktu berganti
Endapkan laraku disini
Coba tuk lupakan bayangan dirimu
Yang selalu saja memaksa tuk merindumu
Sekian lama aku mencoba
Menepikan diriku di redupnya hatiku
Letih menahan perih yang kurasakan
Walau ku tahu ku masih mendambamu
Lihatlah aku disini
Melawan getirnya takdirku sendiri
Tanpamu
Aku lemah dan tiada berarti
...----------------...
Setahun yang lalu
Plak.
Rasanya masih kurang puas tamparanku pada pipi Montana. Cowok itu terlihat memandang benci padaku. Kenapa? Kenapa malah dia yang membenciku? Kemana cinta yang dia punya untukku? Sudah hilangkah?
Hari ini, aku menampar sang mempelai pria. Biar saja kalaupun aku akan menjadi viral, aku tidak peduli. Meskipun seluruh Indonesia mengenali wajahku, masa bodo. Aku tidak akan pernah peduli. Yang aku tahu adalah laki-laki di hadapanku sekarang, sang mempelai pria, adalah pacarku selama empat tahun ini. Dia menikah di saat statusnya masih menjadi kekasihku. Tanpa kabar, tanpa pemberitahuan putus, bahkan tanpa undangan manis dia menikah di belakangku.
Kupikir, dengan kedatanganku di pesta pernikahannya, maka dia akan terkejut dan merasa bersalah. Tapi apa yang kudapat? Dia malah memandangku dengan benci. Seolah dia tidak sedang melakukan kesalahan padaku.
Kenapa, Mota? Kenapa?
Kenapa tega padaku?
Aku yang bodoh, aku yang polos. Di mataku selama empat tahun ini hanya ada kamu. Bahkan artis idola tak menarik di mataku. Karena hanya kamulah duniaku, Mota! Kamu segalanya bagiku.
...***...
Sudah setahun berlalu sejak hari yang pedih itu. Hingga saat ini aku tidak mengetahui apa alasan Montana meninggalkanku untuk menikah dengan gadis lain. Apa karena usia? Ah ... usia kami hanya terpaut lima tahun.
Lalu apa? Apa alasan kau mengkhianatiku? Selama setahun aku menderita karena sakit hati dan berusaha untuk melupakan laki-laki itu.
Tapi sesakit apapun, aku setengah mati tetap mendambanya. Aku menginginkan Montana kembali padaku walau mustahil. Dia sudah menikah. Sudah mempunyai jodohnya. Sedang aku masih saja meratapi patah hatiku.
Hingga pada akhirnya aku dapat mengikhlaskannya. Aku sudah melupakannya. Aku sudah move on dengan bangganya. Dan itulah mengapa aku tidak ingin kembali jatuh cinta untuk saat ini. Karena aku masih berkabung. Aku masih sedikit trauma untuk memulai sebuah hubungan lagi. Lebih dari itu, aku takut untuk dikhianati lagi.
Lalu sekarang kenapa dia hadir lagi setelah susah payah aku membencinya?
"Lo ngeliat Monta –ups– monyet?" mata Alya melebar tajam. Seakan dia siap menerkam bila menemukan Montana berada di dekatnya.
Sejak setahun yang lalu, nama Montana haram disebut oleh mulut kami bertiga. Maka sebagai ganti dari nama itu adalah Monyet. Nama yang sangat pas dan cocok untuk si pengkhianat.
"Dia melihat lo, nggak?" tanya Radit.
Aku menggeleng. "Gue heran, kenapa dia ada di Jakarta?"
"Udah sih, Ra! Gak usah pikirin makhluk satu itu. Move on! Pikirin aja sih om Kiki," kata Alya.
"Hidih!"
"Kok hidih?"
"Gue bener-bener gak mau ambil resiko, Al. Kita semua bisa lihat gimana cakepnya tuh laki, pesonanya, dan semua yang ada di dalam diri Reiki tuh sangat menarik di mata kaum perempuan. Gue sadar itu. Bohong kalo gue gak tertarik. Gue masih normal,"
"Tapi?"
"Tapi ... gue gak mau ambil resiko, gue bilang. Bakal terlalu banyak masalah, Al, andai gue tanggepin tuh cowok. Gue takut patah hati. Patah hati sama si Monyet aja, rasanya kayak apa. Gak tau gimana hidup gue andai gue patah hati lagi."
"Iya sih, gue ngerti, Ra. Tapi kan lo jangan patah semangat gitu dong."
"Gue mau cari pacar rakyat jelata aja, Al. Yang kayak kita-kita."
"Eh, si Monyet bokapnya tuh direktur, 'kan ya?!" sela Radit.
"Kenapa emang?" tanya Alya.
"Berarti dia bukan rakyat jelata kayak kita."
"Gue sadar, nyokapnya si Montana tuh gak suka sama gue," kataku pelan membuat Alya dan Radit agak terkejut.
"Serius, Ra? Kok lo gak pernah bilang?" cecar Alya. "Dan barusan lo nyebut nama dia?"
Aku tersenyum tipis mengingat masa lalu. "Ya gitu ... tapi Mota janji sama gue kalau dia bakal terus meyakinkan nyokapnya tentang gue." pikiranku melayang lagi. "Dulu, dia selalu bilang dia bakal bertahan siapapun yang menghalangi. Kalau hanya sekedar restu nyokapnya, Mota bilang itu bukan masalah besar. Toh, rencana kami masih panjang. Tapi pada akhirnya, apa yang gue dapat?"
Alya mengusap punggung tanganku. Radit mengusap kepalaku. "Mungkin karena nyokapnya gak setuju makanya dia ninggalin gue ..." kataku lagi dengan perih.
Tidak, aku tidak akan menangis lagi. Bagiku, Montana sudah menjadi masa lalu. Karena aku tidak akan pernah merusak rumah tangga orang.
"Gue udah bener-bener udah move on kok, makanya udah bisa nyebut namanya lagi." aku tersenyum kecil. "By the way, lo berdua tau gak, di antara keluarga Maheswara tuh ada yang gak suka sama gue. Makanya gue gak akan berani untuk memulai apapun sama dia. Gak akan pernah mau memulai apa-apa sama si Reiki. Paham, 'kan, Al?"
"Iya, Raju sayang. Gue paham. Nanti kita cari pacar rakyat jelata aja ya. Siapa bilang dapet cowok tajir itu gampang ya. Mulai sekarang pola pikir gue harus berubah."
.
.
Hari ini setelah dua jam berada di kampus, aku dengan teman-temanku mampir ke sebuah tempat. Tempat yang kami sebut sebagai base camp itu adalah sebuah rumah singgah untuk anak-anak jalanan yang tak memiliki keluarga. Seorang sahabatku di kampus, tapi beda fakultas, bernama Dimas yang menggagas berdirinya rumah singgah itu. Dengan biaya 90% dari hasil warisan yang dia dapat dari kakeknya dia gunakan untuk membantu anak-anak jalanan. Bagi kami-kami yang ingin menjadi relawan untuk membantu dan terlibat, apapun bentuknya, Dimas akan sangat berterima kasih.
Banyak kegiatan yang dilakukan Dimas dkk dalam 'merawat' rumah singgah itu. Termasuk dengan memberikan pendidikan pada anak-anak jalanan yang sudah putus sekolah. Aku dengan Alya dan Radit turut bergabung dalam memberi pelajaran baca tulis di hari-hari tertentu. Karena banyaknya minat dari teman-teman yang ingin turut andil dalam kegiatan rumah singgah, maka aku dengan Alya dan Radit dan beberapa anak yang lain mendapat jatah dua hari dalam seminggu untuk mengajar.
"Lihat, Al ... inilah dunia kita," kataku sambil menatap anak-anak itu dengan sendu. Kami mampu berbagi meskipun kami bukan seorang donatur yang kaya raya.
"Iya, Ra. Lo bener ..."
"Mana mungkin si orang tajir itu mau menerima gue dengan 'keluarga besar' kita ini, 'kan?!"
"Coba kita sepupuan sama Kate Middleton ya?"
Aku menoleh. "Ha? Hubungannya sama Kate?"
"Ya biar dia mendukung kegiatan kita."
"Kenapa harus jauh-jauh sampe ke Kate segala sih, Al?"
"Iya ya. Tiba-tiba gue jadi iri sama Kate juga Megan."
Haduh, ini si Alya otaknya lagi kenapa deh?
...----------------...
Aku duduk di dekat seorang anak yang sedang menggambar dia atas meja kayu yang kami miliki. Aku memberinya masukkan akan warna-warna pada pemandangan yang sedang dia buat. Sederhana saja, hanya pemandangan pohon-pohon dan sebuah jalan raya. Persis seperti tempat yang sering anak itu dan kawan-kawannya lalui.
Aku harus banyak bersyukur dengan hidupku. Hidupku yang hanya sebagai rakyat jelata dengan kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh mama papa, sudah lebih dari kata cukup. Hanya tinggal bersyukur dan membuatnya berkah dan bahagia.
Tabungan yang aku punya, seringkali lari untuk membantu rumah singgah ini. Tapi aku bahagia. Kedua orang tuaku pun menyemangati apa yang aku dan teman-teman lakukan.
Hidup bukan melulu tentang diri sendiri dan keluarga, melainkan berbagi pada mereka apa yang kita punya.
You get what you do.
Itu yang aku percaya. Bila kita rajin berbuat baik, maka kebaikan juga yang akan kembali pada diri kita. Apapun bentuknya, siapa pun pemberinya.
"Hei, Ra!" Dimas menyapaku. Dia mengambil tempat duduk di sebelahku.
Kami tidak duduk di kursi ya, kami hanya menggunakan alas tikar dan karpet plastik untuk setiap kegiatan belajar mengajar kami.
"Hei, Dim!"
"Minggu depan temen-temen aku mau ke Bromo. Ikut yuk!"
"Dalam rangka?"
"Liburan lah, Ra. Sekali-kali kita jalan-jalan. Refreshing sedikit dari kesibukan." Dimas tersenyum. Semua orang tahu kalau Dimas itu pekerja keras. Selain sibuk kuliah, dia bekerja part time sana sini. Belum lagi kegiatan sosialnya yang tidak sedikit, termasuk mengurus rumah singgah kami.
"Iya tuh. Kamu butuh liburan, Dim," sahutku setuju.
"Ikut yuk, Ra! Ajak Alya juga. Radit sudah aku tawarin eh katanya pikir-pikir dulu. Dia masih sambilan di cafe juga, 'kan?!"
"Iya. Radit harus ijin bosnya dulu trus liat jadwal kerjanya deh."
"Trus kalau kamu?"
"Aku juga pikir-pikir dulu ya, Dim."
"Yaaahh ... ayo dong, Ra, ikut sekali-kali."
"Yee ... cari pacar sana, Dim! Biar gak maksain ceweknya orang." Aku menggodanya.
"Emang kamu udah punya pacar, Ra? Siapa? Kok aku gak tau?"
"Aku gak bilang punya pacar, Dim. Aku cuma bilang, aku ceweknya orang. Aku tuh temen ceweknya Alya, Radit, Nanda, Shinta–"
"Huh! Kirain."
Aku terkekeh.
"Ya udah kamu aja jadi pacarku?" kata-kata Dimas membuatku terkejut. "Jadi cewekku ya, Zura?"
...****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Hafiz Ghany
lope pull 😘😘😘 zurra smoga sll bahagia 👍💪💪💪
2022-01-09
0